Part 4

6K 256 9
                                    


Seorang lelaki mengendarai sepeda ontel dan berpakaian muslim memasuki pekarangan sebuah rumah. Setelah ia turun dari kendaraannya, dengan segera sepeda antik itu ia sandarkan pada pagar bambu yang mengelilingi halaman rumah itu.

"Assalammu'alaikum..." Ahmad mengucap salam sebelum masuk ke dalam rumahnya.

Tidak ada jawaban. Lelaki berjenggot itu masuk ke ruang tamu dan langsung duduk di kursi kayu. Ia tampak begitu lelah sepulang mengajar di sebuah Madrasah yang terletak di kampung seberang. Jarak dari rumahnya ke kampung tempat ia mengajar kurang lebih 15 KM. Dari dalam terdengar langkah kaki milik istrinya datang membawa segelas air minum dan sepiring singkong goreng kesukaan suaminya.

"Alhamdulillah..." Ahmad mengelap mulutnya yang basah setelah meneguk air minum. Tenggorokannya sejuk, lelahnya sedikit terobati.

"Sri, mas tidak mendengar ada jawaban salam darimu. Apa mungkin kamu tidak mendengar mas mengucapkan salam tadi ? " Lelaki itu menanggalkan peci berwarna hitam yang dari tadi dikenakannya. Matanya menatap wajah istrinya lembut.

"Maaf mas, aku lupa. Memangnya kenapa mas, apakah berdosa jika aku tidak menjawab salam?" Sri tampak salah tingkah. Air mukanya berubah menjadi semu kemerahan.

"Sri, mengucapkan salam itu hukumnya sunnah, akan tetapi menjawab salam itu wajib hukumnya. Apa kau masih ingat, apa yang membedakan perkara yang sunnah dan yang wajib ?" Kini Ahmad menajamkan tatapannya dan sedikit mengangkat nada bicaranya.

Istrinya mengangguk pelan, keduanya bertatapan dan saling melemparkan senyuman. Ahmad memang sangat sabar mengajarkan nilai-nilai aqidah islam dalam kehidupan rumah tangganya. Ia juga telaten membimbing istrinya untuk mengenal islam lebih dalam dengan ilmu dan kesadaran.
Selama ini, Sri dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang jauh dari agama. Seperti kebanyakan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, juga masih banyak yang menganut kepercayaan warisan leluhurnya, padahal jika ditanya, mereka mengaku beragama islam.

"Mas, tidak lupa kan ? Hari ini, kita akan menjenguk bapak di penjara."

"Tidak, mas tidak lupa. Sekalian kamu ajak Sugeng dan istrinya. Mereka juga sepertinya sudah rindu ingin bertemu dan melihat kondisi bapak." Ahmad menghabiskan singkong goreng ditangannya. Lalu bergegas ke kamar mandi dan menyiapkan diri.

***

Temboknya yang tinggi serta dingin, udaranya pengap, lantainya kotor berdebu, ruangannya gelap. Itulah gambaran tentang sebuah bangunan yang disebut penjara.

Orang tua mereka yang hidup pada masa penjajahan sering menceritakan kisah-kisah seram tentang kejamnya bangsa Jepang dan Belanda. Tak jarang para orangtua menakuti anak-anak kecil tentang pengalaman seorang mantan tahanan yang tidur di dalam jeruji besi. Sekarang, anak-anak itu sama-sama bisa melihat secara langsung dengan mata kepala sendiri seperti apa bangunan misterius itu.
Kenyataannya, memang jauh berbeda
dari apa yang dibayangkan. Tetapi, tetap saja. Suasana di dalam sana dingin dan mencekam. Terlebih untuk seorang lelaki tua berusia 63 tahun. Yang tubuhnya tidak lagi kekar, rambutnya juga telah memutih sebagian, keriput kulitnya menegaskan kalau lelaki itu sudah kenyang mengecap pahit manisnya kehidupan.

Empat orang anak muda duduk berjejer di bangku kayu berukuran persegi panjang. Tidak lama kemudian lelaki tua muncul bersama seorang penjaga.
Sri langsung berdiri dan menghampiri lelaki itu, ia menghambur dalam tangisan dan langsung memeluk sosok tua di depannya.

"Bapak... ya Allah bapak." Tangisnya pecah dan mulutnya tak sanggup berkata-kata.

"Sudah-sudah, bapak baik-baik saja. Jangan menangis." Lelaki yang dipanggilnya bapak, berusaha menenangkan. Tetapi, Sri tidak mau mendengarkan. Tangisnya tidak kunjung reda, malah air matanya semakin menderas.

Astral (Telah Terbit, Penerbit : Pustaka Tunggal Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang