Satu

18 4 0
                                    

Hari ini adalah hari terakhirku menginjakkan kaki di sekolah. Aku menggunakan kebaya serta kain batik sebagai bawahanku. Riasan tipis mewarnai wajah pucatku.

Sesekali aku mengambil foto dengan teman-temanku, namun, setelah aku melihat hasilnya, tidak terlalu baik. Wajahku berbeda hari ini. Bukan riasan Mamaku tidak bagus, namun tidak ada aura bahagia di sana. Wajahku datar. Berbeda sekali dengan beberapa temanku. Mengapa? Karena ...

Aku kehilangan ... sosok yang kucari.

Sosok yang kutunggu jauh-jauh hari. Sosok pertama yang aku pikirkan ketika keluar dari rumahku pagi ini. Niatku, hari ini akan meminta foto bersamanya, sebagai foto pertama dan terakhirnya. Namun, entah kali ini ia menghilang begitu saja.

Aku kecewa. Sangat kecewa. Akupun menyesal. Selama ini aku terlalu menyia-nyiakan waktu. Aku kira, dia akan selalu ada, selalu ada jika aku ingin melihatnya. Kenyataan pahit hari ini membuatku sadar, bahwa perkiraanku bisa saja meleset.

Sampai akhirnya, kekecewaanku berubah. Sebuah pengeras suara membuat semua orang terdiam. Entah akan ada informasi apa yang akan meluncur dari mikrofon yang digenggam seorang paruh baya di atas panggung itu. Akupun merasakan hal yang tidak begitu enak.

Perasaanku tidak nyaman. Perkiraanku mengatakan ada sesuatu yang buruk. Namun kembali lagi, perkiraanku bisa saja melesat, seperti sebelumya. Aku dan yang lain menununggu pengumuman yang akan disampaikan seorang paruh baya yang tak lain adalah salah satu gru di sekolah kami.

Entah mengapa, aku terus merapalkan kalimat bahwa pengumuman itu adalah berita baik, bukan sebaliknya. Namun, entah mengapa hati ini trus bertentangan. Firasat buruk terus menghantuiku. Sampai akhirnya, sosok yang meggenggam mikrofon itu mengeluarkan suaranya.

Assalamuaikum warahmatullahi wabarakatu.” Baru saja beliau mengucapkan salam, hatiku bergemuruh tidak karuan. Jantungku serasa jatuh hingga ke perut. “Innalillahi wainnailaihi rajiun, telah berpulang ke Rahmatullah ... ananda Andre ...”

Deg!

Jantungku seakan berhenti beroperasi. Seluruh otot-ototku melemas. Mataku memanas, telingaku tidak beroperasi secara benar. Telingaku salah mendengar, atau pembawa mikrofon itu salah ucap? Ini mustahil. Bagaimana bisa nama lelaki itu dipanggil ketika sosoknya yang kutunggu sejak pagi tidak menampakkan batang hidungnya?

Lelucon yang sagat menjengkelkan. Dan, entah mengapa pula, seluruh siswa dan orang tua menutup mulut dan menampakkan wajah sedih mereka? Bahkan, beberapa siswa yang dekat dengan lelaki—yang namanya disebut dengan mikrofon, duduk tersedu sambil menutup wajah mereka yang bergelimang air mata. Aku masih yakin bahwa aku salah dengar. Atau ... aku sedang bermimpi?

Seketika aku mencubit lenganku yang tidak bersalah. Sakit. Aku masih merasakan sakit di kulitku. Ini nyata? Aku langsung menoleh ke arah Maura—sahabatku. Ia hanya mengangguk dua kali, lalu memelukku erat. Ia menangis di bahuku. Gemetar suaranya membuat mataku semakin memanas dan secara tiba-tiba mengeluarkan air yang sejak tadi aku tahan. Aku rapuh. Tubuhku merasa lemas. Otot di tubuhku benar-benar tidak mau beoperasi. Mereka melemas membiarkanku jatuh di pelukan Maura.

Entah dapat energi dari mana, aku langsung bangkit dan keluar dari aula menuju tempat parkir. Aku langsung mencari keberadaan mobil Ayah yang kuncinya tidak sengaja ada di dalam sling bag-ku. Tubuhku masih gemetar. Membuka pintu mobil saja tanganku gemetar. Setelah susah payah menyalakan mesin dan keluar dari tempat parkir, aku langsung menginjak gas dengan sarkas, tidak lagi peduli dengan speedometer yang terus menggerakkan jarum ke arah kanan dengan cepat.

Wajahku benar-benar hancur. Riasan Mama sudah tidak berbentuk. Maskara yang hitam menodai lingkaran mataku, pipi yang sejak pagi merona, menjadi lesu dan lembab. Aku sendiri tidak mau melihat wajahku.

Tanganku semakin gemetar ketika sampai di jalan yang banyak dikerumuni orang. Mereka mengenakan baju serba hitam. Aku langsung keluar dari mobil setelah lajunya kuberhentikan secara mendadak. Aku berlari dan masuk ke dalam rumah sederhana itu. Namun, seorang gadis yang cantik menangkapku secara cepat. Ia pun sama hancurnya dengan diriku. Wajahnya ditenggelamkan secara sepihak ke bahuku. Ia menangis tersedu-sedu sampai kehabisan napasnya. “Kak Andre, Kak ...” tanganku tidak bisa membalas pelukkannya, terlau lemas. Melihat bendera kuning yang menggantung di sisi pagar saja sudah membuat langkahku terseok. “Kak Andre sudah pulang, Kak,” lirih gadis cantik yang masih memelukku erat.

Aku memaksakan diri untuk masuk ke rumah itu, sekuat sisa tenagaku. Beberapa orang yang berdiri di hadapanku menepi, membiarkanku masuk tanpa hambatan. Sampai di ruang keluarga, suara isakan tangis seorang paruh baya membuatku sesak. Ia memeluk anaknya yang kaku sambil tersenyum. Kakiku tidak kuat lagi, aku lumpuh melihat wajah lelaki itu. Semua ingatan tentangnya kembali meyeruak pikiranku.

“Shania! Ini bekalmu. Tadi satpam nitip ini, katanya dari Mama kamu.”

“Shania, maaf, aku nggak bisa anter kamu pulang, aku ada rapat sebentar. Kamu bisa pulang sama Maura, kan?”

“Shania! Aku tunggu kamu di depan gerbang, ya. Hari ini aku bakal anter kamu pulang.”

Kalimat-kalimat menyesakkan itu kembali berputar di kepalaku. Namun, kalimat itu tidak akan kudengar lagi. Suara itu tidak akan kudengar lagi. Kini pemilik suara itu sudah tertidur pulas dipelukan Ibunya yang terus memanggil namanya untuk bangun kembali. Ia sudah pulang.

🍃

TNS [2] : Shaniandre✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang