16 : Perasaan Kacau Balau.

910 113 21
                                    

Jungkook kembali ke kelasnya setelah selesai menemui pengawas cctv. Selama perjalanan, tidak sedikit Jungkook mendengar ocehan dari murid sekitar. Semuanya menggosipi kegaduhan kemarin. Ingin sekali Jungkook membungkam mulut mereka kalau saja sebentar lagi bukan ujian akhir. Dia harus mendapat perilaku yang baik untuk nilainya.

"Jungkook!"

Sejenak Jungkook menghentikan langkah. Ia menghela napas berat. Rasanya sangat malas Jungkook menghadapi sumber suara itu. Sangat jelas kalau suara itu milik Jisoo.

"Apa kabar, Jungkook-nya Eunha?" Jisoo berdiri centil di hadapan Jungkook bersama dua dayangnya.

"Ada apa?" tanya Jungkook dengan malas.

"Gue turut berduka cita ya atas perasaan lo yang harus terkubur hidup-hidup." Jisoo berucap dengan nada yang disedih-sedihkan.

Jungkook memasang senyum sinis. "Jangan-jangan semua itu ulah lo, ya?"

"Ups, hello! Liat dong sekarang lo ngomong sama siapa. Sama orang yang baru aja minta maaf sama kalian berdua kemarin. Masa lo masih nuduh kita pelakunya," timpal Rose dengan wajah menyedihkannya.

"Hooh. Selama ini kita jahat di depan, kan? Kita nggak fake, kayak siapa guys?" Jisoo berseru.

"Lalisa!!" Rose dan Jennie mengucap bersamaan dengan semangat.

"Gue yakin Lalisa bukan pelakunya."

Ketiga lawan bicara Jungkook tertawa.

"Kenapa nggak bilang itu pas perkelahian kemarin sih, Kook? Padahal gue dukung banget loh kalau lo mihak Lalisa dibanding Eunha." Jennie menyahut.

"Di antara mereka berdua, nggak ada yang salah."

"Dalam segala hal, pasti ada yang benar atau salah." Jisoo maju selangkah. "Gue tau, ada di posisi lo itu sulit. Secara logika, gue selalu nebak kalau lo itu mihak Eunha tapi dalam diri lo yang lain, lo nggak bisa kalau nggak mihak Lalisa juga. Pikirkan secara rasional, lo itu sebenarnya fake, kan? Dengan kepalsuan itulah, secara nggak langsung lo udah nyakiti Eunha."

Jisoo mengambil napas sebelum melanjutkan. "Selain itu juga, lo terlalu egois. Selama ini bukan cuma Eunha doang yang memonopoli lo, tapi lo juga sebaliknya. Lo harusnya tau, nggak setiap saat lo bisa ada di samping dia. Lo pikir selama lo nggak ada, siapa yang bisa nyingkirin pem-bully seperti kita? Asal lo tau, selama lo nggak ada, Eunha itu selalu menderita. Dia disakiti sama semua orang. Dan itu bukan cuma salah kita aja, tapi salah lo yang nggak bisa berpikir kalau Eunha butuh teman selain lo."

Jungkook menunduk, menjernihkan pikirannya, dan mencoba mencari penjelasan dari kalimat Jisoo barusan.

Jisoo menyentuh bahu Jungkook.

"Bersabarlah, Kook. Gue yakin kok Lalisa itu bukan pelakunya jadi bersiaplah ... hari mempermalukan Eunha akan segera tiba. Gue nggak tau ya, saat hari itu tiba, lo masih bisa ngelindungi Eunha seorang diri atau nggak. Intinya berjuanglah." Untuk terakhir, Jisoo menyunggingkan senyum liciknya sebelum meninggalkan Jungkook seorang diri.

Jungkook memijit pelipisnya. Perbincangan barusan telah membuatnya pusing. Seperti perintah Jisoo, Jungkook berpikir serasional mungkin.

Tidak. Jungkook merasa apa yang dikatakan Jisoo sama sekali tidak benar. Jungkook tidak pernah melihat Eunha menangis bahkan sekadar bersedih setiap kali Jungkook meninggalkan Eunha sendirian. Jungkook selalu melihat Eunha pulang sekolah dengan wajah ceria. Eunha tidak pernah terlihat kesepian. Eunha selalu terlihat lebih dari cukup memiliki dirinya seorang.

Namun pemikiran Jungkook belum sampai pada kalimat, 'mungkin saja Eunha selalu menyembunyikan rasa sakitnya' disaat Jungkook sendiri cuek terhadap keadaan sekitar.

Zona Aman [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang