Kembali

28 6 0
                                    


     Ajeng datang dari dalam rumahnya dengan membawa secangkir teh hangat dan cookies cokelat buatan ibunya yang selalu digemari oleh Danar. Ia menaruhnya di atas meja dan mempersilakan Danar untuk menikmati santapan yang tidak seberapa itu. Senyum tipis terlihat di wajah Ajeng yang terlihat lebih natural tanpa polesan make up.

     Deru angin menyapu beberapa dedaunan kering di halaman rumah Ajeng. Suara riuh terdengar jelas dari lapangan di seberang tempat anak-anak kecil menghabiskan senja. Serta klakson yang beberapa kali terdengar dari pengendara beroda empat maupun beroda dua kala beberapa anak menjajal bermain di jalanan. Pemandangan yang amat biasa bagi Ajeng yang setiap waktu luangnya dihabiskan di rumah. Ia lebih senang berada di rumah untuk sekedar memanjakan diri atau mengerjakan pekerjaan rumah dari pada harus main ke luar menghabiskan uang yang tak seberapa ia dapat hanya dari ibunya. Karena ayahnya sudah tak memiliki pemasukan.

     Ajeng dan Danar tak saling tatap. Tak juga saling bicara. Mereka hanya fokus pada apa yang terlihat di matanya. Mendengarkan suara samar ibu-ibu yang bergosip di pos kamling sambil mengawasi anak-anaknya yang sedang bermain.

     "Tumben ke rumah. Ada apa?" Akhirnya Ajeng membuyarkan kesunyian yang ada di antara mereka.

     "Tadi lagi lewat sini, terus mampir."

     Anggukan kepala menjadi responnya terhadap jawaban Danar. Selebihnya, mereka kembali dalam diam.

     Ada perasaan dimana kecintaannya pada Danar seolah tak berarti apa-apa di pihak kekasihnya itu. Setelah selama kurang lebih dua setengah tahun hubungan mereka terjalin dalam ikatan cinta itu kandas. Kini mereka mencoba menyambungkan kembali ikatan cinta yang sempat terputus itu.

     Saat itu Danar memiliki alasan yang kuat untuk memilih putus. Namun ia tak memiliki alasan kuat untuk kembali menjalin cinta lagi dengan Ajeng. Sebaliknya bagi Ajeng. Cintanya begitu kuat pada Danar, sampai ia sempat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang sia-sia. Bodoh memang. Tapi ternyata ancaman itu cukup berpengaruh pada Danar.

     "Kita canggung banget ya?!"

     Danar menoleh. "Iya." Ia kembali pada apa yang sedari tadi dipandangi, tentu bukan Ajeng.

     "Kita dengerin lagu ya?!" dengan sedikit semangat, Ajeng membuka music player di smartphone-nya.

     Lagu Agatha Suci berjudul Cintai Aku Lagi mengalun menemani senja yang sebentar lagi berganti malam. Bagi Danar, lagu itu menjadi sebuah kode untuknya. Meski cukup peka, tapi ia merasa tidak ada yang harus ia lakukan. Karena pada dasarnya, cinta di hatinya untuk Ajeng telah sirna semenjak Danar berkata putus satu setengah bulan silam.


     Cintai aku lagi seperti waktu itu

     Tak bisa kuhindari hati selalu merindu

     Sayangi aku lagi tak mampu ku sendiri

     Tanpa hadirmu.. tanpa cintamu..


     "Kenapa nggak dengerin lagu lagi?" tanya Danar saat dirinya sadar lagu milik Agatha Suci telah usai.

     Ajeng tidak menjawab. Ia hanya menyimpulkan senyum tipis sambil menatap Danar.

     "Setelah putus dari kamu, rasanya hati aku hampa. Aku selalu ingin mengulangi rasa indah yang dulu pernah kita rasakan bersama. Bersama kamu, aku merasa nyaman. Karena itu aku ingin kamu bisa cintai aku lagi seperti dulu. Kamu bilang akan menyanggupi." Ajeng menghela napas. "Tapi aku merasa kamu hanya bisa menyanggupi satu hal. Kembali ke sisi aku. Sementara untuk mencintai aku lagi, nggak bisa kamu sanggupi. Aku benar, kan?!"

     Danar tak menjawab dan tak juga mengelak. Ia menelan salivanya dengan rasa gugup. Sontak tangannya menjamah leher dan mengusapnya.

     "Iya, aku paham."

     Ajeng menjamah tangan Danar. Seketika itu juga Danar bisa menatap Ajeng lebih lama.

     "Perasaan tidak bisa dipaksakan. Perasaan milik semua insan hanya berjalan mengikuti arus pada hatinya. Begitupun kita; aku dan kamu."

     Laki-laki berusia satu tahun di atas Ajeng itu cukup menjadi pedengar yang baik untuk saat itu.

     "Jadi, aku mau kita kembali."

     Baru kali ini Danar bereaksi. Ia mengerutkan keningnya.

     "Maksud kamu apa? Aku kan udah kembali ke sisi kamu."

     Ajeng tersenyum lagi. Danar merasakan adanya ketulusan yang penuh dari senyum Ajeng kali ini.

     "Aku kembali ke kehidupan aku, dan kamu kembali ke kehidupan kamu. Kita sama-sama jalani hidup masing-masing tanpa mengusik satu sama lain."

     Kali ini Danar semakin merasa bingung.

     "Maaf, aku sudah egois selama ini tanpa memikirkan bagaimana perasaan kamu yang sesungguhnya. Cinta memang begitu. Aneh. Gila. Aku sudah cukup kalut larut dalam cinta yang seperti ini."

     "Jadi, maksud kamu kita putus lagi?" tebak Danar dengan penuh kehati-hatian.

     Anggukkan kepala spontan menjadi jawaban Ajeng.

     "Sekarang aku sadar. Meski sesuatu yang pergi sudah kembali, dia tidak akan pernah sama lagi. Danar yang sekarang nggak akan pernah bisa menjadi Danar yang dulu. Karena semua orang pasti berubah seiring berjalannya waktu."

     Entah bagaimana Danar bisa mengungkapkan ekpresinya pada Ajeng. Meski ia masih bingung atas keputusan Ajeng yang tak ia kira sebelumnya, tapi tetap ada perasaan senang yang menjalar di dalam hatinya. Hanya saja Danar tidak ingin menyinggung perasaan Ajeng, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Maka dari itu ia memilih untuk memperlihatkan wajah datarnya.

     "Kepala kamu abis kebentur apa sih? Tiba-tiba ngomongnya jadi sok dewasa begitu."

     Untuk yang kesekian kalinya, Ajeng tersenyum. "Kamu sudah mau memberi aku kesempatan untuk bisa termiliki olehmu lagi. Sekarang aku juga mau memberi kamu kesempatan yang sama. Kesempatan untuk bisa menjalani hidupmu dengan baik walau tanpa aku." Matanya mulai berkaca-kaca. Tinggal menunggu air mata mengalir dari ujung matanya.

     "Aku bingung harus merespon apa atas seluruh kalimat yang terujar dari bibir kamu. Tapi, aku senang kamu bisa lebih dewasa menyikapi hal ini. Aku berterimakasih karena kamu mau mengerti aku seutuhnya. Dan aku juga minta maaf karena telah menyinggung atau menyakiti perasaan kamu selama ini." Danar beranjak dari tempat duduknya dan memeluk Ajeng erat. "Semoga kamu bisa bahagia bersama orang yang lebih baik dari aku."

     Ajeng mengangguk. "Kamu juga."

     Mereka saling bertatap diiringi senyum yang baru nampak setelah kedatangan Danar dua puluh menit yang lalu. Untuk yang terakhir kalinya Danar mengusap lembut kepala Ajeng. Hal yang paling disuka oleh Ajeng sejak dulu. Kemudian Danar pamit pulang karena senja pun akhirnya pergi tergantikan malam. Ajeng menemani Danar hingga ke pintu gerbang.

     Suara riuh anak-anak kecil di lapangan serta suara sayup ibu-ibu bergosip di pos kamling mulai sirna. Terganti sunyi serta bunyi jangkrik yang mulai menemani sang malam. Hingga suara motor Danar menembus jalanan yang mulai sepi.

     Mata Ajeng berhenti mengekori pergerakan Danar yang menghilang di pertigaan ujung kompleks perumahannya. Ia melambai pada sisa jejak Danar. Diikuti air mata yang tiba-tiba menghujan di malam yang cerah itu, penuh tebaran bintang serta ditemani sang rembulan.

     "Selamat Danar. Kamu telah kembali. Seperti apa yang kau inginkan." Langkah Ajeng begitu berat berjalan menjauh dari pintu gerbang. Kembali ke tempat persinggahannya. Seperti Danar yang telah kembali pada dirinya sendiri.

KembaliWhere stories live. Discover now