Dua puluh tujuh

145 15 0
                                    

Dua hari sudah Alana tidak sekolah. Alex belum mengizinkan putrinya sekolah dikarenakan kondisinya belum baik. Entah apa yang dialami tubuh Alana sehingga bisa drop seperti ini.

Dua hari pula, Alex dan Allysa merasakan cahaya di rumah mereka redup. Cahaya kehangatan yang biasanya berpendar di mata Alana, kini pudar. Dua hari tanpa senyum manis dan tawa Alana membuat semua terasa berbeda bagi Allysa dan Alex.

Setelah menimbang-nimbang untuk beberapa waktu, Alex membulatkan tekadnya. Mungin... pindah ke tempat lain akan membuat Alana lebih tenang. Mungkin... jauh dari Arnes akan membuat Alana lebih mudah melupakan laki-laki itu.

"Pindah, Pi?" Alana terkejut ketika Alex mengajaknya pindah ke Amerika.

Alex mengangguk, menatap Alana lembut. "Mungkin dengan kita pindah, kamu jadi lebih mudah lupain dia. Biar kamu gak perlu lagi ketemu dia."

"Kamu... mau?" tanya Allysa hati-hati. Sebagai seorang ibu, tentu Allysa menginginkan yang terbaik untuk putrinya.

Alana bergeming. Ada banyak kenangan bersama Arnes di sini, juga kemungkinan untuk bertemu dengan Arnes yang sangat besar. Tapi ia ingat, Arnes adalah milik Bella. Alana harus melepaskannya, kemudian melupakan. Sama sekali bukan perkara mudah. Namun apalagi yang bisa dilakukan?

Alex bicara lagi, "Papi takut, Al. Papi takut kamu sedih terus begini. Papi cuma mau lihat senyum kamu. Bukan lihat kamu sedih karena cowok itu."

"Kamu sayang dia kan?" tanya Allysa lagi. Alana mengangguk pelan. "Mommy ngerti, memang gak mudah. Tapi lebih sulit kalau kamu tetep di sini. Bener yang papi bilang."

Alana masih bergeming. Alana tidak mau berpikir lebih panjang. Cukup melakukan apa yang seharusnya ia lakukan; pergi dan melupakan Arnes.

"Al mau kok, Mom, Pap."

***

Matahari hampir berada di atas kepala siang ini. Alex, berada di halaman SMA permata Bangsa. Di tangannya terdapat sebuah amplop cokelat berisi surat-surat untuk mengurus kepindahan putrinya. Koridor lantai satu lengang. Hanya ada dua-tiga anak yang berlalu-lalang.

Di kantin, Arnes dan teman-temannya berkumpul.

"Nes!" tegur Nevan. "Ngelamun terus lo dari kemaren, jangan kebanyakan dipikirin kenapa."

Arnes menyugar rambutnya, dan tetap diam. Dia jadi irit bicara. Dan sebetulnya, Arnes sudah bercerita dengan kepada teman-temannya, juga Airin dan Hana tentang dirinya dan Bella. Yang membuat teman-temannya kaget, dan sempat marah pada Arnes.

Yah, namanya juga sahabat. Pasti memaafkan.

"Nes, udahlah. Gue tau emang gak mudah buat lo, buat Alana juga. Tapi dia butuh waktu," kata Arka.

Arnes tetap bergeming.

"Nes!" panggil Jaja. "Ya elah, udahan kek diemnya. Ngebacot lagi gitu ama gue. Lebih enak."

"Gue mau ke toilet." pamit Arnes dan bangkit dari kursinya di kantin.

Arka langsung saja memelototi Jaja yang asal menyeletuk. Padahal mood Arnes masih jelek. Jaja hanya menampilkan deretan giginya dan mengacungkan kedua jarinya; peace.

Urusan kepindahan Alana sudah diselesaikan Alex bersama kepala sekolah. Sudah beres. Alex membawa lagi amplop cokelat yang tadi, dengan isi yang sedikit bertambah. Di koridor, Alex melihat pemuda yang baru keluar dari toilet. Dari belakang, Alex mengenali siapa pemuda itu.

"Arnes," ucap Alex. Membuat pemuda yang merasa terpanggil itu menoleh.

Terkejut Arnes saat melihat lali-laki paruh baya yang dikenalnya. Arnes terdiam. Sementara Alex mengambil langkah mendekat. Tanpa Arnes sangka, sebuah tinju mendarat di pipi kirinya. Membuat kepalanya pening sesaat. Ujung bibirnya berkedut perih.

"Itu karena kamu buat anak saya menangis."

Arnes mengaku, ia pantas mendapatkannya. Sakitnya ini tak seberapa dibanding sakit yang ia lihat di mata Alana kemarin lusa. Arnes tidak mampu menatap Alex yang terlihat sangat marah.

"Saya kira kamu memang bisa buat Alana bahagia. Tapi ternyata kamu buat mata anak saya sembab karena menangis. Bahkan saya dan istri saya gak pernah sekali-sekali buat dia menangis."

"Saya... minta maaf, Om." Arnes berucap lirih, menundukkan kepalanya.

"Maaf kamu itu bisa apa?" tanya Alex dengan nada sinis. "Bisa buat Alana tersenyum bahagia lagi? Bisa buat dia tertawa lepas lagi?"

"Saya bakal lakuin apapun untuk itu, Om." Ucapan Arnes terdengar lebih mantap, dia memberanikan diri menatap Alex di hadapannya.

"Terlambat," ketus Alex. "Alana sudah tidak sekolah di sini lagi."

Mata Arnes menatap Alex dengan keterkejutan nyata, "A—Alana pindah?"

"Iya, dia gak akan bisa lupain kamu kalau tetap sekolah di sini."

"Pindah ke mana, Om?" tanya Arnes, sungguh berharap akan mendapat setitik harapan.

Alex membalas sinis, "Bukan urusan kamu."

"Tapi, Om—"

"Mulai sekarang, jangan kamu harap bisa ketemu lagi sama anak saya." ucap Alex pelan, tapi dengan nada yang keras dan menusuk, kemudian ia berlalu dari hadapan Arnes.

Arnes mematung di tempatnya berdiri sekarang. Memandang punggung tegap Alex menjauh dari hadapannya. Mengusap pipi kirinya yang masih terasa sakit, tangan satunya mengepal.

"Eerrgh!" Arnes berteriak frustrasi, menjambak rambutnya. Matanya memerah, susah payah menahan air mata yang menggenang.

Karena perjodohan bodoh itu, Arnes harus kehilangan cahayanya di dunianya. Hal yang jauh menyakiti Arnes dibanding tinjuan ayah Alana tadi. Arnes membuat putri sematawayangnya menangis. Jelas saja Alex marah besar.

Alex menghadap tembok di disebelahnya. Dengan tangan telanjang, ia meninju tembok tersebut berulang kali. Membuat kepalan tangannya memerah bahkan ada yang mulai mengeluarkan darah.

Ia bertekad, apapun akan ia lalukan untuk membatalkan perjodohan itu. Demi apapun, perjodohan itu harus batal. Dan ia harus mendapatkan Alana-nya kembali.

"Lah, Nes? Katanya ke toilet," Jaja menghampiri Arnes yang tampak kacau. Niatnya, Jaja ingin ke toilet, tapi melihat Arnes membuat niat ke toilet dia kesampingkan. "Kok lo... kacau gini?"

"Alana pindah...." jawab Arnes dengan suara rendah, menyiratkan ketakutan yang terpendam.

"Pindah kelas?" Jaja masih belum nyambung.

Arnes menggeleng lemah, "Pindah sekolah, gue gak tau kemana."

"Hah?! ARNES MANA BISA HIDUP TANPA ALANA?!" Jaja berteriak heboh, membuat beberapa siswa di sekitarnya melontarkan tatapan aneh.

Ya, mana bisa Arnes hidup tanpa Alana.

***

Mohon maaf untuk update yang supeer duper late🙏🙏🙏🙏

Heart Like YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang