Bag. 3 Sebuah Rencana

281 9 2
                                    


"Aku ingin kerja di kota, Nik."

Spontan kalimat itu terucap. Sebulir air bening jatuh di paha gadis berambut lurus terikat itu.

Nunik bergeming. Dia tahu betul kata-kata yang terucap dari bibir sahabatnya bukan dari hati. Melainkan hanya luapan emosi sesaat yang tak lama kembali seperti semula. Tekadnya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dengan beasiswa ternyata tak sesuai harapan.

"Kamu yakin, Rin?" Nunik meneguk teh yang hampir dingin. "Hidup di kota tidak seindah seperti apa yang kamu lihat. Butuh mental yang mumpuni jika mau tetap bertahan."

Rindi menelan kata-kata Nunik. Namun ia belum dapat mencerna sepenuhnya maksud dari penjelasan wanita di hadapannya. Yang ada di hatinya saat ini adalah, jika Nunik bisa sukses, mengapa dia tidak. Bukankah kesuksesan bisa diperoleh siapa saja yang percaya?
Gadis itu tak berani bermimpi terlalu tinggi lagi. cita-citanya sejak kecil ingin menjadi Bidan, telah dikuburnya dalam-dalam. Ia sadar, dengan kondisi keuangan keluarganya yang jauh di bawah standar, tidak mungkin baginya untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tamat SMA, sudah menjadi anugerah yang harus disyukuri. Banyak teman-teman di kampung yang hanya menamatkan SMP lalu pergi merantau menjadi buruh pabrik di kota.

Meskipun bapak hanya seorang kuli angkut barang di pasar, ditambah dengan berpalawija di sepetak tanah peninggalan almarhum kakek, namun ia sangat mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya.

Suara tangis terdengar dari dalam rumah. Perlahan suara itu kian melengking. Rindi menoleh ke arah sahabatnya, dan berlalu menemui asal suara. Beberapa menit kemudian ia kembali ke teras rumah. Seiring dengan hilangnya suara tangisan Noval.

Rindi terbawa pada kejadian masa lalu yang sempat membuat denyut jantungnya terpacu lebih cepat. Saat ibu mengandung Noval selama tujuh bulan, ibu harus menahan derita yang mungkin teramat sakit ketika tubuhnya tersungkur saat hendak mengangkat jemuran di samping rumah. Tanah yang basah, ditambah ibu yang terburu-buru menghindari serangan peluru air dari penjuru langit membuat ibu tak dapat megontrol keseimbangan tubuhnya. Ibu jatuh tersungkur dengan perut terlebih dahulu menyentuh tanah.

Bapak yang panik, buru-buru menjemput bidan desa untuk memeriksa keadaan kandungan ibu.

Dengan peralatan medis yang dibawa, Bidan memeriksa detak jantung janin dalam kandungan. Jemari tangannya menekan bagian bawah perut ibu, dan diam sejenak.

"Kandungannya tidak masalah. Detak jantungnya pun bagus. Insya Allah, bayinya tidak apa-apa" senyum keyakinan sang bidan melegakan hati mereka, terlebih Bapak.

Ketika dilahirkan, Noval tidak menangis. Bidan berusaha mengguncang-guncang tubuh orok itu hingga akhirnya tangisan pelan keluar dari bibir mungilnya, nyaris tak terdengar. Pertumbuhan Noval pun terbilang lamban.

Nunik menyimak cerita teman kecilnya. Dan waktu tak terasa merambat menghantarkan matahari nyaris menyentuh garis cakrawala.

"Ya sudah, kalo begitu aku pamit dulu ya, Rin. Kamu pikirkan lagi niatmu itu"

"Aku akan bicarakan hal ini pada Ibu dan Bapak. Segera aku kabari kamu ya, Nik."

Nunik tersenyum lalu mengangguk.
***

"Sudah bulatkah keputusanmu, Rin?"

Ibu menanggapi keinginan anak gadisnya yang baru saja secara panjang lebar diutarakan. Wanita paruh baya itu masih berat membiarkan Rindi mengadu nasib ke kota metropolitan. Banyak berita tak sedap kerap menjadi momok menakutkan. Meski tak sedikit yang berhasil meraih mimpi di perantauan.

Jika dulu mudah bagi kedua orangtua Rindi mengizinkan Rizal menjelajahi dunia nun jauh disana, meski air mata tetap jatuh mengiringi kepergian si sulung. Namun ia sadar, berkelana untuk menemukan jati diri bagi lelaki, itu teramat penting. Terlebih kelak anaknya adalah pemimpin keluarga yang harus mengajarkan buah hatinya untuk selalu tegar berjuang demi sebuah mimpi.

"Insya Allah, Bu. Aku mohon doa dari Ibu, juga Bapak"

Malam itu, Rindi kehilangan warna-warni yang selalu memberikan kesejukan setiap memandang perempuan terkasih itu. Padahal bening mata pemilik surga itu adalah oase paling menentramkan saat hari-harinya dipenuhi kegundahan.

Keputusan Rindi juga menyulut kepedihan di hati Bapak. Lelaki dengan kerut menua yang menggambarkan begitu besar perjuangan, tak mampu mengalirkan butir kristal di matanya. Namun wajah tegar Bapak, memantulkan cahaya ketabahan yang begitu dalam. Bagi bapak, lelaki maupun perempuan tak sepatutnya dibedakan. Jika Rizal diperkenankan pergi mengubah nasib menjadi lebih baik, begitu juga dengan Rindi. Sebagai orangtua, tentu punya senjata ampuh yang akan melindungi buah hatinya ketika sudah saatnya harus berpijak di belahan bumi lain.

"Jaga diri baik-baik, Rin. Kejujuran harus selalu ditanamkan dalam setiap sendi kehidupan. Jangan pernah mengabaikan itu, Nak."

Senjata paling ampuh yang menjadi bekal selain doa adalah pesan-pesan yang harus diterapkan ketika ruang dan waktu memisahkan. Sebab jarak yang terentang akan terasa dekat ketika petuah baik itu diaplikasikan dalam kehidupan di manapun kaki berpijak.

Seperti matahari yang perlahan bergerak menyingkirkan awan pekat. Hati Rindi yang gelap dihujani pendar cahaya yang sejenak menenangkan batinnya. Kedua orangtuanya telah menyetujui prihal kepergiannya mencari secercah kehidupan yang lebih baik di kota.

Lusa ia memulai mencari penghidupan yang layak baginya, juga orangtua dan keempat adiknya. Terkhusus untuk kesembuhan Noval.

Direkamnya baik-baik semua wejangan yang telah diembuskan oleh kedua orangtuanya. Seburuk apapun kehidupan yang mungkin akan dihadapi, sebab perjalanan tidak melulu harus mulus tanpa celah. Sekali-kali ujian akan datang menghadang. Memberinya dua pilihan, berhenti atau terus maju. Dia yakin telah siap menjelajah.

Malam perlahan merambat, melukis lingkaran bulan bertengger sempurna. Berulang kali Rindi menguap. Namun kedua mata itu masih enggan untuk terpejam. Ketiga adiknya yang berjejer di sampingnya telah menemukan mimpinya masing-masing. Wajah-wajah penuh keceriaan yang terkadang juga menciptakan kekesalan di hati, akan teramat dirindukannya.

Terbayang olehnya betapa repotnya Ibu mengurus mereka semua sendirian. Belum lagi harus merawat Noval yang terkadang suhu tubuhnya meningkat tiba-tiba. Jika demikian, seisi rumah dibuat panik. Terlebih Ibu.

Ah, wanita yang tampak lingkaran hitam menghias di sekitar mata. Tak habis rasanya jika harus menceritakan semua tentangnya. Perjuangan dan pengorbanan tanpa syarat selalu tersaji setiap waktu. Apalagi belakangan ini, terkadang ia tak tidur semalaman demi memastikan si bungsu dalam keadaan baik. Meski waktu tidur yang tersita tak dapat tergantikan dengan siang. Sebab kesibukan lain telah menunggu untuk mendapat sentuhan tangan.

Pergi ke kebun misalnya. Mencari seikat kayu bakar, juga daun singkong yang tumbuh liar dipinggir jalan. Jamur kuping yang berjejalan di tunggul pohon jengkol, kerap kami santap hampir setiap hari. Jika beruntung, ibu menemukan beberapa butir kelapa kering dan dijualnya ke pasar. Lalu dengan uang itu, kami bisa menikmati ikan kurisi pindang.

Membayangkan tatapan ibu barusan, tampak cahaya di matanya meredup. Rindi tahu, dia harus lebih cepat mendapatkan pekerjaan. Apapun, selama itu halal dan tidak merugikan orang lain. Agar ibu bisa lebih fokus merawat Noval menggapai kesembuhan total. Membeli kebutuhan pokok sehari-hari, juga pakaian baru untuk hari raya tahun ini.

"Udah dua kali lebaran, Rita selalu pakai baju yang sama." protes adik Rindi yang kemudian tersenyum bangga ketika sang kakak menjanjikan suatu hari nanti, baju lebaran mereka akan berbeda.

Rindi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dalam hati, ia kembali berjanji untuk sungguh-sungguh berniat membuat orang tua dan adik-adiknya tersenyum meihat keberhasilannya kelak.

Bersambung...

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang