VIII. SURYA

19 5 6
                                    


Dewa Surya memandu kami menuju kerajaan atau lebih tepatnya ketempat percetakan miliknya. Nah kalau kalian bingung ada beberapa bab dibelakang menjelaskan bahwa Dewa Surya adalah bos percetakan koran harian Surya di Surabaya.

Kejadian sebenarnya Dewa Surya sama sekali tidak menjadi pemandu wisata kami atau semacamnya ia tetap terpaku pada gadgetnya sambil sesekali berteriak kegirangan sambil meloncat-loncat dan berkata "Omg!!!... Followers instansi—eh bukan instagramku nambah satu." atau terkadang ia murung seakan hendak bunuh diri sambil berkata pelan. "Oh tidak followersku berkurang".

Nah begini para pembaca yang budiman sebenarnya aku sendiri tidak begitu paham dengan dengan ungkapan 'gawai membuatmu gila' tapi setelah melihat Dewa Surya aku memahaminya.

¢=]=========>¢=]=========>


Lima belas menit kemudian kami sudah memasuki ruangan singgasana bersama seorang Dewa yang asik membuat video tik tok. Pakaiannya seketika berubah sang dewa yang awalnya memakai sweater putih dengan hodie, kini berubah menjadi pakaian perang keemasan yang semakin panas setiap saat.

Yang sebenarnya agak aneh, karena ia memiliki rambut merah, dan mata sebiru langit, kulitnya coklat terjemur matahari. Ia lebih cocok jadi penjaga pantai di pantai Bali, daripada duduk bermain aplikasi—tik-tok?— di atas kuburan.

"Nah kenapa kalian repot-repot datang kemari?" tanyanya sambil bersandar dengan satu tangan diatas singgasananya. "Apa kalian mau minta tanda tanganku?"

Aku langsung menjawab sebelum Lia dan Vian berteriak "Ih, Najis!" berbarengan. "Begini Dewa—–" sebelum aku menyelesaikan kalimatku sang Dewa langsung memotong.

"Oh tak perlu dijelaskan sudah kuduga aku akan jadi artis dalam waktu dekat lalu aku akan mengendorse banyak bar—"

"Oh tunggu-tunggu" selaku. "Tanpa mengurangi rasa hormat kami, sebenarnya kami disini mau meminta petunjuk perihal yah, anda tau kan kiamat sebentar lagi". Jelasku.

"Ah masa?" ujarnya seraya menaruh gadgetnya. "Eh iya benar, kiamat sebentar lagi dan kalian yang akan menghentikannya?" tanyanya. "Bisa kalian ceritakan awal mula kenapa 'kalian' yang dipilih bukan orang lain?".

Aku sedikit risih sang Dewa mengunakan tanda kutip saat bicara kalian. Seakan bertik-tok ria lebih penting daripada kehancuran dunia. Akhirnya aku menceritakan semuanya dari awal bagaimana aku bertemu Lia dan niat awalku yang membuatnya memekik dan menampakkan wajah ramah seakan mengatakan 'aku akan memanahmu dengan panah api nanti', lalu bertemu nenekku dan akhirnya, menjadi gembel berkaos Afgan kepada sang Dewa. (Lia berusaha tidak tertawa saat aku menyinggung kaos yang kupakai sekarang)

Sang Dewapun manggut-manggut kemudian berujar. "Jadi sekarang aku paham kenapa dirimu tidak berlutut seperti teman-temanmu".

Sontak aku menoleh dan melihat Lia dan Vian berlutut dihadapan sang Dewa. Vian terlihat baik-baik saja tapi, Lia sudah ingin melontarkan berbagai macam umpatan yang akan membuat Nyi Blorong bangga.

"Tak usah kaget semua orang memang gak bisa memandang mentari langsung kan?" ujarnya dan aku sadar bahwa Dewa Surya bukanlah seorang remaja yang gila tik-tok tetapi ia juga bisa menghancurkan kita bila ia ingin. "Kau tau nak tujuan akhirmu ada di kota Banyuwangi disana di ujung pulau ada sebuah rantai, rantai itulah yang hendak dipotong oleh Rahwana".

"Berati kita tinggal menebas Rahwana saja kan?" Vian tiba-tiba menyahut.

"Eits, tunggu dulu" sergah sang Dewa. "Aku belum menceritakan detailnya".

"Ceritakan saja, gitu aja ribet!" gerutu Lia.

"Dalang dibalik kekacauan ini sebenarnya bukan Rahwana. Rahwana sendiri tidak begitu peduli dengan hancurnya pulau Jawa ia hanya ingin membangkitkan Sinta hanya itu tapi ada juga yang memanfaatkan kesempatan ini ia adalah orang yang terkenal licik dan penuh siasat, lebih dari Rahwana itu sendiri ia adalah—"

"Anda mau pidato atau gimana sih?" selaku. Yang bagusnya disusul dengan tonjokan di perutku dari Lia. Aku berjengit. "Ouch.... Jadi dimana titik pembangkitan dan tempat rantai tersebut?".

"Anak-anak Bima selalu tidak sabaran" gerutunya. "Tempat itu berada di Banyuwangi titik pembangkitan di kawah Ijen dan rantai itu terdapat di Alas Purwo" terangnya.

"Terimakasih infonya Dewa Surya" ujarku, Lia, dan Vian bersamaan. Mengejutkan trio edan seperti kami bisa kompak.

"Dan mari berselfie sebentar untuk dokumentasi dan akan kumasukkan koran dan akan kutebarkan sihir agar orang-orang  berhenti mengejar-ngejar kalian!" ujar Sang Dewa riang.

Berselfielah kami disertai lampu kamera yang membutakan mata dan saat kami membuka mata kami berada di hotel. WOW HEBAT.  Ini baru Dewa.

Lia mengeluhkan matanya yang sakit karena cahaya flash kamera. "Aku benci cahaya itu," katanya disusul umpatan yang sebaiknya tidak kutuliskan demi kenyamanan para pembaca.

Vian melirik Lia. "Aku akan mencuci mulutmu dengan air suci dari sumber di gunung merapi begitu kita menyelesaikan misi ini."

Lia memutar mutar bola matanya. "Dengan asumsi aku atau kau tidak mati."

Aku berdeham. "Punya motivasi itu bagus."

Lia memandangku dengan tatapan 'katakan hal yang menyebalkan lagi aku akan memanahmu sungguhan.'

Lia berdecak kesal. "Sekarang apa? Aku tidak mungkin sekamar dengan kalian kan?"

Vian bersedekap. "Aku sih tidak masalah. Tapi aku ragu dengan kalian berdua. Apalagi Surya."

Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Lia mendengus dengan cengiran khasnya. "Kau. Pecicilan."

Vian mengangguk sekali. "Sangat tidak bisa diam."

Aku manyun yang membuat tawa Lia pecah. Aku heran kenapa dia sangat suka jika aku disindir, dan aku heran kenapa dia suka tertawa keras sekali bahkan karena hal yang gak lucu.

"Hei, Lia. Apakah kau sering kesepian?"

Pertanyaanku sukses membuat Lia bungkam. Auranya tiba-tiba menusuk. Aduh, aku salah ngomong kayaknya. Sebelum aku sempat menyelesaikan rapalan surat wasiatku dalam hati, Lia berbalik memunggungiku dan Vian kemudian berlari entah kemana.

Aku menatap sendu punggung Lia yang menjauh. "Apa aku salah ngomong?"

Vian merapatkan jaket—blazer?— miliknya. "Tidak juga sih. Hanya saja kau menanyakannya disaat yang tidak tepat." jawaban Vian sudah cukup membuatku menurunkan bahuku yang entah sejak kapan menegang. Vian menelengkan kepalanya. "Sebenarnya aku juga punya pertanyaan yang sama denganmu. Dia terlihat, mendambakan kebebasan baik batin dan raga. Mungkin itu yang menyebabkan gejala Abstinensi—"

"Oke cukup!" aku memberi isyarat untuknya agar diam. "Aku akan pamit karena pembicaraan ini hanya akan menyakiti otakku."

¢=]=========>¢=]=========>

Hai-hai, semua. Author Lia disini. Sebenarnya yang bikin chapter ini author Surya. Tapi dia lagi malas menyapa kalian. Dasar....

Aku ingin mengingatkan saja, jangan lupa vote, ya! Vote itu gratis kok... 😊

Ah, untuk minggu depan kemungkinan agak telat dikit. Jadi maaf ya!

👇

👇

👇

Surya : The South Sea Queen TridentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang