2. Cause You're Handsome

1K 109 30
                                    

Cerita ini sepenuhnya fiksi. Jika ada kesamaan nama, tokoh dan latar belakang itu semua hanyalah ketidaksengajaan.

********

Juna terdiam dan kembali melirik gadis di sebelahnya yang berjalan dengan earphone di telinganya. Si gadis terus mengutak atik ponselnya tanpa mempedulikannya sedikitpun setelah baru saja ia memberanikan diri menyapanya. Beberapa menit yang lalu mereka berdua tak sengaja bertemu di parkiran khusus dokter dan sebagai dokter baru, Juna mau tak mau harus menyapanya. Menyapa si profesor yang seharusnya sudah ia sapa dua hari lalu. Dan disinilah ia sekarang, berjalan berdampingan dengan si profesor imut yang terlihat bagai paman dan ponakannya. Juna menarik napas panjang, ia tak bisa berdiam diri seperti ini sampai mereka berpisah mungkin di departemen bedah nanti. Setidaknya ia harus mengajak si profesor mengobrol.

"Apa pelipis anda baik baik saja Prof?" Lawan bicaranya itu mengangguk sekilas tanpa memandangnya membuat Juna berpikir keras, apa mungkin si profesor mengacuhkannya, batinnya cemas. "Apa anda marah pada saya?" Juna melirik profesor yang menghentikan kegiatan dengan ponselnya dan menoleh ke arahnya.

"Ngga dokter." Si profesor tersenyum dan menatap pria tampan di depannya. "Sepertinya dokter kepikiran insiden kemarin ya? Lupain aja. Aku bukan orang yang pendendam. Tenang aja, oke?" Ia menepuk bahu pria yang lebih tinggi darinya itu pelan. "Aku harus memperkenalkan diri secara langsung yak, ah namaku Namira Latif, profesor yang akan membimbing dokter. Panggil saja Nami. Salam kenal dariku." Namira tersenyum lagi membuat lawan bicaranya sedikit gugup. Gugup karna profesor cantik di depannya dan juga karna ternyata perbuatannya kemarin termaafkan dengan mudah.

"Nama saya Arjuna Jatiadi, Prof. Saya dokter spesialis bedah umur saya 32. Panggil saja Juna. Salam kenal juga dari saya." Namira mengangguk dan kembali berjalan. Juna yang melihat itu langsung mengekor dibelakangnya.

"Dokter Juna, tolong jangan tersinggung kalo aku pake bahasa yang ngga baku ke dokter Juna, sebenernya aku juga melakukannya ke sembarang dokter atau perawat." Namira menengok sekilas Juna yang mengangguk.

"Baik prof." Juna menjawab singkat pernyataan Namira barusan. Sebenarnya dia sedikit bingung karna profesor kecil itu menggunakan bahasa tidak baku padanya. Hal itu sedikit menggelitik telinganya, tapi mau bagaimana lagi, begitulah orang jenius. Mereka tak akan ambil pusing dengan kenyamanan orang sekitarnya, batin Juna acuh.

"Dokter Juna." Namira berhenti dengan tiba tiba membuat Juna terkejut. Ia ikut berhenti secara otomatis dan segera menyadarkan diri dari lamunannya. Ia merasa si profesor memanggil namanya.

"Iya prof, ada apa?"

"Apa dokter Juna sudah menikah?" Arjuna menggeleng dengan bingung. Namira terdiam dan melirik jari jari dokter di depannya itu sekilas. "Sudah punya kekasih?" Juna mengerutkan dahinya semakin bingung.

"Belum prof."

"Begitukah?" Namira menyilangkan tangannya di dada dan mengetuk dagunya. "Bagaimana bisa wajah setampan dokter tak punya kekasih." Namira mengendikan bahunya dan berlalu setelah itu.

Ia kembali berjalan meninggalkan Juna yang berdiri terbengong di koridor bangsal rawat inap departemen anak. Juna tak bisa memikirkan apa tujuan profesor itu menanyakan topik yang random kepadanya. Apa mungkin gadis itu tertarik padanya? Atau apakah semua gadis 25 tahun jaman sekarang tingkahnya aneh seperti dia? Batinnya semakin bingung. Juna hanya bisa bertanya tanya dalam hati dan kembali berjalan, kali ini sedikit menjaga jarak agar pertanyaan random tak kembali tertuju padanya dari si profesor imut itu.

*******

Seorang laki laki menengok ke arah koridor ruang dokter bedah umum. Wajahnya cerah saat dilihatnya seorang gadis cantik berjalan dengan earphone di telinganya tanpa memandang sekeliling. Ia segera menghampiri si gadis dan menyapanya.

Meet The ProfessorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang