Bagian 23 (Complete)

14.6K 996 35
                                    

Bertemu dan mengenal sosok Alifaro Farhan, tak sedikitpun terbayang oleh ku. Dia dengan sifat meledak-ledaknya membuatku takut, berpikir berkali-kali sebelum melakukan sesuatu yang bisa saja memancing sikap kejamnya muncul.

Ini takdir. Takdir yang membawa hati Kinan menggantikan hatiku yang rusak, lalu keadaan itu membuat Ali mencari ku dan menemui ku dengan membawa dendam. Kemudian membuat hariku tak pernah tenang sejak saat itu.

Aku tidak tahu apakah sifat pisikopat Ali memang hanya karena masalah itu atau sudah ada sejak dulu. Aku melewati hari-hariku dengan Ali penuh dengan ketegangan. Percayalah, aku tidak se tenang itu ketika bersama Ali, ada rasa takut kalau tiba-tiba dia mengeluarkan senjata kecilnya yang tajam itu, yang pernah -hampir- dia gunakan untuk menggores pipiku.

Kalau boleh dikatakan hidupku jadi lebih berwarna setelah mengenal Ali mungkin jawabannya iya. Atau mungkin tidak. Mungkin kata berwarna bisa diganti dengan kata hidupku tidak terlalu monoton. Tangis, kekecewaan, luka, putus asa, dan bahagia.

Dia begitu pandai mengalihkan keadaan dan suasana. Tidak ada yang mampu menebak hari ini apakah perasaanya sedang baik atau buruk. Dia selalu bersikap tiba-tiba, terkadang tanpa rencana.

Aku berusaha melupakan dan mengiklaskan semua yang terjadi dulu. Aku selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa semua adalah takdir dan tidak perlu menyalahkan siapa pun.

Aku tidak tahu bagaimana sudut pandang Ali mengenai aku dan semua hal yang sudah dia lewati bersamaku. Aku tidak tahu semua tentangnya. Selama ini aku hanya bisa menceritakan sosoknya di mataku. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Ali sebenarnya.

Bintang menjauhi ku. Di kampus, dia bahkan tidak sama sekali menyapa ketika kami tak sengaja berpapasan. Aku sendiri bingung harus bagaimana, ucapannya saat terakhir kali kami berbicara membuat perasaan tidak nyaman menyelinap di hatiku.

Inilah yang aku takutkan.

"Mbak, saya balik duluan, ya."

"Oh iya, mau ke kampus, ya?"

"Iya, Mbak."

Sekarang, aku bekerja paruh waktu di sebuah kafe yang terletak di seberang kampus. Ini memang tidak mudah, melelahkan tepatnya. Kadang, aku bahkan tak punya waktu untuk bermain. Ali seringkali marah ketika aku pulang larut malam karena berganti shift dengan yang lain, dan dia akan selalu dengan tenang duduk di kursi paling pojok sambil mengerjakan tugas kampusnya.

"Aku baru sampai. Kamu di mana?" Aku menghubungi Ali untuk mengetahui keberadaan lelaki yang setiap hari tak pernah absen menemaniku itu.

"Masih di jalan."

"Tahu kamu masih di jalan aku nggak usah nyebrang dulu tadi."

"Ini sebentar lagi sampai, kok. Kamu tunggu di parkiran, ya."

Kebiasaan. Setelah memerintah langsung memutuskan teleponnya begitu saja. Aku tersenyum lega, kejadian tidak menyenangkan di masa lalu kini sudah bisa ku lalui dengan orang yang sama, orang yang membuat hidupku tidak tenang, sekarang menjadi orang yang selalu siap sedia di sampingku.

Sifat kasar, posesif, kejam, tidak berperasaan, mungkin tak bisa hilang begitu saja dari diri Ali. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan ketika tidak bersamaku, ketika dia mengatakan sedang bermain basket, aku tidak tahu apakah dia jujur atau berbohong.

Suara deru motor menarik perhatianku. Suaranya tidak asing di telinga dan pemiliknya juga bukan orang asing di hidupku. Ketika dia membuka helm nya aku menahan napas ku sejenak, dengan langkah pelan aku menghampirinya.

"Bintang."

Aku menghela napas. "Kadang, gue bingung. Siapa yang seharusnya marah dalam hal ini, kenapa sih, Bi, gue pikir setelah hari itu kita akan baik-baik aja. Tapi ternyata lo membuat jarak semakin jauh, saat Vita pulang, lo bahkan nggak datang sama sekali buat ketemu dia. Kenapa, Bi? Karena ada gue... dan Ali di sana, iya kan?"

"Lo bikin gue nangis, Bi. Lo nggak mau minta maaf? Kenapa seolah-olah gue jadi orang paling jahat di sini, Bi?"

"Maaf," saat itu juga aku memeluknya. Memeluk dia yang berbulan-bulan menjauhi ku, menjadikan aku sebagai orang asing yang tidak dia kenal. "Gue egois."

"Jangan lagi pura-pura nggak kenal sama gue, Bi. Jangan.... sebahagia apapun gue sama orang lain, nggak akan pernah lengkap tanpa lo."

●●●

Aku duduk diantara dua orang lelaki yang saling melemparkan tatapan tajamnya. Aku mengembuskan napas jengah. "Cukup! Kalian berdua nggak lagi adu tatapan kan?"

Serentak. Mereka berdua membuang muka dengan ekspresi kesal yang kentara.

"Kamu ngapain sih ajak dia segala?"

"Kalau lo nggak suka, lo pergi sana!"

"Gue lagi tanya sama Prilly, ya!"

"Lo pikir dia nggak bosan setiap hari sama lo?"

"Lo mau ribut sama gue?"

"Lo pikir gue-"

"STOP! Berhenti berdebat nggak penting. Kalian nggak malu apa dari tadi kita jadi pusat perhatian. Terhitung lima kali ya kalian ribut begini selama tiga puluh menit kita duduk di sini."

Dan yang terjadi selanjutnya adalah mereka kembali saling melirik tajam, seakan-akan tatapan mereka bisa melumpuhkan lawan satu sama lain. Benar-benar dua lelaki ini membuatku pusing, perasaan ketika masih SMA mereka masih bisa akur.

Jika biasanya yang sering bertengkar adalah Bintang dan Vita, kini Ali sukses menggantikan peran Vita untuk menjadi teman ribut Bintang.

Ali, Bintang, dan Vita. Ketiganya menempati ruang masing-masing di hati ku. Mereka adalah saksi tangis tawa dalam hidupku, jika tidak ada mereka dalam duniaku mungkin cerita ini tak akan pernah ku sampaikan pada kalian.

Vita, sahabat pertama ku yang telah mengajarkan aku banyak hal. Dia membuat hidupku jauh dari kata monoton, mengenalkan aku pada Bintang si bintang sekolah. Dia adalah saksi kedekatan ku dan Bintang, saksi dari setiap langkah yang ku ambil ketika SMA, bahkan ketika aku berada di titik terendah dalam hidupku dia selalu ada.

Bertemu mereka adalah hal yang tidak pernah ku sesali, se kejam apapun Ali terhadapku, se menyebalkan apapun tingkah Vita yang sering membuatku pusing, dan seberapa susahnya mencairkan mood Bintang, aku tidak pernah menyesali itu semua, sekarang. Mereka tetap akan menjadi bagian dari hidupku sampai kapan pun.

Lembaran baru sudah kutulis dengan kisah yang baru. Masih dengan tokoh yang sama serta beberapa tokoh tambahan, aku hanya menunggu ke mana alur kehidupan ku akan sampai.

Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku juga tidak ingin memikirkannya untuk sekarang, karena aku terlalu larut dalam kebahagiaan yang aku rasakan. Bisa jadi satu detik setelah perdebatan tidak penting antara Ali dan Bintang, aku sudah tidak bahagia, mungkin. Siapa yang tahu akhirnya.

Dan inilah akhir kisah yang aku tulis untuk kalian baca.

♡■■■SELESAI■■■♡
Minggu, 01 Juli 2018.

YUP!
Inilah akhirnya.... harus ku akhiri... sebelum semuanya... semakin rumit. Maafkan diriku memilih berhenti...

Iya. Sampun toh.

Konfliknya juga semuanya sudah selesai kan. Karena sebenarnya konflik utama cerita ini adalah tentang "Prilly dan hati Kinan." Aku kembangkan lagi setelah masalah itu selesai, kalau Ali & Prilly masih terus mengungkit masalah itu 'bolak-balik' lagi. aku jamin sampai bagian 50 pun nggak selesai selesai ini cerita karena aku juga harus menyelipkan konflik lain untuk ngebuat sisi 'pisikopat'nya Ali itu muncul. Dan berbelit - belit... muter-muter... lama-lama kayak sinetron.

Ehm....... ada yang mau point of view nya Ali ga?????  Maunya kapan??


Btw, Point of view nya Ali akan di PRIVATE. Dan part terakhir ini juga akan diprivate bersamaan dengan publishnya sudut pandang dari Ali ya...

Aku gak perlu pidato panjang lebar buat ngucapin makasih kan?

Psychopath Boyfriend [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang