Bagian 10

39 9 6
                                    

Piano itu masih belum berhenti berbunyi. Siapa yang ada di sana? Aku berjalan mendekati kaca itu. Kutempelkan telapak tanganku. Prang! Seketika kaca itu pecah. Aku pun terjatuh di serpihan kaca.

Aku membuka mataku. Ternyata aku masih di ranjang. "Ah hanya mimpi", gumamku. Aku memang sering mimpi seperti itu. Mimpi sudah bangun dari tidur padahal masih di alam mimpi.

Aku melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5. Aku mencoba mendekati kaca itu lagi. Piano itu... Kenapa Ryuji tidak pernah memainkannya? Setahuku Ryuji memang bukanlah pianis. Tapi ternyata dia mempunyai sebuah grand piano.

"Rina!", Yuko mengetuk pintu kamarku. "Ada apa ma?", tanyaku. "Nanti kamu mau pakai baju apa?", tanya Yuko dengan senyuman manisnya. Aku tidak percaya dia bahkan menanyakan tentang itu. Sebenarnya aku juga masih belum tau mau pakai baju apa. Aku tidak punya baju yang bagus.

"Mama punya dress yang cocok buatmu", Yuko membuka lemariku dan mengambil salah satu midi-dress. Dress tersebut indah sekali. Warnanya biru tua. Aku menempelkannya di depan tubuhku. Sempurna! Ukurannya pas!

"Wah... Aku boleh pakai ini ma?", mataku masih bersinar-sinar melihat indahnya dress itu. Yuko mengangguk, "tentu saja, nak". Aku semakin tak sabar. Aku harus tampil cantik malam ini. Yuko juga memberikanku uang sejumlah ¥1500, "ini buat tambah-tambah Rin".
"Makasih banyak, ma", ucapku sambil tersenyum. Dengan tambahan uang ini aku bisa membeli sebuket bunga untuk Dave.

Setelah sarapan, aku melipat dan memasukan dress itu ke dalam tas ku. Tak lupa juga aku membawa sekotak make up yang biasanya tidak pernah kugunakan. "Ma, Yah, aku berangkat dulu ya", kataku sambil berlari. Sekarang sudah pukul 7.15. Aku mengayuh sepedaku dengan kencang. Lalu lintas pun sudah cukup ramai. Untunglah aku belum terjebak macet.

Tentu saja Ayu sudah ada di sana. "Ayu, nanti jadi loh ke konsernya", kataku sembari meletakkan tasku di bawah laci meja kasir. Ayu berdecak, "ck iya Rin. Tapi nanti kamu yang bayar setengahnya".
"Haha siap! Gak usah khawatir".

Tak terasa sudah pukul 6. Diah juga sudah di sini siap menggantikan Ayu. "Aku ganti baju dulu ya", kataku. Aku masuk ke toilet minimarket dan mengganti bajuku dengan dress yang diberikan oleh Yuko tadi. "Indah sekali...", gumamku sambil menatap bayangan diriku di cermin. Aku juga memoles wajahku dengan make-up. Aku terpukau melihat wajahku sendiri. Aku memang jarang sekali menggunakan make-up kecuali pada acara-acara formal.

Aku keluar dari toilet itu. "Rin? Itu kamu?", Ayu pun kagum melihat penampilan baruku.
"Iya, cocok kan?"
"Cocok Rin. Cantik banget".
Ayu juga mengganti bajunya dengan blouse dan celana panjang. Dia juga tampak cantik malam ini.

"Sudah siap? Aku pesan taksi ya", kataku.
"Iya Rin. Bu, aku dan Rina berangkat dulu ya", Ayu berpamitan kepada ibunya.
Aku jadi merasa tidak enak dengan Diah, "Tante Diah... Maaf ya kalau aku merepotkan Tante".
"Tidak apa-apa, Rin. Biar sekali-sekali Ayu itu main sama kamu".
Aku senang mendengarnya, "makasih Tan. Kami berangkat dulu ya".
"Ya. Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam".

Sebelum taksi datang, aku mengajak Ayu untuk menemaniku membeli bunga. Toko bunga itu hanya terletak di samping minimarket Ryuji. Aku membeli sebuket bunga mawar. Rencananya nanti akan kuberikan kepada Dave seusai konser.

Tak lama, taksi yang kami pesan pun tiba. Ternyata Hanabi Hall dari sini tidak jauh. Mungkin hanya sekitar 5 KM. Setibanya di gedung itu, kami turun dari taksi. Banyak sekali pengunjung yang datang. Kulihat wajah-wajah mereka tidak tampak seperti orang Jepang. Mungkin mereka teman-teman Dave dari sekolahnya.

Kami masuk ke gedung itu setelah membeli tiket. Tiketnya tak begitu mahal. Perkiraan ku pun benar hanya ¥1000. Aku dan Ayu mendapat tempat duduk di barisan tengah. Aku melihat ke sekeliling ku. Semuanya berpakaian rapi dan formal. Untunglah aku tidak salah kostum.

Para pemain orkestra sudah berada di panggung itu. Beberapa menit kemudian Dave pun masuk ke panggung bersama dengan konduktor nya. Semua pemain orkestra itu berdiri. Kami pun memberi tepuk tangan.

Dave membungkukkan badannya memberi hormat lalu duduk di belakang piano nya. Dia memulai memainkan pianonya. Pertama dengan tempo yang pelan dan terdengar berat. Lalu diiringi dengan biola yang benar-benar terdengar menyayat hatiku.

Tubuhku merinding mendengar musik ini. Aku sungguh kagum. Aku belum pernah mendengar musik seindah ini. Ternyata ini piece yang dikatakan Dave di chat dulu. Aku masih ingat dia bilang bahwa dia sedang mempelajari Rachmaninoff - Piano Concerto No. 2. Tak kusangka kini aku bisa melihat penampilannya dengan langsung.

Mungkin baru 4 menit berjalan, air mataku sudah terasa mengalir di pipi. Ayu terheran melihatku, "Rin? Kamu?". Aku menempelkan jari telunjuk di bibirku. Perhatian ku tak bisa lepas dari permainan piano Dave.

Piece ini seperti memainkan perasaanku. Memaksa diriku terhanyut ke dalam musik. Tempo nya semakin cepat dan semakin dramatis. Ini dia... Sampai di klimaksnya. Suara biola yang menyayat hati dan piano yang mengalun indah juga dramatis. Bisa dibilang ini adalah salah satu bagian favoritku.

Temponya kembali melambat. Benar-benar luar biasa. Movement kedua pun dimulai. Dressku sudah basah terkena jatuhan air mata yang dari tadi mengalir. Mungkin aku terdengar berlebihan. Tapi kelemahan ku ada di situ, aku tak bisa menahan air mataku ketika mendengar musik yang sangat indah.

Aku benar-benar jatuh cinta. Jatuh cinta kepada piece ini. Sekali lagi, ini sangat indah, bahkan terlalu indah. Rasanya diriku berada di surga. Ekspresi Dave tampak sangat menghayati. Andai aku bisa main piano seperti dia... Mungkin aku bisa pingsan di sana saking bahagianya.

Movement ketiga terdengar lebih rumit. Tetapi tak mengurangi keindahan musik ini. Justru menambah kekagumanku kepada permainan Dave. Dave benar-benar lihai memainkan pianonya meski dalam tempo seperti ini. Tak sadar kepalaku dari tadi bergoyang mengikuti irama. Aku tak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Yang ada di perhatian ku hanyalah pertunjukan ini.

Aku tak percaya ini concerto pertama yang dimainkan Dave. Dia tampak sangat sempurna. Apalagi di usianya yang masih muda. Aku bersyukur bisa mengenal seseorang yang hebat seperti dia.

Tak terasa konser sudah berakhir. Semua pengunjung bertepuk tangan meriah. Ternyata Ayu dari tadi tidur. "Ayu... Bangun... Dah selesai tuh", aku membangunkannya. Ayu gelagapan, "eh... Udah selesai ya?". Aku tidak mengerti bagaimana bisa Ayu malah tidur melewatkan penampilan luar biasa Dave.

Aku melihat buket mawarku. Saatnya kuberikan untuk Dave. Banyak juga yang memberikan bunga kepadanya. Aku tak mau ketinggalan. Aku berjalan sambil membawa buket itu.

Langkahku terhenti melihat seorang gadis menghampiri dan memeluk Dave. Dave mencium gadis itu. Ternyata gadis itu adalah Martha. Tak terasa buketku jatuh dari tanganku. "Rin?", Ayu mengambilkan buket yang jatuh itu.

Air mataku keluar lagi. Aku menggelengkan kepalaku lalu berlari meninggalkan gedung itu. Percuma saja aku memakai dress dan berdandan secantik ini.

"Rina!", Ayu menyusulku. "Kamu kenapa sih?", tanyanya. Aku hanya menggeleng. Ayu tersenyum dan menggenggam kedua tanganku, "tatap aku Rin. Kamu itu terlalu berlebihan. Kamu sudah tau kan dia punya pacar? Harusnya kamu juga sudah bisa mengira kalau hal seperti itu akan terjadi".

Ayu benar. Aku bukan siapa-siapa nya Dave. Dan sangat bodoh jika aku cemburu seperti ini. Aku mengusap air mataku sendiri. "Kamu benar, Yu. Hmm... Baiklah ayo pulang. Lupakan kejadian tadi", ucapku sembari memaksa senyuman.

Pukul 22.30 aku baru sampai rumah. Mungkin Yuko dan Ryuji sudah tidur. Aku juga terlalu malas untuk makan malam. Aku langsung merebahkan diriku di atas ranjang. Kucoba untuk melupakan kejadian antara Martha dan Dave tadi.

Lagipula seharusnya hal yang paling berkesan bagiku adalah penampilan Dave yang luar biasa tadi. Aku mengingat kembali suara piano yang dimainkannya. Aku tak tahan ingin mendengarkannya lagi. Aku mengambil ponselku dan langsung mencari piece itu di aplikasi streaming musik.

Aku memejamkan mataku. Tubuhku serasa melayang. Jari-jariku seperti memainkan piano yang ada di udara. Ah... Ini musik favorit ku yang baru. Jika aku mempunyai kesempatan untuk merekomendasikan musik kepada semua orang di dunia, pasti musik ini yang akan ku rekomendasikan.

Aku teringat dengan piano yang ada di balik kaca buram itu. Aku berjalan ke arah kaca itu lagi. Aku meraba kaca itu. Inginku segera memainkannya. Tapi apakah Ryuji akan memperbolehkanku?

A Tribute For You (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang