Adnan pov
Aku baru saja keluar dari ruangan Rendra saat kulihat gadisku sedang berbicara serius dengan seorang temannya. Mereka terlalu serius bicara sampai-sampai bunyi benturan antara sol sepatuku dengan lantai marmer yang dingin ini tidak terdengar. Kucoba menajamkan pendengaranku untuk mendengarkan obrolan macam apa yang mereka bicarakan. Cih. Ternyata gadisku masih saja suka bergosip dan menunjukkan ekspresi yang sangat berbeda dibandingkan saat bersama denganku. Aku cemburu dengan fakta yang satu itu. Semakin jelas kudengar pembicaraan mereka.
"Kalo saran Mbak sih baik kamu jauhin cowok itu dan kamu lupain semua perasaan kamu ke cowok itu" ucap gadisku.
"Loh emangnya kenapa Mbak?"
"Mbak cuma takut kamu kecewa nantinya sama kenyataan cowok itu" sepertinya aku mulai paham alur pembicaraan mereka.
"Loh emangnya cowok itu kenapa Mbak?"
"Dia itu...." Belum sempat ia menyelesaikan pembicaraannya aku sudah ada di depannya.
"Regina ikut ke ruangan saya" ucapku dengan dingin berusaha menjaga wibawaku di depan karyawan yang lain. Dapat kupastikan Regina tidak bisa berkutik dengan tatapan yang diberikan oleh temannya itu. Sehingga mau tidak mau Regina bangkit dari kursinya dan menghampiriku.
"Ah! Dan kamu Hani, kembali ke ruanganmu jangan suka bergosip pagi-pagi. Saya tidak mau menggaji orang yang tidak bekerja dengan benar" aku serius dengan perkataanku yang ini.
Akupun berjalan mendahului Regina yang berjalan dengan begitu perlahan di belakangku. Dapat kudengar suara ketukan sepatunya yang berjarak antara bunyi yang satu dengan yang lain. Sudahlah aku tidak begitu memperdulikan hal itu yang penting dapat kupastikan ia mengikuti langkahku karena dapat kulihat sebelum lift yang kugunakan tertutup sempurna ia memasuki lift karyawan.
Aku sudah lebih dulu sampai di ruanganku. Aku tidak langsung duduk, tetapi aku berdiri dengan menghadap ke kaca yang ada di belakang mejaku,. Kupandangi jalan yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan dan gedung-gedung bertingkat yang bertetangga dengan gedung ini.
Tak lama kudengar suara ketukan pintu dan digantikan oleh bunyi ketukan ujung sepatu berhak tinggi yang semakin mendekat dan kemudian berhenti. Aku masih belum membalikkan tubuhku menghadapnya, aku masih betah memandangi hal yang sudah setiap hari kulihat.
"Permisi Pak" terdengar suaranya yang membuatku selalu merindukannya.
Aku hanya menolehkan kepalaku ke arahnya. Kemudian perlahan berbalik dan berjalan mendekatinya.
"Duduk" ucapku dingin.
Perlahan ia mulai mendudukkan dirinya di sofa putih yang ada di depanku dan kemudian aku duduk di kursiku yang membelakangi kaca besar tadi."Ada apa Pak?" ia mulai membuka suaranya lagi. "Apa saya melakukan kesalahan?"
"Kamu telah melakukan sebuah kesalahan yang besar sayang" ucapku dengan seringai jahil di bibirku.
"Memangnya apa salah yang saya lakukan sampai harus Anda sebut sebagai kesalahan besar? Saya tahu bergosip di jam kerja adalah hal yang tidak baik tapi itu bukanlah hal yang membuat saya harus menghadap Anda"
"Bergosip memang tidak seburuk itu. Tapi tahukah kamu apa yang kamu bicarakan itu cukup menggangguku? Dan itu tentu saja hal itu adalah hakku untuk melindungi diri sendiri kan?"
"Ta... tapi Pak" oh ayolah aku hanya bercanda sayang. Ternyata Regina cukup mudah diancam ya.
"Kamu seharusnya lebih bisa menjaga lidahmu"
Dia terdiam. Ia hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam."Dan seharusnya kamu hanya menyampaikan sesuatu yang merupakan fakta kalaupun kamu ingin bergosip. Kita semua tahu sesuatu yang belum jelas kebenarannya jika digunjingkan akan menjadi fitnah" ucapku dengan tajam sambil terus menatapnya dengan tatapanku yang membunuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta itu Nyata : My Boss Is My Husband
RomanceRegina seorang pegawai biasa merasa risih dengan kehadiran Adnan bosnya yang mengaku sebagai calon suaminya. Sebuah kisah klise tentang pernikahan tak terduga tanpa konflik yang menimbulkan emosi mendalam