Alana & Gionino

166 18 1
                                    

Alana berdiri di balkon apartemennya sambil menatap langit subuh yang masih biru. Sambil memejamkan mata, Alana menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar. Sesegar yang bisa diharapkannya di kota metropolitan yang sibuk seperti ini.

Mulai hari ini Alana akan hidup sendiri tanpa orang tuanya seperti yang dijalaninya selama hampir dua puluh dua tahun terakhir. Sebagai anak perempuan satu-satunya, sejak kecil Alana tidak diizinkan sekolah atau kuliah di luar kota kecil tempat kelahirannya.

Setelah berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa Alana bukan anak-anak lagi, akhirnya mereka mengizin-kannya untuk mencari pekerjaan di kota lain.

Berkat resume dan nilai-nilai yang cukup menakjub-kan yang diperolehnya selama kuliah, Alana berhasil men-dapatkan pekerjaan di bagian keuangan sebuah perusaha-an yang cukup besar. Dan hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja.

Setelah mandi dan berpakaian, Alana mengoleskan selai coklat vanilla di atas roti yang baru saja dipanggang-nya. Gugup yang dirasakannya membuat perutnya takkan mampu menerima makanan yang lebih berat daripada sepotong roti.

Musim hujan sudah tiba. Alana harus mengenakan jas yang cukup panjang dan syal serta sepatu bot untuk menghalangi hawa dingin masuk ke tubuhnya. Apalagi ia harus berjalan kaki karena letak apartemennya cukup dekat dengan kantor tempatnya bekerja.

"Eh, tunggu...!" Alana berteriak pada orang dalam lift yang akan dinaikinya.

Mendengar teriakannya, orang itu memegangi pintu lift agar tetap terbuka. Dan dengan berlari kecil, Alana ma-suk.

"Makasih..." ucap Alana sambil tersenyum kecil.

Tubuh cowok dalam lift itu ternyata tinggi juga. Alana harus mendongak untuk mengucapkan terima kasihnya, padahal Alana juga tidak terlalu pendek. Kulitnya putih dan rambut ikalnya panjang mencapai bahu. Dan saat cowok itu membalas senyumnya, Alana merasakan sensa-si aneh di perutnya. Seolah liftnya turun beberapa lantai dengan kecepatan tinggi.

Tetapi letak apartemennya di lantai empat membuat-nya tak bisa berlama-lama memandang cowok itu. Terle-bih lagi, kelihatannya cowok itu merasa sedang diperhati-kan karena setelah beberapa saat, cowok itu balik meman-dangnya. Alana jadi gugup dan mengembalikan tatapan-nya ke pintu lift yang mulai terbuka.

Setelah menatapnya sekilas, cowok itu keluar lift dan berjalan cepat ke arah pintu keluar.

Fiuuhhh...

Alana menghembuskan nafas lega. Karena baru disa-darinya, cowok itu adalah Nino, gitaris The Corner, salah satu grup band yang mengisi soundtrack film kesukaan-nya.

Banyak orang menyorot grup band baru itu, namun kebanyakan hanya menonjolkan vokalis mereka yang tampan dan bersuara ngebass. Mungkin karena saat manggung, seringnya cowok yang bernama asli Gionino Pratama itu memakai topi dan menundukkan kepala, berkonsentrasi pada permainan gitarnya. Mungkin juga karena pada saat wawancara Nino tidak banyak bicara dan lebih suka diam di sudut tempatnya biasa duduk.

Tapi di luar itu, Ninolah yang menciptakan sebagian besar lagu yang mereka nyanyikan. Lagu-lagu yang Alana tak pernah bosan mendengarnya karena syairnya yang dalam dan musiknya yang menenangkan.

Ketika menerima tawaran untuk menempati apartemen ini oleh tantenya yang sekarang tinggal di luar negeri, tak pernah disangkanya Alana akan tinggal satu gedung dengan cowok yang diidolakannya selama ini.

"Mbak..."

Alana melonjak saat bahunya ditepuk seseorang.

"Mau naik lagi?" tanya seorang pria berseragam satpam sambil menahan pintu lift. Ternyata tanpa sadar Alana sudah berdiri bengong dalam lift terbuka selama beberapa menit.

Alana & Gionino (One Shoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang