Perempuan Tua Berambut Putih

61 2 0
                                    

Apa yang sebebarnya terjadi pada Dea? Apa yang "Mereka" inginkan? Apa salahnya?

Rasa takut bukan untuk dilawan, tapi dilalui. Begitulah ungkapan yang sering diucapkan orang-orang tua dulu. Namun demikian, tak sedikit pula orang yang terkurung dalam ketakutannya sampai tak dapat kembali pada dirinya. Maka, hendaknya ketegaran ditanam sejak dini agar rasa takut tidak akan mengambil alih kemudi.

Pagi ini Dea berangkat ke sekolah dengan diantar oleh Gibran, sesuai perjanjian mereka. Motor milik Gibran melaju membelah jalanan yang masih belum ramai.

Singkat, mereka sudah berada di sekolah. Murid-murid dengan seragam putih abu-abu ramai berlalu-lalang di seantero sekolah.

"Aku masuk ya!" ujar Dea.

Gibran mengangguk tak bersuara, lalu berjalan berbeda arah menuju kelasnya. Namun sesaat memandangi punggung Dea menjauhinya, ekor matanya melihat sesuatu yang seolah mengawal Dea di belakangnya.

"Huh?" Gibran berdelik, matanya menyipit kemudian menggosok-gosoknya.

Tidak ada, Dea sendirian. Gibran menggaruk kepalanya yang tak gatal itu, menggangkat bahu, kemudian berlalu.

"Dia memperhatikanmu!"

"Apa?" Dea melongoh keanehan. Sepertinya barusan ada yang bicara.

Dea menoleh ke keblakang, kosong. Mungkin salah dengar pikirnya. Tanpa peduli, Dea melajutkan langkahnya menuju kelas.

Seperjurus kemudia pelajaran dimulai. Seorang guru perempuan masuk setelah mengucap salam. Namun aneh, ketika sorot mata Dea menangkap satu orang lain yang masuk bersama guru bernama Rita itu.

"Siapa itu?" tanya Dea pelan.

"Itu kan Ibu Rita, De." Santai Lara, teman sebangkunya menjawab.

"Huh, maksudnya bukan itu. Ah, lupakan!" balas Dea setengah terkejut.

Dea terus melihat perempuan tua yang rambutnya sudah putih dari pangkal sampai ujungnya itu. Berbalas dengan Dea, perempuan itu pun memandanginya lembut. Agaknya yang satu ini sangat ramah wajahnya. Layaknya nenek kepada cucunya.

Pelajaran dimulai, Bu Rita dengan senang hati memberikan materi serta menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Memang, jika ramah, siapapun akan hangat dibuatnya. Tapi kemudian Nenek yang menyertai sang guru datang mendekati meja Dea. Sesaat Dea menoleh kanan-kiri. Kenapa yang lain tidak memperhatikan nenek ini?

Si Nenek berhenti tepat di depan mejanya. Dea mencoba untuk tak melihat, tetap melihat ke depan walau sebenarnya tak terlihat melainkan tubuh rentan itu. Si Nenek kemudian bergeser sedikit agar Dea dapat melihat papan tulis di depan kelas.

"Nenek tak mau mengusikmu. Tapi, apa boleh nenek minta sedikit bantuan kamu?" tanya si Nenek.

Seolah tak mendengar, Dea tetap fokus pada guru dan papan tulis di depannya. Si Nenek tersenyum, kiranya dia pun sadar kalau gadis di hadapannya tengah menahan takut.

"Tenanglah, Nenek memang bukan mau menakuti kamu. Nenek tau, kamu bisa lihat Nenek,bukan?" lanjut si Nenek.

Perlahan Dea menyerong wajahnya memperhatikan sosok yang mengajaknya bicara. Benar, tidak menyeramkan, malah sangat hangat kala dia menatapnya. Si Nenek kembali tersenyum.

"Cukup pakai dari kamu saja. Satu untuk 'iya', dua untuk 'tidak', bagaimana?" tanya si Nenek.

Dea mengangguk, tidak ada salahnya juga pikirnya. Lagi pula Bu Rita tak akan menyadarinya.

"Nenek punya cucu. Mungkin seumuran guru kamu. Terakhir kali Nenek bertemu, dia masih bayi. Jadi nenek tidak tahu wajahnya sekarang. Apa kamu mau menolong Nenek mencarinya?" pinta Si Nenek.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jangan Takut!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang