Sebuah Tanya

4.7K 342 12
                                    

Saat itu aku percaya bahwa meninggalkanmu adalah keputusan terbaik. Dengan segala macam debat yang tak kunjung usai, meletakkan kita dalam ujung cerita adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki. Bukan, mungkin lebih tepatnya, melepaskan yang tak mampu kita rangkai utuh kembali.

Kata mereka, perpisahan sejatinya takkan menyakiti kenangan. Benarkah? Namun mengapa setiap kali kenangan manis yang terlintas, rasanya begitu menyakitkan? Apa kau juga merasakan seperti yang aku rasakan? Apakah masih tentang kita yang menelisikmu dalam pikiran? Apakah kau baik-baik saja dengan ini semua? Apakah kini semesta tengah menjadikanku seorang terdakwa?

Sungguh, kenangan manis tentang kita kini adalah hal terpahit yang tak sanggup aku kecap. Perpisahan yang menurutku menjadi pengobat luka, justru menjadi sekarung penyesalan yang begitu sesak di dada. Aku tahu aku salah, dan aku paham kini aku kalah.

Maafkan aku yang memilih pergi, disaat kau berjuang untuk memperbaiki. Bodohnya aku yang memilih meninggalkan disaat kau berkelukur terluka tak ingin melepaskan. Lihatlah, betapa pria yang melepas peluk hangatmu kini menjadi pria yang hampir mati dalam dinginnya abaimu.

Sayang, sudah jauhkah langkahmu kau derapkan? Sudah bergantikah rasamu dengan kebencian? Masihkah ada untukku sedikit kesempatan?

Sayang, sungguh aku ingin menutup mata diiringi oleh senyumanmu. Menjemput lelap yang entah mengapa tak mau mengunjungi malam-malamku. Mata ini kini tengah terjaga oleh penyesalan, dan hati ini hancur karena sadar akan kebodohan.

Sayang, masih bolehkah aku mengejarmu lagi? Aku ingin memelukmu, memungut serpihan hancurnya hatimu, merangkainya kembali dalam setulusnya maaf dari diriku. Dan bersumpah untuk menjaganya hingga abadi dalam fananya waktu.

Sayang, masih bolehkah dengan kata sayang aku memanggilmu? Masih pantaskah aku?

Senandika LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang