Tiga

7.6K 705 55
                                    

Alex menenteng ransel hitamnya dengan tak berminat. Padahal ransel itu sangat ringan tetapi dari ekspresinya, lelaki itu seolah membawa beban yang berat. Padahal di sana hanya ada dua benda. Satu buku dan satu pulpen, hasil malak dari adik kelasnya beberapa menit yang lalu yang baru saja beli di koperasi.

Alex menguap lebar-lebar. Matanya memberat dan ia sangat ingin tidur sekarang juga jika saja bundanya tidak mengguyur air di kasurnya.

Yap, siapa lagi kalau bukan Dara. Wanita itu masih saja hobi mengguyur Alex jika lelaki itu sulit dibangunkan. Padahal kan ia tidur malam karena beberapa alasan. Jika kalian menyangka lelaki itu akan belajar, maka kalian akan salah besar. Seorang Alex belajar? Menyentuh buku saja sudah membuatnya mual. Lelaki itu benci belajar, tetapi entah mengapa ia bisa dapat ranking di atas rata-rata di SMA Garuda. Menyontek? Tidak. Ia sudah terlahir jenius, keturunan dari sang bunda yang memang pernah mendapat beasiswa di sekolah yang ia pijaki sekarang.

Dengan kejeniusannya itulah, Alex sering kali menganggap remeh segala hal. Bahkan menurutnya belajar hanya untuk orang-orang yang kurang percaya diri. Dan dia bukan termasuk dalam orang-orang itu.

Koridor sangat sepi semenjak kakinya melangkah. Bagaimana tidak? Jam pelajaran sudah berlangsung sekitar tiga puluh menit yang lalu dan lelaki ini baru saja datang. Bermodal rokok, lelaki itu menyogok satpam untuk membuka pintu gerbang sekolah. Tentu saja dengan mobil yang ia parkir di depan bengkel milik temannya, Juna.

Lelaki itu membuka pintu kelas dengan santainya lalu nyelonong masuk tanpa ada kata permisi yang terlintas. Semua murid yang sibuk memperhatikan Bu Vita sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia nampak menoleh serentak. Jika saja itu bukan Alex, maka pasti siapapun itu tak akan berani untuk masuk setelah terlambat seperti ini.

"Alex!" panggil wanita itu garang.

Alex yang melangkah berhenti tepat di tengah kelas. Suara bentakan itu membuat beberapa siswa terkejut, namun tidak bagi Alex. Lelaki itu sudah terbiasa. Bahkan cenderung sudah kebal.

"Loh ada Bu Vita? Apa kabar bu? Sehat?" Alex sebenarnya malas menanggapi, namun ia lebih memilih untuk memancing kemarahan wanita ini. Entahlah terasa menyenangkan saja baginya.

"Darimana saja kamu!?"

Alex memutar bola matanya jengah. Lalu ia melempar tasnya tepat di ujung pojok kanan kelas yang sudah diterima oleh sahabatnya, Dimas. Tanpa berniat menjawab pertanyaan dari Bu Vita, Alex sudah berbalik menuju keluar kelas.

Bu Vita menggeram. Selalu saja siswa ini yang bermasalah. Menyombongkan jabatan ayahnya selaku pemilik yayasan untuk berbuat seenak jidatnya. "Alex! Kamu mau kemana!? Saya belum—"

"Saya yang keluar atau anda yang keluar?" ucap Alex lalu pergi menjauh sembari menyumpal telinganya dengan earphone. Hah, harinya selalu sama. Tak kan pernah berubah. Selalu membosankan.

Alex sudah memejamkan matanya di atas sofa cokelat di atas rooftop milik SMA Garuda. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan cinta ayah dan bundanya dulu. Angin semilir membuat perasaan Alex nyaman. Namun, hal itu tak berlangsung lama ketika ia lebih memilih untuk berdiri dan mengamati satu demi satu foto yang sudah usang di salah satu tembok di sana.

Tangannya yang kekar menelusuri setiap foto yang ada. Lalu tanpa terasa bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. Di sana, ia dapat melihat bagaimana sang ayah yang begitu jatuh cinta kepada bundanya. Mulai dari sinilah Alex tau jika kedua orang tuanya telah mengalami masa-masa indah bersama. Terbesit rasa iri di dalam hati Alex. Kapan dirinya bisa memiliki wanita yang dapat ia berikan hatinya seluruhnya?

***

Sena menguap lebar-lebar ketika sang guru menjelaskan. Matanya hampir saja terpejam kala sebuah bel tanda istirahat berbunyi nyaring di telinga. Yes! Jam istirahat sudah tiba!

"Ngantin nggak lo?" tanya Jihan sembari merentangkan kedua tangannya di udara.

"Nggak, lo aja." Sena merapikan bukunya, menyisakan sebuah buku di tangan. "Gue mau ke perpus."

"Yaudah gue ngantin sama Zahra, Shilla aja. Oh ya Sen, buku diary lo gimana?"

Sena yang hendak pergi berbalik menatap Jihan. Mendadak wajah perempuan itu lesu dan sedih. "Gue juga nggak tau Han. Kalo kita BC ke seluruh siswa yang ada sama aja kita mempermalukan diri kita sendiri. Tapi tenang, seingat gue, apa yang gue tulis di situ cuma rasa kagum kita sama kakak kelas, tanpa ada nama kita yang tertera. Jadi menurut gue, nggak bakal ada yang tau kalo itu buku diary gue."

Jihan mengangguk dengan senyum yang lebar. "Lega gue Ya Tuhan! Yaudah gue ke kantin dulu bareng temen-temen. Kalo udah masuk entar gue chat."

Sena menyusuri koridor yang ramai dengan membawa sebuah buku gambar kecil dan juga pensil. Perpustakaan SMA Garuda terletak di ujung lantai tiga. Di sini sepi, tetapi dengan kesepian itulah yang membuat Sena merasa nyaman untuk berlama-lama di sana.

Sena membelalak terkejut ketika bangku yang biasa ia duduki tengah diduduki oleh makhluk lain. Lelaki itu tengah menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan sehingga Sena tak dapat mengetahui siapa orang itu.

Sena kelimpungan. Bagaimana bisa ia mencari inspirasi untuk menggambar jika tempat ternyamannya yang dekat dengan jendela super lebar yang mengarah ke bangunan ibu kota tengah diduduki orang?

"Bisa pindah ke tempat lainnya nggak? Ini tempat—"

Deg!

Lelaki yang tengah tertidur itu nampak terusik dengan gangguan yang Sena buat. Perempuan itu nampak terkejut ketika ternyata yang tidur disana adalah Alvin, yang tak lain adalah sumber inspirasinya selama ini.

"Maaf?" tanyanya sembari melepas earphone yang menyumpal telinganya. "Ini bangku favorit lo?"

Sena membeku. Ini kali pertamanya ia berbicara dengan sang idola yang biasa ia kagumi diam-diam. Apalagi wajah tampannya menguar membuat Sena terpana dalam beberapa saat. Rambutnya yang acak-acakan menambah kadar kegantengan orang itu. Dan demi Tuhan, suara serak sehabis tidur itu sungguh terdengar seksi di indra pendengarannya.

"Hallo? Dek? Kok bengong?" wajah Alvin mendekat ke arah wajah Sena. Makin merah wajah Sena dibuatnya.

Sena buru-buru kembali ke alam bawah sadar, lalu mengangguk dengan cepat. "I—iya kak."

Alvin tersenyum, menggeser pantatnya ke kursi di sampingnya. "Gue duduk sebelah lo gapapa kan? Deket AC nih, adem,"

Tanpa AC gue juga udah adem liat wajah lo kak, batin Sena senang.

Sena mengangguk, lalu duduk di kursi bekas Alvin yang terasa hangat. Ragu, ia melirik idolanya yang ternyata sudah menenggelamkan wajahnya lagi pada lipatan tangan. Kasihan dia, mungkin kesibukannya menjadi ketua OSIS membuatnya lelah.

Akhirnya, Sena membuka buku gambarnya. Memutar-mutar pensil untuk mencari inspirasi lain. Hey mana mungkin ia akan menggambar Alvin ketika objeknya ada di sampingnya sendiri? Yang ada ia sama saja sedang menjerumuskan diri ke dalam lubang hitam!

Sena melirik sekitar. Matanya menangkap sebuah adegan dimana seorang lelaki yang mengambil buku dari rak atas untuk seorang gadis yang tingginya di bawah rata-rata. Langsung saja insting seniman Sena keluar. Buru-buru ia membuat sketsa dan menorehkan pensilnya ke kertas putih.

Suara goresan pensil di kertas terdengar berisik di telinga Alvin. Mau tak mau lelaki itu bangun dari istirahatnya. Lelaki itu begitu kagum melihat hasil gambaran Sena walaupun masih belum jadi seluruhnya. Hanya sketsa dan itu sudah membuat Alvin jatuh cinta.

"Ngomong-ngomong, gue boleh kenalan nggak?" tanya Alvin sembari mengulurkan tangannya.

Hell, demi apa Sena diajak kenalan sama idolanya?! Ini mimpi bukan sih?

Diajak nikah gue juga mau bang!! Eakkk


Pada nungguin BimaSena tidaakkk?

Gimana part ini?

Ngomong-ngomong kalian pernah nggak sih suka sama kakak kelas sendiri secara diam-diam? Kalo pernah boleh dong share pengalamannya disini

Jangan lupa vote dan komen yaa

See u!

BimaSena✔️ COMPLETED [SEQUEL KEYLANDARA #1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang