9. The Clock Strikes Twelve

5.7K 496 112
                                    

She thought that it was no later than eleven when she counted the clock striking twelve. She jumped up and fled, as nimble as a deer. 

.

.

.

Jakarta, Maret 2011

Jadi begitu. Tiga bulan nggak ada kabar dan sekarang dia nggak menyapaku saat kami berpapasan. 

Oke.

Kuputar tubuhku, lenganku bertumpu pada pagar kaca yang menjaga pengunjung mal agar nggak jatuh ke lantai dasar. Kualihkan pikiranku ke Mas Danar sambil memuji diri sendiri dalam hati karena telah membuat keputusan yang tepat. Pokoknya Aksha adalah bedebah yang cuma memanfaatkanku untuk bersenang-senang, lalu berpindah ke wanita lain begitu kubilang aku nggak akan memilihnya. 

Tapi kenapa hatiku terasa seperti diremas-remas oleh genggaman tangan yang begitu kuat? 

Aku berbalik sekali lagi. Aksha sudah lenyap dari pandanganku. Lagi-lagi kutatap foto Mas Danar di dinding toko olahraga tersebut, seakan-akan ingin mengkonfirmasi hatiku masih mencintainya. 

Sayangnya, perasaanku terhadapnya sama seperti ekspresi wajahnya di foto itu. Datar. Apalagi dibandingkan dengan kecamuk yang kurasakan ketika memikirkan Aksha. 

Hanya ada satu cara untuk menghilangkan keresahanku. Kuraih ponselku dan kuhubungi kontak yang paling atas. 

Mas Danar <3

"Halo, ada apa, Gi?" ujar Mas Danar dari seberang telepon. 

"Kangen aja," sahutku. "Mau dengar suara Mas." 

"Ah ..." Mas Danar sepertinya kehabisan kata-kata. "Kebetulan, sih, aku lagi istirahat.

Aku dapat membayangkan wajahnya yang terengah-engah, poninya yang sedikit basah karena peluh, serta handuk putih yang melingkar di lehernya. 

"Makan malam bareng? Tapi di rumahku aja, ya. Udah harus jaga makan," lanjutnya. 

"Oke," sahutku. 

"Kujemput nanti.

"Aku lagi nggak di kantor ... lagi di mal." Kuberitahu nama mal tempatku berada sekarang. 

"Oke, sampai ketemu."

***

Makan malam bersama Mas Danar dan keluarganya nggak mampu menghilangkan keresahanku. Namun aku berusaha menyembunyikannya, menampilkan wajah seceria mungkin, mengagumi dan menciumi Chandra yang baru berusia sebulan. Putra Wulan itu diadopsi secara resmi oleh Mas Prad dan Uni Ratna yang memang belum memiliki anak sendiri. Aku nggak melihat Wulan, dia masih di kamarnya seperti biasa. Kata Mas Danar dia belum mau keluar kamar sejak Chandra lahir. 

Setelah makan malam, Mas Danar mengajakku berbicara berdua. Katanya, tiga minggu lagi ia akan pergi ke Seoul untuk bergabung dengan pelatnas khusus persiapan SEA Games. Aku hanya mengangguk saja -- pikiranku masih berkelana kepada kejadian tadi sore di mal. Lagipula ini sudah biasa. Para atlet kadang-kadang dibawa ke pelatnas di luar negeri untuk mencari suasana baru, sekaligus bekerja sama dengan pelatih asing. 

"Habis SEA Games, kalau semua lancar, kita bisa mulai mencari rumah atau apartemen, Gi," tuturnya dengan nada bahagia. 

Jantungku berpacu cepat. Ini yang kuinginkan, bukan? Tapi kenapa aku malah merasa ... hambar?

"Aku memang belum bisa melamarmu tahun ini, tapi aku sedang mempersiapkan untuk itu. Kondisi finansialku sekarang belum cukup, tapi kalau semua beres, nggak ada musibah mendadak lagi, sepertinya aku bisa menangani semuanya, termasuk biaya perawatan Wulan dan keperluan untuk Chandra. Mas Prad kan juga ikut membantu. Dan kamu mau ikut merintis bersamaku, kan?" 

The Socialite ◇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang