Aku punya waktu sekitar sepuluh hingga lima belas menit lagi untuk menjadi orang yang tepat waktu -seperti biasa di hadapan Taehyung. Kami akan menghabiskan malam Rabu kami di dalam ruang makan. Aku dapat menghirup aroma lilin favoritnya saat pintu kamar kubuka perlahan.
Dia duduk di seberang, sisi yang berlawanan dengan kursi yang baru saja kutarik. Kami tidak saling menyapa, karena ini sudah menjadi kebiasaan yang sangat biasa. Meskipun aku sudah melihatnya pulang lebih dulu dan menyediakan makan malam, kami tidak berbagi apa-apa hingga detik ia mulai menuangkan isi dari botol berwarna hitam di tengah meja. Ia menatapku, kemudian pakaian yang aku kenakan.
"Kau menyukainya?"
Taehyung bertanya tentang kemeja berwarna merah gelap yang kupakai. Hadiah yang dia bawa sepulang dari negeri orang.
"Tidak juga."
Aku mengerti apa yang Taehyung pikirkan meskipun dia sangat berusaha untuk menyembunyikan hal itu dengan mengayun pisau di atas daging steik. Aku mengenal kekasihku ini dengan sangat baik. Dan aku tahu dia lebih suka saat aku jujur tentang pendapatku meski dia harus merasa kesal.
Aku ikut mengangkat garpu, menikmati daging sapi yang Taehyung olah begitu apik -Taehyung lebih andal mengolah daging daripada aku, ku akui. Ia menyerngit ketika suapan ketiga sudah ia kunyah tuntas. Aku menghentikan kunyahan, karena Taehyung juga begitu sambil menatapku.
"Kau tidak memakai kalungmu, Jimin?"
Aku memutar mataku meski tidak terang-terangan saat Taehyung meletakkan seluruh atensinya pada wajahku. Kalung itu lepas tak sengaja saat aku menari. Dan sampai sekarang benda itu ada dalam laci dekat lemari pakaian, aku sengaja. Taehyung melanjutkan irisan dagingnya saat aku tak lekas menjawab. Ia juga mengenalku sangat baik. Karena jika aku tidak menjawabnya tepat setelah ia selesai bertanya, maka aku memang tidak akan menjawab. Setidaknya begitu, hingga malam ini. Aku ingin dia mengenalku lebih baik lagi.
"Kau ingin aku melepaskannya juga?"
"Itu milikmu, hakmu."
Kalau kalian menganggap aku dingin, separuhnya adalah benar. Dan separuh lagi, kami memang seperti ini. Sudah biasa.
Aku sudah menjadi kekasihnya sejak tiga tahun lalu. Pada hari kami saling menyatakan perasaan, kalung itu sudah menjadi saksi kami untuk saling berbagi kasih. Pertama kali aku melepaskannya sekitar enam hari lalu, dan mengenai Taehyung yang baru saja menyadarinya adalah kenyataan yang -pastinya membuatku sedih. Tapi aku tidak marah, ada hal yang jauh lebih parah mendekam diantara kami berdua saat ini. Aku membalas tatapannya, ada dua detik dan Taehyung yang pertama menunduk untuk melanjutkan makan malam.
Lima belas menit menuju pukul delapan. Separuh milikku sudah kulahap, sedangkan Taehyung tersisa tiga potongan lagi. Ia juga sudah punya dua gelas wine dalam perutnya sedangkan aku sudah meneguk gelas ke empat. Lilin yang terbakar hampir setengah menerangi ruang makan kami amat baik, sampai aku dapat melihat senyum Taehyung yang dingin.
Ada saat dimana Taehyung akan benar-benar tersenyum -tidak seperti yang aku lihat saat ini. Dan aku sudah sangat merindukan senyuman itu. Aku ingin melihatnya malam ini, namun yang tersisa hanya makan malam. Aku menatap daging steik milikku, lantas sedikit tertawa. Aku tersadar Taehyung selalu memilih menu yang sama, waktu yang sama, tempat yang sama. Sayang sekali perasaanku untuk makan malam kami tidak lagi sebaik dulu. Aku yakin Taehyung juga merasakannya meski tidak sebesar rasa muakku.
Makan malam kami tidak pernah tak indah. Hanya saja, aku bahkan mampu menghitung detik yang kami buang bersama untuk merasa hampa. Aku dapat melihat Taehyung, begitu juga dia. Kami ada dalam lingkup yang begitu dekat, dan hebatnya kami tetap berjauhan, hati kami tetap berjauhan. Aku tahu ada banyak kejenuhan di sini, bersama Taehyung dan ketukan jarinya di atas meja setelah selesai makan. Dengan aku yang memutar dasar gelas. Dengan kami dan beberapa lilin yang masih menyala dan beraroma.
Tiga puluh menit setelah pukul delapan. Botol anggur sudah berpindah. Aku tahu Taehyung butuh lebih dari sekedar mabuk. Kami berbicara tentang besok dan lusa. Tentang hubungan kami dan makan malam yang akan terus berulang-ulang kami lakukan sebagai usaha kami untuk tetap bersama. Aku menuangkan lagi minuman itu pada gelas yang kosong. Entah mengapa warnanya begitu indah di bawah sorot lampu.
"Indah bukan?"
Aku menatap Taehyung yang menarik gelasnya ke atas. Akhirnya senyum itu.
"Iya."
"Sayang sekali. Kau tahu? Aku sudah merasa muak dan begitu jenuh."
Aku mengangguk, kadar alkohol mungkin sudah memangkas sifatku yang mudah tersinggung. Kalimat itu seharusnya membuatku merasa tertekan, dan bertanya pada diri sendiri seharian mengenai kesalahan apa yang sudah terjadi di hari yang lalu. Tapi tidak, itu adalah Jimin yang lalu. Nyatanya aku juga merasakan hal itu, dan bersyukur Taehyung tetap bersikap transparan.
"Iya, aku tahu. Kita hanya berputar-putar saja."
"Aku mencintaimu, Jimin. Tapi aku tetap muak."
Aku juga, Taehyung. Sampai kapanpun. Aku dan Taehyung saling menatap. Kilap bola matanya membuatku jatuh lebih dalam lagi. Aku harap cinta kami ini berjalan baik, dan tenang. Aku tidak tahu kalau apa yang harapkan memang tidak akan pernah terjadi. Karena kami yang bersama untuk waktu yang lama, memegang sebuah tali yang sudah kendur dan melorot di bawah kaki kami. Aku dan Taehyung, mungkin kami...
Entahlah.
"Lalu?"
Hatiku diketuk sekali namun sampai membuat ujung kakiku terasa kebas. Aku tahu masa ini akan datang. Aku tahu dan aku belum siap. Taehyung melepas kalung itu, meletakkannya di atas meja dan mendorongnya ke tengah. Bandulnya yang berwarna hijau merah terlihat baik meskipun tidak menggantung di leher Taehyung.
Apa sudah waktunya?
Aku mengalihkan tatapanku padanya. Meski sakit itu kian terasa, akan lebih baik aku menikmatinya dengan Taehyung yang menatapku juga.
Kosong. Tatapan yang kami bagi tidak berujung. Dia berbicara dan meneguk anggur, namun seperti tak pernah ada aku yang ikut menyaksikan gerakan itu. Kami berlarut-larut pada malam dan meja makan. Kami duduk berdua dan berbagi cerita pendek dari dunia kami masing-masing. Saling menunggu hingga makan malan selesai pada pukul sembilan.
Tapi Taehyung, kau tahu? Aku sendirian di sini. Di ruang makan kita. Kau membuatku merasa sendirian. Kau membuatku merasa kesepian. Makan malam ini terasa hampa.
"Kau tak perlu lagi mengulangi hal ini, Jimin."
"Baiklah."
Saat ini ku kira Taehyung melepas segala hal yang membuat hubungan kami menjadi stagnan dan membeku. Yang membuat aku muak pada denting sendok garpu. Namun Taehyung..
"Kita tak perlu lagi menjalani hubungan ini, ini adalah yang terakhir."
Aku sudah lama menenggak gelas terakhirku, dan rasa panas dari ulu hatiku bukanlah berasal dari sana.
"Ini adalah makan malam terakhir kita."
Aku terdiam. Bukankah ini hal yang mengerikan? Meskipun dengan begitu rasa jenuh yang kami berdua simpan akan hilang? Ini adalah jalan terbaik yang Taehyung pilih -entahlah, aku tak yakin. Aku menunduk. Tidak menolak atau mengangguk setuju. Aku hanya begitu terkejut, tali kendur itu benar-benar Taehyung buang, dan melepasku terbang.
Sudah pukul sembilan tepat. Ia melirik arlojinya untuk beranjak pergi. Aku tetap bergeming. Punggung Taehyung yang terakhir tampak jelas di kedua mataku, sebelum kabur karena setumpuk cairan yang menggantung di kelopak.
Aku merasa sakit dan itu terasa benar. Setelah ini aku yakin, semua akan membaik. Dengan Taehyung maupun diriku sendiri. Kami saling meninggalkan tempat kami berpijak karena perasaan itu meski kami tahu, kami saling mencintai.
Aku mengangkat botol anggur, tersisa seteguk untuk menutup hari dimana kami akhirnya pergi meninggalkan satu sama lain. Makan malam usai.
FIN