Tujuh belas

25 2 0
                                    

Setelah sekian jam perjalanan di udara, akhirnya pesawat kami mendarat pada pukul tujuh lewat lima puluh lima menit di Los Angeles, Amerika Serikat.

"Mine, apakah ada barang mu di sini?" tanya Mingyu sambil berdiri, mengambil tasnya dari ruang penyimpanan di bagian atas kabin.

"Ada, tas kerja ku."

"Yang warna hitam ini ya?"

Aku mengangguk. "Terima kasih."

"Berat sekali, kau bawa batu ya?"

"Tidak lucu. Itu semua berkas-berkas penting."

Mingyu mengapit tas ku seperti ibu-ibu yang hendak pergi ke pasar. Dengan salah satu tangannya membawa tasnya sendiri. "Kalau begitu biar aku yang bawa, ini berat sekali. Tidak bagus untuk wanita kecil sepertimu."

Tiba-tiba saja aku merasa tangan yang begitu kokoh dan hangat menarik ku. Jelas saja itu tangan Mingyu. Dia menyuruh ku berjalan di depannya saat berjalan ke pintu keluar.

"Selamat jalan. Terima kasih telah terbang bersama kami," kata laki-laki berseragam merah.

Aku mengangguk dan memberikan segaris senyum.

"Hei, jangan tersenyum pada mine-ku!" Omel Mingyu saat melewati laki-laki berseragam merah itu.

"Dia tersenyum pada semua penumpang pesawat ini, bodoh." Jelas saja Wonwoo yang berada di belakang nya jadi ikutan geram.

Bandara LAX ramai meskipun hari masih pagi. Ribuan orang menyesaki lobi. Suara-suara tumpang tindih. Obrolan, getir roda, koper, bunyi kaki-kaki yang berjalan cepat, pengumuman penerbangan.

Tiba-tiba saja ponsel ku berbunyi. "Maaf Mingyu, aku harus mengangkat telpon," kata ku yang meminta Mingyu untuk melepaskan genggaman tanganku.

"Halo? Waalaikumsallam. Sekarang aku masih di jalan... Hmm, baru saja turun dari pesawat... Perjalanannya tidak ada yang menarik. Tidak, bukan sebelas jam, tapi enam belas jam penerbangan. Sepertinya terjadi kemacetan saat di udara. Ibu tau sendiri kalau tidak ada lampu lalu lintas di atas sana. Ya begitulah, cukup melelahkan." Aku melangkah perlahan. Sebelah tanganku memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, dan tangan yang sebelah lagi membawa sebuah tas yang biasa ku bawa untuk berpergian. Aku mengangguk saat ada seorang staf yang bertanya mengenai pengambilan bagasi. Masih berfokus dengan orang diujung telpon. "Tentu saja. Aku akan segera pulang ke-Indonesia saat drama ini selesai. Ibu mau ku bawakan sesuatu? Tidak ada? Ibu yakin? Oke. Aku akan bawa itu saja. Sudah dulu ya?" aku menyela ucapan ibu. "Dah. Assalamualaikum." Dan langsung menutup telpon saat ibu selesai menjawab Waalaikumsallam.

"Siapa tadi? Kau berbicara bahasa Indonesia?" Mingyu bertanya saat kami hendak pisah mobil menuju hotel.

"Ibu ku. Ya, aku berbicara dengan bahasa Indonesia." Aku melambaikan tangan saat hendak berpisah dengan Mingyu.

Setelah sampai di hotel, kami hanya bertemu sekilas. Aku sendiri sibuk membagi kamar hotel untuk semua orang. Lalu segera masuk ke kamar ku sendiri bersama Seohmin. Perjalanan yang melelahkan.

Dua hari berikutnya, barulah kami memulai syuting di salah satu bangunan yang terletak di kota Westchester. Setelah itu kami berpindah lagi. Terdapat beberapa tempat yang digunakan untuk lokasi syuting. Akhirnya, dua minggu berlalu. Selama dua minggu itu kami disibukkan dengan aktivitas syuting yang padat. Para staf KBS memang konsisten dengan apa yang aku suruh. Untuk melaksanakan syuting dulu sampai tuntas. Jika sudah, barulah mereka semua diberikan waktu untuk refreshing dan berjalan-jalan. Tidak hanya para staf, begitu pula para pemain drama dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Aku yang memimpin drama ini sudah berkata tegas kalau tidak ada yang boleh jalan-jalan sebelum drama ini selesai.

Sweet FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang