↭
Pria itu, mendesah pelan. Ia, mengusap kasar wajah tampannya.
Pandangannya, kembali ia alihkan pada seorang pria yang memakain jas hitam di hadapannya."Jadi, masih belum ada kabar tentang keadaan Pamanku?" pria bermata cokelat itu, kembali menatap datar pada pria yang ada di hadapannya.
Pria yang ada di hadapannya mengangguk sekilas. Ia, menatap pria bermata cokelat yang duduk di kursi kebesarannya itu. "Belum, Tuan," jawabnya singkat, padat, dan tidak jelas.
Pria bermata coklat itu, sedikit bergerak dari duduknya. Tatapannya, ia fokuskan pada pulpen yang sedari tadi diketukannya pada meja. Ah, pria bermata cokelat itu akhirnya menghela napas gusar. Aura dingin yang tadi mendominasi, kini menciut sudah. Ia, kemudian menyenderkan tubuhnya pada kepala kursi, rasa putus asa mulai menyelinap masuk. Setelah bertahun-tahun ia melakukan pencarian, belum ada satupun kabar masuk untuk sekedar membuatnya bernafas lega tentang bagaimana keadaan sang Paman. Terlebih, sesuatu seperti mencabik-cabik hatinya ketika pikirannya, teralihkan dari hal itu, hal berat yang membuat ia hampir menjadi seorang sebatang kara di dunia ini.
Pria bermata cokelat itu kembali mendesah. Desahan halus yang tidak banyak terdengar karena dikeluarkan bagitu pelan. Tatapan mata cokelatnya, kemudian teralihkan kembali pada pria berjas yang ada di hadapannya. "Kau boleh pergi," ucap Pria bermata cokelat itu pada pria berjas yang ada di hadapannya.
Pria berjas itu mengangguk pelan, kemudian berjongkok sopan dan perlahan berbalik meninggalkan pria bermata cokelat yang merupakan bosnya itu.
Selepas kepergian pria berjas hitam itu, pria bermata cokelat itu, perlahan bangkit dan mengambil ponsel yang ada di meja kerjanya. Ia, tampak mencari sesuatu di sana, setelah ia menemukan apa yang ia cari dari ponselnya itu, ia kemudian menempelkan ponsel itu pada telinganya sambil berjalan mendekat ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan padat kota Jakarta.
"Aku ingin, kau mempercepat pencarian Adikku," ucapnya pada orang di seberang sana, kemudian tanpa permisi, pria itu mematikan ponsel secara sepihak tanpa memerdulilkan orang di seberang sana yang mungkin hendak menjawab perkataannya.
"Fatimah, di mana kau?"
↭
"Kau tidak mau menikah? Yaa, mau bagaimana lagi, kesempatan tidak akan datang dua kali. Ingat Fatimah, yang melamarmu dan serius untuk menjadikanmu istri itu seorang Keanu Matthew Steward, yang tidak bisa aku maupun kau tolak pesonanya. Bukankah selama ini kita hanya bisa menatapnya di layar televisi? Oh bukan, sebenarnya dia jarang tampil di televisi. Aku saja baru tahu jika Tuan Gillan punya putra tampan, selain Putranya yang brengsek yang beberapa waktu lalu menyewa restoran ini dan menjadikan mata kita tidak suci lagi karena harus melihat dia bercumbu di depan mata kita yang awalnya masih steril-"
Huh, Fatimah sangat malas sekali jika harus mendengarkan celotehan panjang dari Alivia. Astaga, bukannya menghibur Fatimah, wanita muda itu justru malam memuja-muja Kean, yang padahal tidak jauh berbeda dengan Adiknya tadi. Ish! Menyebalkan!
"Aku yakin sekali Fatimah, jika Kean kemasukan jin Qarin."
Fatimah mengerjap. "Ha?"
"Dia pasti kerasukan Jin Qarin karena sudah memilihmu menjadi istrinya," ucap Alivia yang entah kenapa terdengar melantur. Kemarin dan baru saja, dia mendukung Fatimah untuk menikah dengan Kean, tapi sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Love [Sudah Diterbitkan]
Romance©2018 Story by Dallas_93 . . . . --- (SUDAH DITERBITKAN) Pemesanan novel bisa langsung ke shopee Cahaya Publisher (cahaya_bookstore) Bai'at cinta. Ketika Ia sudah berbai'at atas cinta yang telah digenggamnya. Memberikan semua yang ada pada dirinya...