Angin malam mengembus pelan, sewaktu ketiga anak itu meninggalkan rumah. Bello dituntun dengan tali. Mulainya anjing itu sebentar-sebentar berhenti untuk mngendus-endus ke dalam got. Tapi kemudian tidak dilakukannya lagi.
Petra mengenaan jaketnya yang terbuat dari kain jeans putih. Lehernya dililiti selampai berwarna biru. Ia merasa gelisah. Asyik, ia akan ikut bertualang! Tapi sayangnya, saat tengah malam nani ia sudah tidak bisa ikut lagi. Padahal itulah saat yang paling menegangkan. Di tenda tempat minum-minum tempat Otto -- pencuri yang bersuara serak -- akan bertemu dengan kawan-kawannya? Tentang hal itu, tidak ada keragu-raguan lagi. Di kota itu, hanya ada satu tenda tempat minum-minum, yaitu di pasar malam.
Thomas, walau sudah memakai kaca mata, kalau malam masih tetap tidah begitu jelas penglihatannya. Ia berjalan di sisi kanan Petra. Lengannya yang panjang terayun-ayun. Sambil berjalan, pikirannya berputar terus. Sambil berjalan, pikirannya berputar terus. Kita menghadapi masalah pelik, pikirnya. Bagaimana Sporty nanti akan mengenal pencuri-pencuri itu? Dari potongan badan mereka, tidak sedikit orang yang berpotongan begitu. Dan topi pet yang dipakai oleh pencuri yang jangkung? Itu tergantung, apakah ia nanti masih memakainya. Dan suara mereka? Ya -- hanya dari suara mereka saja Sporty akan bisa mengenali keduanya.Sporty berjalan di sebelah kiri Petra, sambil menuntun Bello. Tiba-tiba ia berhenti.
"He -- setelah kupikir-pikir, rasanya tidak adil jika polisi sama sekali tidak kita beri tahu, " katanya.
Kedua temannya tertegun. Hanya Bello saja yang masih terus berjalan. Tapi tidak bisa jauh, karena tertahan tali yang dipegang Sporty.
"Hati-hati sedikit dong!" tukas Petra. "Kan bisa tercekik lehernya!" Ia membungkuk, lalu mengeluarkan kepala anjingnya. Bello memandangnya, seolah-olah hendak mengatakan, "Aku tidak merasa sakit -- tapi senang juga, kau memperhatikan diriku!"
"Ayo salam, Bello!" kata Petra. Bello menjilat tangan tuannya, lalu mengulurkan kaki depannya untuk bersalaman. Memang sepantasnya Petra dijuluki 'Salam'!
"Kau ini -- mengacaukan konsepku saja," kata Thomas. "Aku kan perlu tahu secara terperinci, agar bisa berpikir untuk kita semua. Apa maksudmu tadi?"tanyanya pada Sporty.
"Aku setidak-tidaknya harus menelepon polisi untuk memberitahukan peristiwa pencurian yang kulihat tadi. Tapi tentu saja tanpa menyebut namaku."
"Kalau aku tidak salah ingat, kau wajib menyebut namamu jika hendak melapor."
Di sudut jalan di depan mereka ada tempat menelepon.
Mulanya mereka semua hendak masuk ke dalam, termasuk Bello. Tapi tempat itu terlalu sempit. Akhirnya hanya Sporty yang masuk. Tapi pintu bilik ditahannya dengan kaki, sehingga Petra dan Thomas bisa mengikuti pembicaraannya.
Mula-mula ia salah sambung, rupanya karena kegugupannya. Ia mendeham-deham, untuk melancarkan kerongkongan yang terasa kering. Terdengar deringan, disambung bunyi gagang diangkat.
"Disini kantor pusat kepolisian," kata seseorang bersuara santai.
"Saya..." Sporty menelan ludah. "Saya hendak melaporkan pencurian. Di Eichenallee. Nomor 12 atau 14. Sya melihatnya dari sebelah belakang saja. Secara kebetulan. Dua orang laki-laki keluar dari rumah, membawa lukisan."
"Sebentar, saya akan mencatatnya. Dengan siapa saya berbicara ini?"
"Maaf pak - tapi saya terburu-buru. Lagi pula cuma itu saja yang saya ketahui. Selamat malam!"
Sporty cepat-cepat menaruh gagang telepon. Tangannya terasa lembab. Ia mengusapkannya ke celana, tentu saja tanpa dilihat kedua temannya yang di luar.
"Nah?" Tanya Thomas.
"Kau kan mendengar sendiri, apa yang baru saja kukatakan."
"Mereka akan ke sana untuk memeriksa?"
"Entah - aku tidak tahu."
"Itu sudah pasti," kata PEtra. "Dari ayah kuketahui bahwa meskipun polisi tidak suka jika ada orang melapor tanpa menyebut namanya sendiri, tapi laporannya pasti akan diselidiki benar tidaknya. Saat ini juga pasti sudah ada mobil patroli yang dikirikm ke tempat itu."
Sporty melepaskan pintu bilik telepon yang selama itu masih dipegangnya. Disipitkannya matanya dan ia memandang ke seberang jalan. Di seberang persimpangan, di jalan satu arah, nampak diperkir sejumlah sepeda motor. Tujuh atau delapan sosok berdiri dengan botol di tangan, di depan sebuah kedai tempat minum-minum. Mereka itu remaja yang sudah lebih besar, berumur sekitar 16 atau 17 tahun. Eberapa di antaranya memakai helm serta jaket kulit. Ketika Sporty sedang menatap ke arah mereka, para remaja itu dengan serempak menoleh dan memandangnya. Seolah-olah ada yang memberi komando.
"Aduh," desah Petra. Ia mengikuti arah tatapan mata Sporty dn karenanya juga melihat gerombolan remaja itu. "Yo, kita pergi saja dari sini. Cepat!"
"Kenapa?"
"Yang besar dengan helm berwarna oranye itu - itu Rudi Kaluschke."
"Apakah aku harus mengenalnya?" Tanya Sporty.
Bertingkah! Ia dikeluarkan dari sekolahnya, karena hendak memukul salah seorang guru. Lama-lama ia pasti akan menjadi tukang pukul. Aku takkan mau dengan dia."
"Dengan dia?" Hati Sporty terasa pedih. "Kenapa kau mengatakan begitu?"
"Ah..."Petra nampak kikuk. "Ia bisa dibilang mencoba mendekati aku. Minggu lalu. Salah seorang dari temannya datang untuk menanyakan, apakah aku...Yo, kita pergi saja!"
Sporty agak bimbang. Lari, walau menghatapi lawan yang lebih banyak -- itu bukan gayanya!
Thomas tidak kenal perasaan seperti itu. Lengannya sudah ditekuk -- seolah-olah ia sudah siap untuk lari memecahkan rekornya sendiri.
Petra menarik-narik Bello.
"Ayo -- kau pasti akan kulindungi," kata gadis belia itu sambil menggaruk-garuk tengkuk anjingnya. Bello menengadah. Ia hendak memberi salam lagi. Tapi sementara itu mereka tidak bisa lari lagi. Sudah terlambat!
Bunyi langkah berderap menggema di jalan yang sunyi. Kedengarannya seperti mengancam. Dan memang begitulah kenyataannya.
"Gawat," bisik Thomas. Ia melepaskan kacamatanya dan memasukkan ke dalam kantung. Mungkin ia merasa lebih enak, jika bahaya yang datang itu hanya nampak samar-samar saja.
"Tujuh lawan dua -- itu tidak adil," katanya lagi. Suaranya sudah gemetar.
"Mereka berdepalan," kata Sporty. "Aku tidak peduli, apa yang nanti terjadi dengan kita. Pokoknya, Petra tidak mereka apa-apakan. Kita yang bertanggung jawab atas keselamatannya. Tidak, kau tidak, Thomas. Aku."
Petra menark Bello ke dekatnya. Anjing kecil itu dilindunginya dengan tangan. Saat berikutnya mereka sudah dikepung. Kedelapan remaja brengsek berpotongan tukang berkelahi itu berdiri dengan kaki terbuka lebar. Bau bir menghambur. Salah satu remaja itu, yang berbadan gempal dan mukanya penuh jerawat, bersendawa. Teman-temannya tertawa. Hanya yang paling besar saja tidak ikut tertawa. Itulah Rudi Kaluschke.
Rudi bermuka merah, berambut merah, sedang matanya agak menonjol ke depan. Ujung hidungnya mencuat ke arah langit. Ia memelihara kumis. Tapi tumbuhnya jarang-jarang. Dan itu tidak membuat tampang Rudi bertambah keren.
Tangan kirinya memegang helm, sedang yang kanan menggenggam botol bir.
"Ternyata aku memang tidak salah lihat," katanya.
"Anak-anak sekolah gymnasium. Mereka bukannya sudah meringkuk di tempat tidur dengan beruang-beruangan, tapi keluyuran di jalan. Dan anjing keparat pengigit itu juga ikut. Aku kenal dia -- celanaku baru-baru ini robek digigitnya."
"Itu tidak benar," kata Petra. "Bello tidak sampai menggigit. Ia anjing baik." Dielus-elusnya lagi anjingnya.
"Tutup mulutmu, cewek brengsek! Akan kuhajar anjingmu nanti. Tapi aku ingin bertanya sedikit pada kedua anak konyol ini." Ia memandang Sporty. "Aku rasanya seperti sudah pernah melihatmu. Kau anak asrama, kan?"
"Kami harus pergi sekarang," kata Sporty sambil berpaling.
"Kau baru bisa pergi kalau sudah kuizikan," tukas Rudi memotongnya.
"Aku pergi kapan saja aku mau," balas Sporty.
"Begitu pula dengan kawan-kawanku. Kau rupanya merasa kuat, ya -- dengan sbotol bir di tangan?"
Rudi Kaluschke menatapnya dengan mulut setengah ternganga. Matanya sudah kabur, karena terlalu banyak minum bir.
"Kalian dengar itu?" Katanya pada teman-temannya. "Anak konyol ini berani kurang ajar. Minta ditabok rupanya."
Teman-temannya mendengus-dengus tertawa, seperti suara kuda. Remaja yang gempal bersendawa lagi. Bello berdiri di sela-sela kaki Petra. Lidahnya terjulur ke luar. Tiba-tiba ia mengerti, bahwa Rudi Kaluschke bukan teman. Anjing kecil itu menggeram pelan, tapi bunyinya mengandung ancaman. Itu saja sudah cukup besar artinya, karena anjing spanil biasanya baik hati. Setia, tapi bukan jenis anjing penjaga.
Geramannya sudah cukup bagi Rudi, untuk menyebabkan remaja itu naik darah. Kakinya bergerak, ditendangkan ke arah rusuk Bello. Anjing kecil itu mendengking kesakitan. Ia meloncat mundur. Maksudnya hendak lari. Tapi tidak bisa, karena tertahan tali penuntun.
"Kalian jahat!" Teriak Petra. Ia membungkuk. Diangkatnya Bello, lalu digendongnya. Dielus-elusnya rusuk Bello yang kena tendangan. Ia berbicara dengan suara lirih, membujuk-bujuk. Bello nampaknya mengerti, karena ia menempelkan kepala ke badan Petra.
Saat itu Sporty mencengkeram lengan Rudi lalu menariknya, sehingga remaja berengsek itu menghadap ke arahnya.
"Cuma itu saja bisamu, Brengsek? Menendang anjing kecil?"
Rudi Kaluschke menyentakkan lengannya. Napasnya berbau bir.
"Tidak -- masih banyak lagi yang bisa kulakukan, Bego! Sebentar lagi akan kauketahui jika gigimu kurontokkan. Tapi bukan di sini tempatnya."
Rudi mundur selangkah. Ia menolah, lalu berkata pada kawan-kawannya. "Jaga, jangan sampai dia lari. Akan kita bereskan si Bego ini. Kita ke tempat parkir yang di sana itu. Di situ tidak ada yang mengganggu. Yang dua lagi juga ikut. Begitu pula najing itu."
"Gerombolan apa kalian ini?" Tukas Sporty. "Delapan lawan dua. Dan anjing kecil hendak kalian siksa pula. Huhh! Aku uak menghadapi pengecut-pengecut macam kalian. Kalau jantan, Kaluschke, kita bereskan urusan ini antara kita berdua saja. Kau lawan aku. Yang lain jangan ikut-ikut!"
Rudi Kaluschke melongo. Entah karena kaget, heran atau karena napasnya tersentak - itu tidak jelas.
"Kau sudah bosan hidup, Bego?" Bentaknya kemudian. "Anak macam kau, tiga sekaligus kulalap untuk sarapan. Tapi jika kau kepingin - boleh saja. Apa yang nanti masih tersisa darimu, boleh dijilati oleh anjing keparat itu."
Rasa mual melanda lambung Sporty. Ia kaget sesaat, menyadari keberaniannya sendiri. Rudi Kaluschke tiga tahun lebih tua, setengah kepala lebih tinggi, sedang potongan tubuhnya lebar dan kekar seperti orang dewasa. Mungkin sekali, tenaganya juga besar.
Walau begitu Sporty sedikitpun tidak merasa bimbang. Sudah dua tahun lamanya ia mendalami olahraga judo. Belum lama berselang ia menempuh ujian untuk memperoleh ban biru. Suatu prestasi yang tidak bisa dianggap enteng! Tapi -- judo merupakan oalhraga bela diri yang bersih. Urusannya lain, jika berkelahi dengan tukang pukul jalanan.
"Sekarang ia kecut," kata salah seoarang kawan Rudi Kaluschke.
Sporty tidak mengacuhkannya.
"Kita berdua saja, " katanya pada Rudi. "Jadi kawan-kawanku dan anjing itu jangan kalian apa-apakan."
Sambil nyengir jelek, Rudi mengangkat botol bir yang ada di tangannya.
"Kalau kau begitu kepingin mewakili kawan-kawanmu untuk dihajar -- aku tidak perlu dibujuk-bujuk lagi! Baiklah. Kedua kawanmu tidak akan diapa-apakan. Mereka boleh menonton."
Bello masih berkeluh kesah. Tapi dalam gendongan Petra, anjing itu kini merasa aman. Thomas mengenakan kaca matanya kembali. Air mukanya kelihatan tidak enak. Saat itu pasti ingin sekali bisa menukar otak komputernya dengan otot-ototnya yang bertonjolan.
Sporty memandang Petra. Wajah gadis belia itu pucat pasi, seperti berbedak tepung. Matanya nyalang, memancarkan perasaan cemas dan bingung.
Sporty mengedip. Tiba-tiba timbul keyakinannya bahwa ia akan mampu mengalahkan Rudi Kaluschke. Rasa berang membakar hatinya. Brengsek! Menendang anjing kecil! Bajingan seperti dia perlu dihajar!
Tidak -- aku tidak boleh panas, pikir Sporty saat itu juga. Pelatih kan selalu mengatakan, kita harus tetap berkepala dingin. Pusatkan pikiran, waspada, manfaatkan gerakan lawan, dan bereaksi secepat kilat.
Ia mengawasi Rudi. Nah -- jaket kulit yang dipakainya memberi berbagai kemungkinan pegangan. Kecuali itu Rudi juga memakai sabuk kulit yang lebar. Itu juga menguntungkan.
Rudi Kaluschke mengangkat botol birnya ke mulut. Isi botol itu diminumnya sampai habis. Bir yang tumpah mengalir lewat dagu ke leher. Tapi Rudi membiarkannya saja. Ia tidak mengusapnya dengan lengan jaket.
"Ayo!" perintahnya. "Kita ke tempat parkir. Pembantaian akan dilakukan sekarang!"
Kawan-kawannya tertawa. Rombongn itu bergerak, menuju ke tempat parkir. Bello merapatkan tubuhnya ke kaki Petra. Ekornya dilingkarkan ke bawah, masuk di atntara kedua kaki belakang. Anjing kecil itu yang paling merasa takut. Sporty berjalan seiring dengan kedua temannya, diikuti oleh gerombolan Rudi. Para remaja berengsek itu berjaga-jaga, jangan sampai ada yang bisa lari.
Tempat parkir yang dituju terletak di antara gedung-gedung perkantoran modern, dan nampak menjulang gelap dengan latar belakang langit malam. Di depan ada tiang lampu jalan yang nyalanya dikerumuni ngengat dan kupu-kupu malam yang beterbangan. Tapi bagian belakang tempat beralas aspal itu diselubungi kegelapan.
"Berhenti!" seru Rudi Kaluschke, ketika rombongan itu sudah keluar dari bagian yang diterangi lampu jalan. "Di sini nyaman! Takkan ada yang datang mengganggu, jika kau tidak menjerit terlalu keras nanti, Bego!"
Sporty melepaskan arlojinya, dan menyerahkannya pada Thomas. Ia menarik napas dalam dan tenang -- seperti yang diajarkan dalam latihan judo -- serta melonggarkan otot-ototnya.
Kawan-kawan Rudi membentuk lingkaran yang mengepung. Petra mendekapkan tangan ke mulut, menandakan rasa ngerinya. Ia terisak.
Kaluschke mencampakkan helmnya, disambut kawannya yang paling dekat. Botol bir ditinggalkannya di dekat bilik telepon.
"Sekarang coba saja mempertahankan diri," desisnya sambil berpaling menghadapi Sporty.
Kedua remaja itu berdiri berhadap-hadapan, dengan jarak selengan. sinar remang yang berasal dari lampu jalan, sudah cukup bagi Sporty yang melihat gerakan lengan kanan Rudi. Pukulan yang mentap diayunkan Rudi, melayang bagaikan godam. Tapi Sporty mengendap. Pukulan itu meluncur tanpa mengenai sasaran. Gerakannya begitu dahsyat, sampai tubuh Rudi ikut tertarik ke depan. Keseimbangannya goyah, dan sebenarnya tidak banyak yang perlu dilakukan oleh Sporty. Tapi ia tidak mau kepalang tanggung. Sambil menyambar jaket dan sabuk lawannya, ia memutar tubuh. Kakinya diselipkan di antara kedua kaki lawannya, siap untuk melakukan bantingan.
Pinggulnya bergerak, dan Rudi Kaluschke terpelanting ke depan. Si Brengsek itu bereaksi dengan kikuk seperti kuda Nil. Ia jatuh berdebam di aspal -- hidungnya lebih dulu tanpa sempat menahan dengan tangan. Rudi berteriak. Terdengar bunyi lututnya membentur aspal. Sesaat tempat itu senyap.
"Cubit aku! Kurasa aku sedang mimpi," kata si Jerawat yang pintar bersendawa. "Bos kitakah yang terkapar itu?"
Tidak ada yang tertawa menyambut ucapannya. Semuanya kaget.
Rudi Kaluschke masih tertelungkup di aspal. Otaknya yan kabur karena pengaruh minuman keras menyebabkan ia tidak lekas mengerti.
"Bajingan!" Erikanya tiba-tiba. "Lututku berdarah."
Ia bergegas bangkit -- secepat kemampuannya yang masih tersisa. Nyaris saja ia melabrak kawan-kawannya. Tapi ia masih sempat sadar, bukan mereka lawannya.
"Aku disini," kata Sporty.
Kaluschke menerjang ke arahnya. Dengan kapala tertunduk, serta kepalan tinju terangkat seperti gada.
Sporty hendak mengelak, tapi tidak sepenuhnya berhasil. Kepalan tinju Rudi menghajar bahunya. Sedang tangannya yang satu lagi mencengkeram baju Sporty. Rudi berusaha menarik lawannya, agar ia bisa meninju muka anak itu.
Situasi agak gawat bagi Sporty, karena tenaga Kaluschke cukup besar. Sporty berusaha membebaskan diri. Tapi sia-sia, karena Rudi mencengkerammnya. Rudi mengambil ancang-ancang dengan kepalan tangannya yang satu lagi. Petra terpekik. Pikirnya sekarang tamatlah riwayat Sporty.
Tapi Sporty menguasai sejumlah taktik yang licin. Tiba-tiba ia merunduk. Pukulan Rudi kembali menghantam angin. Dan ketika Sporty melancarkan teknik kakinya yang terkenal, cengkeraman Rudi langsung lepas. Ia melayang, seperti penjaga gawang jempulan hendak menyergap bola rendah.
Rudi terpelanting, menubruk si jerawat. Keduanya jatuh terguling, diikuti sepasang hel berwarna kuning dan oranye.
"Aduh. Rudi!" jerit si Jerawat. "Kenapa aku yang kautubruk?"
Tudi tidak menjawab. Ia tetap berbaring sambil mengaduh-aduh. Kedua tangannya menopang kepala.
Jatuh juga ada tekniknya, kata Sporty dalam hati. Jika teknik itu dikuasai, apa yang dialami Rudi pasti takkan terjadi. Judo ternyata besar manfaatnya!
Si Jerawat cepat-cepat berdiri, menepuk-nepuk pantat, lalu mengambil helmnya. Helm Rudi dibiarkannya tergeletak di aspal.
Rudi Kaluschke bangun dengan susah payah. Darah bercucuran dari hidungnya. Kulit pada dagunya terkelupas.
"Rahangku!" Ratap Rudi. "Rahangku patah! Aduh, sakitnya!"
"Kita berhenti saja sekarang!" Kata Sporty. "Tidak pantas jika aku masih meneruskan. Jadi segini sajalah. Selamat malam, tuan-tuan!"
Tidak ada yang berusaha menghalangi, ketika ketiga sahat itu berjalan tanpa buru-buru menuju ke jalan. Hanya Bello saja yang beberapa kali memalingkan kepala ke belakang, seolah-olah belum puas melihat. Ia sudah dituntun lagi oleh Petra.
Tapi memang kocak nampaknya -- Rudi Kaluschke nongkrong di atas aspal, meratap sambil meraba-raba rahang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasus untuk STOP - Pencuri Lukisan Antik
AdventureSTOP singkatan untuk Sporty, Thomas, Oskar, Petra. Buku karangan Stefan Wolf, pengarang dari Jerman ini lumayan ngehit di tahun 1986 setelah serial kayak Lima Sekawan, Trio Detektif, dll. Ceritanya juga lumayan seru lah karena tokohnya punya ciri m...