Prolog & Bab 1

9 0 0
                                    

Semarang, Januari 2018.

Manakala hati menggeliat mengusik renungan.

Mengulang kenangan saat cinta menemui cinta..

Suara sang malam dan siang seakan berlagu,

Dapat aku dengar rindumu memanggil namaku..

Saat aku tak lagi di sisimu,

Ku tunggu kau di keabadian..

Aku tak pernah pergi, selalu ada di hatimu.

Kau tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku.

Sukmaku berteriak... Menegaskan ku cinta padamu.

Terima kasih pada maha cinta menyatukan kita.

Tepat pukul 00.01, beberapa petasan melayang di udara, menimbulkan suara yang tak aku sukai. Lebih tepatnya suara yang sangat ku benci. Padahal, semua anggota keluargaku tahu kalau aku membenci suara dan benda itu. Namun, entah kenapa, mereka tetap saja menyalakan benda yang menari-nari di udara dengan menderu-deru seperti suara ombak besar mengalun menepis pantai.

Aku tak menghiraukan suara itu. Aku tetap menikmati sayup-sayup suara yang masuk ke telingaku. Dua detik kemudian, pandanganku beralih ke kardus yang sejak lama aku letakkan di samping lemari. Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Tetapi tetap saja, walaupun sudah kutahan, kedua kakiku mengantarkan diriku ke kardus tersebut. Akhirnya, dengan rasa takut, aku berjalan mendekati kardus yang berisi berjuta kenangan. Setelah kedua kaki-ku, kini giliran sepasang tanganku. Tanpa aku sadari, sepasang tanganku membuka kardus dan mengambil bingkai foto berwarna merah muda yang ukurannya cukup besar.

Aku tak kuasa, ku tutup sepasang mataku agar tidak melihat benda tersebut. Mataku tak ingin memandangi foto tersebut. Namun, hatiku tak dapat berbohong. Hatiku mengatakan kalau aku harus membuka mataku dan memandangi foto yang sudah aku pegangi sejak tadi. Setelah menghirup napas panjang, akhirnya, kubuka kelopak mataku sedikit demi sedikit. Dan, sepasang mataku tepat menatap empat kata:

dari Choco untuk Marsha.

***

Dadaku terasa nyeri seketika. Dan tubuhku mati rasa. Kenangan yang sudah aku kubur selama beberapa tahun, akhirnya tergali kembali. Tiga tahun melupakan kenangan tersebut, lenyap ketika tiga detik menatap benda merah muda yang ada di hadapanku. Sehingga tak sengaja, aku menitikkan air mata.

Pikiranku selalu ingin mengajakku menjelajahi masa lalu. Masa dimana sekeping hati bertemu dengan kepingan hati yang lain. Seperti kepingan puzzle yang menemukan pasangannya, kemudian menyatu.

Kupandangi wajah seseorang yang menempel di bingkai tersebut. Wajah yang sama seperti tahun-tahun yang lalu. Butiran air mata meluncur di kedua pipiku. Rasanya sulit sekali menghapus kenangan-kenangan yang sudah ku ukir bersamanya.

Setelah beberapa menit sesenggukan, aku berjalan ke meja kerja-ku. Kuambil laptop yang usiannya sudah lumayan tua. Aku masih ragu, haruskah aku menulis kisahku dengannya? Atau tidak? Aku berpikir, berpikir, dan berpikir. Setelah berpikir panjang, ku gunakan jari telunjukku untuk menekan tombol on. Jari-jemariku mulai menempel di keyboard. Dan, baiklah, aku mulai saja kisahnya.

SewinduWhere stories live. Discover now