"Aku cantik, aku kuat, aku berharga."
- Verenina Shalom Auditasha"Kringgggg"
Alarm handphone berbunyi.
Perlahan, gadis itu membuka matanya dan duduk di pinggiran tempat tidurnya. Ia menghela nafas dan kemudian berdiri, berjalan menuju meja riasnya. Ia duduk menghadap cermin dan menyisir rambutnya perlahan-lahan menggunakan jemarinya. Ia menyentuh refleksi dirinya di cermin dan kemudian berbisik entah kepada kaca, atau mungkin hanya untuk dirinya sendiri.
"Aku cantik, aku kuat, aku berharga."
Verenina Shalom Auditasha, begitulah sifatnya.
Setelah itu, ia mengambil handuknya dan menuju ke kamar mandi lalu bersiap untuk pergi ke sekolah.
Setelah selesai bersiap, ia turun untuk menyantap sarapan bersama keluarganya.
"Pagi," sapa gadis itu.
"Pagi sayang," ucap Ferdi, ayahnya.
Setiap pagi selalu seperti itu. Vere duduk, papa balas menyapa, kakaknya sibuk dengan handphone, ibunya sibuk menyiapkan makanan.
Tanpa ada percakapan lagi, keluarga kecil itu menyantap sarapan dalam diam. Setelah semuanya selesai sarapan, ayah akan berdiri dari meja makan, mengambil kunci mobil, mencium ibu kemudian menuju ke mobil. Seolah robot, Vere dan kakaknya mengikuti gerakan ayahnya.
Sesampainya di sekolah, Vere duduk di bangku barisan tengah, menyumpal telinganya dengan earphone dan membuka novel kesayangannya. Baru saja ia membalik halaman untuk yang ketiga kalinya, namun tiba" novel itu lenyap dari tangannya.
Vere bingung. Ia mendongakkan kepalanya dan cengo.
"Lah..... ilang......"Vere memutar kepalanya dan menemukan Jena di sampingnya dengan tatapan yang super iseng.
"WOOOOOY! Pagi- pagi dah galau aje lau," teriak Jena di telinga Vere, setelah merampas novel itu dari tangan Vere.
Graciella Jena Bernadette. Teman sebangku, sahabat, dan sumber informasi Vere. Tak hanya itu, Jena adalah orang paling berisik dan lincah yang dikenal Vere. Meskipun begitu, ocehan-ocehan Jena kadang ada gunanya juga. Tanpa Jena, mungkin hidup Vere akan datar seperti perut model Victoria Secret.
"YE BENCONG! Gimana gak galau. Dateng-dateng kelas macem kuburan. Sepi banget."
Tiap pagi, seolah rutinitas, selalu seperti itu. Bahkan, di kelas X dulu, Jena selalu menarik earphone Vere setiap pagi. Sampai akhirnya, suatu pagi, earphone tersebut putus, tergeletak tak berdaya, seperti hubungan dua sejoli SMA yang kandas karena adanya orang ketiga.
"Eh Ver, jangan-jangan lo masih galauin si mantan terindah, terbusuk, dan terbangkai lo itu lagi," ujar Jena tiba-tiba.
"Ya gue emang masih sayang, tapi gak segitunya juga kali gue galauin tiap pagi," Ucap Vere sambil memutar bola matanya.
"Hmmmmmmmm............." Jena memicingkan matanya, menatap Vere sambil mendekat, terus mendekat sampai Vere hanya menduduki 1/32 bagian dari kursinya.
"APAAN SIH AH GUE JATOH BENTAR LAGI JENNNNNN!!!" Teriak Vere sambil mencoba menyeimbangkan tubuhnya.
"YAA LAGIAN LO HOBI BANGET BACAIN CHAT LAMA SAMA SI BE........."
Dengan cepat, Vere menutup mulut Jena dan menepuk-nepuk jidat Jena.
"BE.... BENCONG IYA MAKSUDNYA BENCONG. GUE CHAT SAMA BENCONG BUAT PARTY 17AN SODARA GUE NANTI," Ucap Vere dengan panik, mencoba ngeles agar tidak ketahuan.
Masalahnya adalah, teman-teman mantan Vere duduk tepat di belakang mereka berdua. Jika Jena keceplosan, pastilah mereka akan terus meledek Vere sepanjang hari. Tanpa henti, tanpa ampun, dan tanpa lelah.
"Sssssst!!! Lo gila ya!" Vere berbisik dengan panik.
"ALAMAKJANG! Maaf gue lupa hehe," Timpal Jena sambil cengengesan.
Beberapa menit setelah itu, bel sekolah pun berdering. Sungguh nyaring memang, memekakkan segala telinga yang mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf.
Teen FictionMelalui sepenggal kisah yang penuh genangan airmata, sebatas luka dalam ruang kehampaan, dan sepercik harapan yang tertiup angin di kelamnya malam, Ia mengaku ia lelah.