Ketika Dia Pergi

4.1K 147 28
  • Dedicated to Christian Bale
                                    

”Aku akan bunuh diri di sini. Di kota ini,” desisku padanya.

Tawa panjang dan serak tiba-tiba saja keluar dari mulutnya, membuatku menyipitkan mata dan memandangnya dengan kesal.

Hah? Tahu apa sih dia tentang perasaanku?

”Kalau begitu kau tidak sepintar dugaanku,” ujarnya sambil mengangkat bahu.

”Aku memang bodoh, tapi kau juga akan jadi orang bodoh kalau kau mengalami nasib yang sama denganku,” teriakku tepat di depan mukanya.

”Siapa bilang?”

***

Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu, tepat sehari setelah kedatanganku ke kota ini.

Kulangkahkan kaki menuju sebuah toko suvenir kecil khas Wales ini. Hmm...isinya tidak terlalu banyak, tapi ya, cukup lengkap untuk ukuran sebuah kota kecil seperti Haverfordwest jika dibandingkan dengan Cardiff, ibukota Wales sendiri. Seorang pria tua bertopi pet yang kuduga sebagai pemilik toko melemparkan senyuman kepadaku.

Welcome, lof” ujarnya dengan bahasa Inggris beraksen Wales, demi melihat wajahku yang kental dengan nuansa Asia.

Aku membalasnya sambil mengucapkan terima kasih. Langkahku mengarah ke rak postcard, salah satu rak favoritku kalau sedang berada di toko suvenir. Entah kenapa aku tergila-gila dengan benda satu ini. Tidak heran teman-teman yang keluar negeri pun sering sekali menghadiahkannya padaku alih-alih suvenir lain. Tapi kali ini, aku punya tujuan lain menghampiri rak ini. Bukan untuk menambah koleksiku, melainkan mencari inspirasi. Aku ingin memilih tempat yang paling indah untuk melaksanakan niat mengakhiri hidupku. Sungguh ironis, bukan? Sambil mencari-cari, mataku tertumbuk pada salah satu dengan foto sebuah bunga kuning mungil yang cantik. Mataku terpejam sambil berusaha mengingat namanya. Hmmm....Daisy? Poppy? Honeysuckle? Bukan, ini...

”Daffodil, bunga nasional Wales. Cantik, bukan?”

Sebuah suara, dengan nada sangat rendah dan lebih menyerupai geraman menakutkan, nyaris membuatku merubuhkan rak yang ada di hadapanku.

“Astaga, Anda mengagetkanku!” ujarku sedikit kaget, refleks menoleh ke sumber suara sambil menekap dada.

”Oh, maaf. Tapi aku tidak bermaksud untuk itu,” ujarnya penuh sesal, masih dengan suara rendah yang sama.

Seorang pria dengan tinggi kurang lebih enam kaki berdiri dalam jarak yang cukup dekat di sebelahku. Rambutnya lurus berwarna kecoklatan, sedikit panjang dan disisir rapi ke belakang. Perhatianku beralih ke wajahnya. Matanya yang coklat menunjukkan penyesalan atas sikapnya tadi. Wajahnya bersih dan klimis dengan hidung mancung dan bibir tipis. Tambahkan rahang kokohnya plus kulit eksotis seperti terbakar matahari itu dan...astaga, dia tampan sekali! Sekarang suara bernada rendahnya kedengaran sangat seksi di telingaku. Ya ampun, dia lebih pantas jadi aktor Hollywood kalau begini....

Glek!

Aku menelan ludah. Tunggu! Tunggu dulu! Apa kataku tadi? Aktor Hollywood? Astaga, astaga, kenapa aku sangat familiar dengan wajah ini? Ya ampun, bukankah laki-laki ganteng di hadapanku ini adalah...

”Christian Bale!” jeritku histeris sambil mengancungkan telunjuk padanya. ”Kau...kau pasti dia, bukan?” sambungku masih dengan decitan memalukan. Tak lama aku menyesal karena menyadari betapa noraknya aku.

Pria tampan di hadapanku itu terlihat mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya sebuah senyuman manis mengulas di wajahnya. ”Ya ampun, sekarang gantian kau yang mengagetkanku,” ujarnya sambil tertawa renyah. ”Kau orang yang ke seribu dua ratus tiga puluh dua yang bilang begitu padaku.”

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now