Awal

7 4 4
                                    

Butiran kecil hujan perlahan jatuh dari langit, lalu terbawa angin ketika hendak sampai dibumi.
Entahlah aku kira akan ada salju, namun nyatanya tidak. Menyebalkan bukan, ketika kau berharap salju di bulan Agustus.
Ku gosokkan kaca yang berembun ini dengan tanganku, agar aku bisa menatap keluar sana dan menghilang dari perbincangan Ayah dan Toby.

"... Ayah, Ayah!" kata Toby. "Bagaimana hujan itu terbentuk?"

Ayah menghela nafas sejenak. Oh, dia mulai lagi dengan perannya sebagai cendekiawan, memang pada dasarnya ia adalah guru biologi di salah satu sekolah di kotaku. Dan jika Toby sudah memancingnya seperti ini, dia akan kehilangan kendali untuk berhenti.

"... Kalau begitu, aku ingin cepat-cepat sampai!" kata Toby dengan coklat yang penuh dimulutnya. Ayah hanya mengangguk pelan menanggapinya, begitu pula mom.

Aku memutar bola mataku tepat saat Toby menatapku juga. Dan dia merajuk.

"Ayah lihatlah! Joy mulai lagi dengan tatapannya!" adunya pada ayah.

"Apa? Aku gak salah kok!" bantahku.

"Jangan mulai lagi ya," kata mom seraya berusaha meletakan tangannya menggapai kami dari kursi depan.

Entahlah aku sangat membenci saat-saat aku harus disandingkan bersama Toby. Atau saat-saat berlibur di rumah nenek, dimana mereka selalu membandingkan aku dan dia. Entah nasib baik atau bukan, tapi kini mobilnya melaju dengan kecepatan kuda, menuju rumah nenek di sudut kota.

"Dasar kau tukang iri!"

"Apa? Dasar kau pengganggu,"

"Dasar kau tukang adu,"

"Oh maaf ya, tapi itu sifatmu! Dasar kau bayi besar!"

"Aduh.. Hentikan, kalian membuatku pusing" kata ayah, sedikit berusaha menghentikan kebiasaan kami yang benar-benar tak ingin kuhentikan. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan kami ialah, memainkan musik abad 90an yang membuat telinga kami berdentum hebat.

"Mom hentikan, " kataku seraya menyumbat telingaku dengan tangan.

"Mom.. " teriak Toby juga.

"Lalala.. Aku tidak akan menghentikannya sebelum kalian berbaikan."

Aku dan Toby saling tatap, lalu sama-sama memalingakan muka.

"Tapi aku tidak mau berbaikan sama si kepala batu ini!" kataku.

"Baiklah jangan harap aku akan menghentikan musiknya, iya kan Sayang" kata mom. Ayah mengangguk pelan seperti burung hantu yang teler.

Dari sudut mataku terlihat jika Toby tengah menatapku seraya menjulurkan tangannya. Terlihat rau wajah yang serius.
"Maafkan aku ya, kak."

Apa? Dia memanggilku kakak? Yang benar saja.

"Kakakku yang manis, "

"Ayolah Joy, aku tidak tahan dengan ibumu," bujuk ayah padaku, ketika aku tidak segera mengindahkan permintaan damainya.

"Tapi Ayah, memang dia yang nakal kan," kini giliran aku yang merajuk.

"Habisnya kau selalu menyendiri seperti itu. Karena kau selalu begitu, yasudah.. Aku ganggu saja kamu sekalian, agar kau tidak kesepian lagi." katanya seraya menurunkan hujan kecil dari matanya, yang membuatku terbelalak. Tanpa kusadari mom sudah memelankan musik pengganggunya. Dan kini kami seperti berada di salah satu adegan serial televisi pagi, dimana akulah sang antagonisnya disini.

"Apakah kau membenciku?" tanyanya, sedikit lebih tenang.

"Entahlah," kataku. Mom menahan nafas menatap kami, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Begitupun Dad sesekali menatap kami melalui kaca spionnya, tak ingin ketinggalan momen langka ini.

Aku mendesah pelan, lalu menatap Toby.
"Baiklah, asal kau tidak berpura-pura saat ini, aku akan memaafkanmu," kataku lalu menggapai lengannya, dan disambut dengan antusiasme yang berlebihan dari mom dan dad.

"Saatnya berpesta, " kata mom. Lalu musik riang mulai berputar, dan aku sama sekali tidak berfikir untuk seperti mereka.

Di saat-saat seperti ini, ada satu pertanyaan muncul di benakku, yakni 'Apakah aku adalah bagian dari keluarga ini?'
Kata guruku, orang tua itu memiliki ciri-ciri yang bisa diturunkan pada anaknya. Dan sejauh ini aku sedang menyelidiki itu, dan ya.. Aku memang tidak mirip dengan mereka, sama sekali. Kuakui kemampuan berenangku mungkin diturunkan dari dad, dan mata cokelatku dari mom. Tapi itu berbanding telak dengan Toby yang mendominasi semuanya, baik dari mom atau dad.
Dan aku kuakui juga, aku selalu iri padanya. Tapi itu bukan inginnya kan? Dan aku bersalah telah berbuat kasar pada adik mudaku— yang beda satu tahun.

Kembali ke saat ini, dimana untuk pertama kalinya aku menyadari ada 'kenyamanan,' di tengah-tengah ini. Tak kusangka aku akan tersenyum menatap Toby yang berjoget konyol dengan musiknya, begitupula mom dan dad.

Namun dalam sekejap semuanya berubah. Suatu muatan truk menghantam bagian sisi mobil kami. Dan dengan mudahnya menyapu kuda mesin ini, dan membuatnya berputar-putar ke sudut jalan sebelum akhirnya tenggelam dalam sungai yang dingin.

Aku berusaha keras membuka mataku. Yang kulihat pertama kali adalah, kepala mom yang berputar terbalik, lalu muka hancur ayah. Dan Toby, Astaga, dia masih hidup! Dalam sekian detik airnya sudah memenuhi mobil kami, air yang bercampur merah darah.

"Ayah!"

"Mom!"

Aku berusaha membangunkan mereka, berharap ada secercah harapan diantara ketidakmungkinan ini.

"Toby,"

Aku ingin menyelamatkan mereka, tapi aku tidak bisa. Bahkan aku tidak bisa menahan air yang mulai masuk ke tubuhku juga. Dan kini kami terjebak di dalam kendaraan ini.

Kini tubuku mulai melemas juga, dan aku mulai merasakan kepanikan yang nyata, dimana hal ini mengingatkan aku saat pertama kalinya belajar untuk tenang saat berenang.
Dalam benakku tergambar kilatan kenanganku dulu. Masa-masa yang paling membahagiakan, dan juga ketika aku mengangkat tropi musim panasku yang pertama.

"Berenanglah Joy!"

"Berenanglah Joy!"

Suara lembut mom dan Dad terngiang di telingaku. Persis seperti saat mereka menyemangatiku saat turnamen.

Atau suara lembut yang baru saja Toby katakan sebelum insiden ini terjadi.
"Kakakku yang manis," katanya.

Mom, Dad, Toby, aku ingin bantu kalian. Tapi aku tidak bisa, bahkan aku tida bisa menangis saat ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang