"Rina, bangun...", wanita itu memanggil-manggil namaku. "Ma...?", aku masih sangat mengantuk untuk membuka mata.
"Ayo makan malam dulu, Rin. Kamu dari tadi belum makan loh".
Kucoba untuk membuka mataku. Perutku memang terasa sangat sakit. "Ma...? Mama?!", wanita yang dihadapanku benar-benar mamaku. Aku memeluknya, "ma... Aku kira kita sudah berpisah". Mama mengelus kepalaku, "berpisah?". Aku melihat tatapan teduh di mata mama, "ayo sekarang makan dulu".
Aku beranjak dari ranjang kecilku itu. Namun aku terjatuh. Rasanya seperti jatuh ke jurang.
Apa aku masih hidup? Semuanya tampak gelap. "Rina...". Siapa yang memanggilku? Bukan suara mama. Tubuhku serasa terguncang.
"Rina... Bangun, Rin!". Aku melihat Yuko berdiri di samping ranjangku. "Tan... Tante Yuko?", ah berarti tadi hanya mimpi.
Yuko tersenyum, "Mama. Panggil aku mama. Oh ya... Kamu tidak lapar, nak? Tidurmu lama sekali".
Aku mengucek mataku, "iya... Aku kecapean". Perutku terasa semakin perih, "sudah waktunya makan, ma?".
"Sudah. Ayo makan. Ayahmu sudah menunggu di sana". Tentu saja yang dimaksud "ayah" itu Ryuji.
Ryuji tersenyum melihatku, "kamu baru bangun, Rin?". Aku mengambil piring yang sudah tersedia di meja makan, "iya, yah. Aku ngantuk banget". Kulihat makanan yang ada di meja makan. Hampir semua makanan itu sama sekali tidak pernah hadir di meja makanku yang dulu.
"Rin, kamu belum bisa langsung sekolah", kata Ryuji sambil mengunyah makanannya. Aku terkejut, "loh? Kenapa?". Ryuji kembali mengambil nasi. Tubuhnya sudah terlalu gemuk untuk makan sebanyak ini. "Maaf aku tidak memberitahumu dari awal. Di sini sekolah dimulai pada bulan April. Dan sekarang sudah akhir bulan Juli", jelasnya.
Bagaimana ini? Apa itu artinya aku harus libur sekolah selama satu tahun? Lalu apa yang kulakukan selama satu tahun itu? Bermain-main? Tapi tujuanku ke sini bukan itu, kan?
"Maksudnya? Aku harus menunggu April tahun depan?!", tanyaku dengan agak marah.
"Ya seperti itulah... Lagipula kamu belum bisa bahasa Jepang. Apa kamu bisa mengerti pelajaran di sekolah?".
Ryuji benar juga. Aku sama sekali belum bisa bahasa Jepang. Ah! Aku ingat!
"Yah, aku boleh jadi kasir di salah satu minimarket mu?", aku bertanya dengan semangat.
"Hmm boleh juga. Ada salah satu minimarket yang karyawannya orang Indonesia. Nah, kamu bisa sambil belajar bahasa Jepang di sana".
Yeay!!! Akhirnya aku bisa belajar tapi dengan cara yang tidak membosankan. Yuko menanggapi, "tapi bukannya Diah ditempatkan di Shibuya ya?". Aku langsung mengangkat kepalaku mendengar perkataan Yuko. Shibuya? Peluang bertemu Dave semakin besar.
"Ah... Tidak apa-apa, ma. Kan deket", aku berharap Yuko mengizinkanku. "Iya. Tidak jauh kok. Cuma 2 KM dari sini. Tapi ya yang paling dekat di seberang rumah kita", kata Ryuji.
Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan diriku yang melayani Dave. "Rin!", Yuko mengagetkanku. Aku gelagapan, "eh... boleh sekarang aku mulai ke minimarket?".
Ryuji tersenyum dan mengangguk, "iya. Tapi kamu mandi dulu". Aku terkekeh. Bagaimana jadinya kalau aku bertemu Dave di sana dan aku belum mandi.
Sekitar pukul 1 siang, aku dan Yuko menuju ke minimarket itu. Di sini minimarket disebut konbini. Aku mengayuh sepedaku. Sepeda ini sebenarnya milik Yuko yang sudah lama tidak dipakai. Aku mengikuti Yuko di belakangnya. Cuaca hari ini sangatlah panas. Perjalanan 10 menit terasa sungguh menyiksa.
Sesampainya di situ Yuko memperkenalkanku kepada Diah. Dia sudah lama kerja di sini untuk menambah penghasilan suaminya yang bekerja di salah satu pabrik otomotif di Jepang. "Aku tinggal dulu ya, Rin. Tante Diah orangnya baik kok. Diah, nanti Rina sekalian diajari bahasa Jepang ya", kata Yuko seraya meninggalkan kami.
Banyak sekali pembeli yang datang. Ini sebuah tantangan bagiku yang sama sekali tidak bisa berbahasa Jepang. Diah membantuku dengan kata-kata dasar seperti angka-angka dalam bahasa Jepang.
Aku hari ini belum bisa membantu banyak. Aku hanya mengambilkan uang kembalian dari mesin kasir. Diah juga menerjemahkan setiap kata yang diucapkan pelanggan. Jadinya aku bisa mengerti beberapa kata yang sering diucapkan saat jual beli.
Pukul 5 sore seorang gadis yang seumuran denganku menghampiri Diah dengan membawa kotak nasi. "Rina, perkenalkan ini anakku. Namanya Ayu". Bukannya Ayu itu yang pernah diceritakan Nita? Aku tak menyangka bertemu dengannya di sini.
Aku menjabat tangan Ayu. Ayu tersenyum ceria, "aku dah tau kamu, Rin. Nita kemarin cerita tentang kamu loh. Gak nyangka kita bisa bertemu ya". Berarti benar anak ini temannya Nita. Tingkah lakunya pun mirip. Aku hanya tertawa kecil, "senang berkenalan denganmu, Ayu".
Diah bilang bahwa besok yang tugas jaga di sini adalah Ayu. Aku tidak masalah dengan hal itu. Aku malah senang bisa mendapat teman yang sebaya di sini.
Ayu melambaikan tangannya, "Bu, aku pulang dulu ya. Ada banyak tugas nih. Rina, sampai jumpa besok!".
Kami meneruskan kerja kami. Aku sama sekali tidak merasa lelah menjadi kasir di sini. Diah terus bercerita tentang Ayu. Kata Diah, Ayu adalah gadis yang supel. Dia selalu ceria dan mudah bergaul. Dialah yang membuat Diah bisa tersenyum meskipun sedang dalam kesulitan.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku mengangkatnya, "halo?". Terdengar suara wanita di ponsel itu, "halo Rina". Mama? "Ma?! Mama apa kabar? Aku kangen mama...". Aku sangat senang bisa kembali mendengar suara mama.
"Mama baik-baik saja Rin. Ayah juga. Kamu gimana di sana? Dah dapat sekolah?"
Aku terdiam. Mama belum tau kalau di sini tahun ajaran baru nya berbeda? "Ma... Aku tidak sekolah...". Mama tidak merespon. "Ma? Halo!". Aku masih mendengar nafas mama.
"Maksudmu tidak sekolah, Rin?", akhirnya mama berbicara. "Aku baru bisa sekolah di tahun depan, ma... Sekarang aku masih harus belajar bahasa Jepang dulu. Lagipula tahun ajaran baru di sini beda dengan di Indonesia. Jadinya aku harus menunggu tahun depan", jelasku.
"Rina! Ayo pulang!", Yuko menghampiri ku dan menarik tanganku.
"Rin? Kamu dipanggil sama Yuko, kan? Sudah dulu ya telponnya", suara mamaku berubah serak.
"Ma?! Mama!". Tut tut... Mama sudah mematikan teleponnya. "Mama mu ya Rin?", tanya Yuko. Aku mengangguk, "iya...". Yuko tersenyum dan menggandeng tanganku, "pulang dulu ya. Sekarang sudah malam".
Aku berpamitan dengan Diah yang juga akan pulang sekarang. Kuambil sepedaku di parkiran. Aku sama sekali belum puas dengan telepon tadi. Kenapa Yuko tidak membiarkanku kalau dia tau aku sedang bertelepon dengan mamaku?
Kukayuh sepedaku dengan perlahan. Yuko sudah berada jauh di depanku. Ternyata dia berhenti dan menungguku, "ayo Rin! Kamu capek?". Aku menggeleng. Apa kamu tidak paham, Yuko?
Sesampainya di rumah, kami langsung menuju ruang makan. Ryuji sudah berada di sana. "Bagaimana tadi di minimarket?", tanya Ryuji. Sambil makan, aku menceritakan semuanya tentang Diah dan Ayu. Hampir saja aku bercerita tentang telepon dari mama tadi jika Yuko tidak memotong pembicaraan ku, "sudah Rin. Ceritanya dilanjutkan besok ya".
Aku tak meresponnya. Aku menghabiskan makan malamku itu dan berjalan kembali ke kamarku. Aku berdiri di depan ranjang. Kutatap kaca besar itu lagi. Siluet itu tidak berpindah sama sekali. Kapan aku bisa menyentuhnya?

KAMU SEDANG MEMBACA
A Tribute For You (Hiatus)
Teen FictionAuthor sedang disibukkan dengan sekolah. Masih belum tau kapan update lagi. Rina merupakan seorang gadis yang suka berselancar di sosial media dan sangat menyukai musik. Dia memanfaatkan sosal media untuk mengetahui musik-musik yang belum diketahuin...