15

6 0 0
                                    


"Lo tau apa alesan gue nangis?
Itu karna  gue liat lo nangis.."

----------------------

M

obil jaz warna merah milik Raffa melaju dengan kecepatan sedang, dua orang di dalamnya masih bergeming tanpa suara sampai akhirnya Qia bertanya, "kenapa diem aja Raff? Lagi ada yang pengen diomongin yah?

"Kita duduk disana dulu yah" ucap Raffa menunjuk bangku panjang di bawah pohon pinggir danau yang dia lewati seraya menghentikan mobilnya.

"Mau ngajakin pacaran yah?" Goda Qia, "jangan lama-lama yah, abis ini ada janji sama Bang Indra"

"Iya, ngga lama kok"

Keduanya turun dari mobil, berjalan berdampingan, bahkan bergandengan menuju bangku itu, padahal mereka tidak mau menyebrang jalan.

"Aku mau ngomong serius sama kamu" mulai Raffa. Perasaan Qia sudah gemetar, semburat merah terlihat di pipinya, telapak tangannya dingin, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, Qia tersenyum. Apa Raffa akan mengajaknya tunangan, pikirnya.

"Sebelumnya maafin aku"

Untuk apa meminta maaf, ini kebahagiaan, batin Qia senang.

Raffa menarik nafasnya panjang dan mulai melanjutkan kata-katanya. "Aku dapet beasiswa lagi untuk kuliah di London, dan aku pikir ini kesempatan besar buat masa depan aku"

Mendengar ucapan Raffa yang terasa begitu menusuk bagi Qia, gadis itu langsung merasa lemas dan matanya perih. Kabar yang tidak diinginkan Qia adalah bahwa Raffa akan kembali pergi meninggalkannya dan kali ini dalam jangka waktu yang lebih lama.

"Terus apa? Kamu ambil beasiswa itu dan ninggalin aku lagi?" Ucap Qia yang dibuat setegar mungkin untuk menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya dan siap pecah dengan sekali kedip

"Maafin aku Qi, aku sayang kamu, aku ambil beasiswa ini buat masa depan kita" ucap Raffa mencoba menenangkan Qia

"Masa depan kita yah? Abis ini apa? Kamu dapet panggilan kerja disana lagi dan kamu bakal menetap disana, ninggalin aku disini yang selalu nungguin kabar kamu? Kamu nyiksa aku Raff" Qia sudah benar-benar tidak bisa menahan air matanya, kini pipinya sudah basah dengan air mata, "segitu gampangnya yah kamu nentuin keputusan tanpa memberi aku pilihan"

"Ngga gitu Qi, aku janji bakal pulang buat kamu" ucap Raffa meyakinkan gadis di depannya

"Dengan waktu yang lebih lama?" Qia mengusap air matanya kasar, "delapan bulan Raff. Delapan bulan aja aku ngga sanggup apa lagi buat nunggu bertahun-tahun tanpa kabar dari kamu" Qia melemah setelah meluapkan semua emosinya.

"Sekarang terserah lo Raff, gue capek nunggu yang ngga pasti. Gue ngga bisa berharap sama apa yang ngga nyata" Qia menggunakan kata lo dan gue yang berarti memberi jarak antara dirinya dan Raffa, "lo semu bagi gue"

Gadis itu berjalan sedikit berlari meninggalkan Raffa yang masih duduk ditempatnya tanpa mengejar. Pikirannya kalut, baru satu minggu dia merasakan bahagia dan akan kembali merasakan mati rasa dihatinya untuk waktu yang lama dan entah itu sampai kapan. Air matanya terus mengalir, isakannya terdengar begitu menyakitkan.

Cuaca sedang mendung sore ini, suara petir tidak membuat Qia takut, justu hujan memberikan keuntungan baginya karena bisa menyembunyikan air matanya dari siapapun yang berpapasan dengannya. Seketika tetes hujan mulai turun membasahi jalan, begitu juga tubuh Qia. tetesnya semakin deras, Qia tidak peduli, rasa dingin yang menusuk kulitnya tidak sebanding dengan rasa sesak yang menusuk di hatinya.

dia, SenjakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang