Satu, Satu

8 4 0
                                    

Alesya

Aku ingin sekali mengelak atas apa yang kurasakan selama ini
Namun sayangnya, jantungku tak pernah mau ikut berkompromi
Bagaimana tidak? Mendengar namamu saja sudah mampu membuatnya berdegub sangat cepat
Tak mungkin, kan, hanya sekelebat, apalagi sesaat?

*

"Oke, Alesya yang kalah ya!"

"Yeay, hampir saja gue yang jadi tumbal!"

"Semangat ya, Alesya sayang."

"Al, mau gue temenin?"

"Huuu modus lo!"

Kalau kursus cara bermain "Gunting, Batu, Kertas" itu benar-benar ada, mungkin saat ini aku akan lebih memilih kursus itu dan rela meninggalkan kelas biolaku. Bayangkan saja. Dari sepuluh teman satu kelompokku yang bermain, akulah yang terburuk!

Aku kalah. Dan konsekuensinya, aku harus mengambil air di sungai dekat perkemahan. Sebenarnya ini bukanlah masalah besar, sih. Tidak masalah juga bagiku, toh sungainya tidak terlalu jauh. Tapi yang jadi masalah adalah, sekarang sudah malam! Oke, masih pukul tujuh, tapi ini ditengah hutan! Aku harus berjalan sendirian menuju sungai yang berada ditengah hutan, malam-malam, tanpa tahu ada apa yang mungkin akan terjadi.

"Apa nggak ada opsi lain nih? Gue yang masak deh." Aku mencoba untuk menawar hukumanku.

"Nggak bisa gitu dong, Al. Kita kan tadi udah sepakat. Lagian, kelompok kita aja nih yang belum. Tuh lihat kelompok lain udah mulai kerja." Bantah Risa.

"Lo ikut gue aja, Al. Kebetulan gue juga mau ambil air ke sungai." Suara yang tak disangka-sangka itu akhirnya datang. Yes, my guardian angel! Dan tebak siapa yang menawarkan diri untuk pergi ke sungai bersamaku? Kak Randy! Dia adalah kakak kelasku. Memang dia bukanlah ketua OSIS atau ketua basket seperti tokoh-tokoh keren yang menjadi pemeran utama di novel-novel remaja, tapi dia adalah anggota Paskibra yang sudah berhasil menembus tingkat provinsi! Ditambah, dia sudah melanglang buana mengikuti kegiatan alam seperti ini.

Hanya itu?

Tidak. Aku akan jujur pada kalian. Tapi ini rahasia diantara kita saja, ya. Karena aku tak pernah memberitahukan hal ini pada siapapun.

Aku mencintainya.

Ya. Dan ini sudah sangat lama terjadi. Aku menyimpan perasaan ini pada Kak Randy sejak aku duduk di bangku SMP, tepatnya di kelas satu. Sekolah kami, Sekolah Harapan Bangsa adalah sekolah yang lingkupnya tidak hanya SMA, tapi juga dari TK, SD, dan SMP. Aku sudah bersekolah disini sejak SMP, begitupun dengan Kak Randy. Alasanku untuk tak beranjak dari sekolah ini ketika SMA tak lain adalah karenanya. Karena Kak Randy kembali bersekolah disini. Dan perasaan itu mulai tumbuh. Awal kami bertemu adalah–

"Al, jadi ikut nggak?" Suara itu membuyarkan lamunanku.

"Ah, iya, jadi Kak." Jawabku sekenanya.

"Bawa senter lo. Ikutin gue, ya." Perintahnya.

I will. And I always do, Kak.

Kak Randy berjalan didepanku. Dengan senter di tangan kirinya, dan ember di tangan kanannya, kami memecah kesunyian hutan. Suara jangkrik bersahutan terdengar. Samar-samar, kabut turut menemani perjalanan kami. Ini perjalanan teromantis buatku. Ini pertama kalinya pula aku jalan berduaan dengan Kak Randy.

"Ehm... Kak..." Aku mulai menyapanya untuk memecah kesunyian. Jantungku bergemuruh sangat kencang. Ribuan kupu-kupu beterbangan di perutku.

"Hmm?" Sahutnya singkat. Sangat singkat.

"Err..." Aku gugup. Poor you, Alesya. It's your time! It's your chance!

Kak Randy menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arahku sembari menyorotkan senter LED miliknya. Silau.

Accidentally, LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang