Bag. 4 Merantau

212 8 0
                                    

Selepas subuh, Rindi telah siap dengan keperluan yang dibutuhkan. Dalam ransel kecil, di antara pakaian diselipkan dua lembar bukti kelulusan lengkap dengan masing-masing sepuluh lembar salinan yang telah dilegalisir.

Di kardus bekas mie instan, ibu memasukan satu kilo ikan asin rebus, cabai, tomat rampai dan kelanting untuk keperluan anak gadisnya di sana. Semalam, perempuan yang rambutnya mulai ditumbuhi uban itu juga menyempatkan membuat penganan dari singkong parut yang diaduk dengan gula merah, lalu dibungkus dengan daun pisang kemudian dikukus selama hampir satu jam. Kue ketimus, begitu mereka menamainya. Sekadar untuk pengganjal perut sewaktu di perjalanan nanti.

Ibu meraih tangan Rindi dan mengepalkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Gadis bertubuh langsing itu membuka genggaman tangannya, dan kedua matanya berkilatan menatap sendu wajah malaikat tanpa sayap yang berdiri di hadapannya.

"Tidak banyak. Tapi mudah-mudahan cukup membantu." kalimat ibu setengah berbisik.

Buru-buru Rindi menghambur dalam pelukan ibu. Diraih jemari tangan perempuan berkantung mata di hadapannya. Pelan, jemari tangannya meraih genggaman tangan perempuan yang telah melahirkannya dan mengembalikan lagi pemberian itu.

Bukan sengaja menolak pemberian orangtuanya, namun gadis itu merasa ibu dan adik-adik di rumah akan lebih membutuhkan. Rindi yakin, uang yang dikumpulkan dari sebagian upah selama menjadi buruh cuci, sudah cukup untuk keperluannya di kota.

Gadis berswiter merah itu berusaha melukis senyum, agar ibu tidak terlalu menghawatirkannya. Rindi sudah dewasa, ia yakin bisa menjaga diri baik-baik. Juga untuk mengatur keuangan yang pas-pasan. Lagi pula ia telah terbiasa hidup prihatin, selalu membeli kebutuhan bukan keinginan.

Tapi naluri seorang ibu begitu mengental, masih dengan pancaran kekhawatiran pada keadaan buah hatinya selama belum beroleh pekerjaan. Ia yakin pemberiannya akan sedikit membantu.

"Tabungan Rindi insya Allah cukup, Bu." Rindi tersenyum tipis, meyakinkan.

"Ambil saja, Rin. Ibu mohon," kali ini ibu benar-benar menghiba. "jangan kamu sia-siakan pengorbanan Bapak yang harus kehilangan si Jengger"
Astaga, Bapak.

Betapa merasa bersalahnya Rindi ketika satu-satunya ayam jago kesayangan bapak telah dijual. Padahal sebelumnya, beberapa orang berusaha menawar dengan harga tinggi, namun bapak bersikukuh menolaknya.
"Karena si Jengger, Bapak tak pernah ketinggalan shalat subuh berjamaah di masjid." begitulah alasan bapak. Ia sangat menghargai arti sebuah jasa meski hanya dilakukan oleh seekor binatang.

Tapi kali ini, Rindi yakin begitu berat bapak harus kehilangan sesuatu yang teramat disayangi. Semakin pilu gadis itu mendengarnya.

"Percayalah Rin, kasih sayang orangtua itu melebihi sesuatu yang teramat dicintai. Bahkan jika perlu nyawanya sendiri bisa diberikan." Perkataan bapak beberapa tahun lalu, dan kini Rindi membuktikannya. Ia tertegun. Berusaha menyelami ruang pikir lelaki yang berandil besar dalam menghadirkannya ke muka bumi.

Beberapa menit berjalan, ia menyudahi lamunan. Dari kejauahan terlihat dua sepeda motor beriringan mendekat.

"Nah, itu Nunik."

Rindi memastikan sekali lagi barang bawaannya. Gadis itu juga tak lupa menenggak pil anti mabuk perjalanan. Berjaga-jaga, sebab ini perjalanan panjang pertama kali yang akan dia lakukan.

Rindi mencium tangan bapak yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Penyakit lama yang belum diketahui kambuh setelah mendengar Noval harus dirujuk ke rumah sakit. Beberapa menit lelaki berjenggot itu membisikan sesuatu di telinga anak gadisnya. Rindi terlihat mengangguk-angguk. Menyimpan baik-baik dalam ruang hatinya.

Lalu ibu memeluknya erat. Air mata tumpah di bahu satu sama lain. Perlahan dekapan itu terlepas. Sepasang mata Rindi terbentur pada sesosok tubuh kecil yang tengah tertidur pulas dalam dekapan Ibu.

Rindi memandanginya lekat-lekat. Berharap pemilik wajah menggemaskan itu membuka matanya, dan menikmati ciuman hangat dari kakaknya bertubi-tubi. Dalam hati, dipanjatkannya doa-doa agar Allah segera mengangkat penyakit yang coba-coba merongrong tubuh mungilnya.

Beralih ke tiga sosok yang berdiri berjejer bak anak tangga. Menanti giliran mendapat sentuhan tangan kakak tercinta. Rita, Jamal, dan Soleh yang bergantian bersalaman juga berpelukan erat.

"Kalian jangan nakal ya. Bantu Ibu di rumah, jangan main terus."

Diusap lembut kepala adik-adiknya begantian. Diciumi, dipeluk, dan disisipkan sebuah pesan agar mereka tidak sering bertengkar, dan selalu membantu pekerjaan Ibu di rumah.

Ketiganya tersenyum tipis, seolah berusaha tegar menghadapi perpisahan. Mengamini harapan kakak wanitanya untuk mewujudkan mimpi yang masih memblukar di kepala. Ingin punya baju baru, mainan baru bahkan Jamal berharap kepergian kakaknya bisa mewujudkannya memiliki sepeda motor.

"Doain Kakak, ya."

Nunik pun turut berpamitan kepada kedua orangtua dan adik-adik Rindi.

"Bapak titip Rindi ya, Nik." kalimat bapak yang dibalas dengan senyum dan anggukan.

Di detik lain, kedua tukang ojek yang membawa dua gadis itu menjauh hingga membentuk titik di ujung mata memandang. Lambaian tangan segera diturunkan, dan doa-doa yang telah dipanjatkan berhembus menuju langit.

Mereka menyusuri jalan setapak menembus gelap yang semakin tipis tersaput fajar menyingsing. Jarak sekira lima kilo meter dibutuhkan waktu tempuh sekitar sepuluh menit untuk sampai di jalan utama desa. Jalan yang baru sebagian tersentuh uluran tangan pemerintah, sebab hingga detik ini badan jalan seluas tiga meter itu masih berupa tanah merah. Jika hujan datang, jalanan akan menyerupai kubangan lumpur. Dan jika kemarau menjelang, debu-debu bertebaran di mana-mana.

Di ujung garis finish, telah menunggu sebuah Avanza hitam berplat kuning yang akan mengantar mereka hingga pelabuhan Bakau Heni.
Sopir membantu memasukan barang bawaan mereka ke bagian belakang mobil.

Mereka berdua bergantian masuk ke mobil.
Di dalam, rupanya sudah ada tiga penumpang yang menunggu. Ketiga penumpang, dua wanita dan satu lelaki, tersenyum ramah menyambut kedatangan mereka.

Mobil Avanza Silver bergerak maju. Sesekali goncangan terasa mengocok isi perut karena tekstur jalan yang berlubang-lubang. Bersyukur dua tahun belakangan, sepanjang jalan telah dipasang lampu-lampu penerang. Listrik telah merambah masuk ke desa tempat mereka tinggal. Hanya jaringan telepon seluler yang kabarnya tidak lama lagi akan bisa mereka nikmati.

Selama ini, Bapak meminjam pesawat telepon milik Haji Mansyur. Ia bersyukur, lelaki berjenggot memutih itu tidak keberatan menyempatkan waktu memanggil bapak atau ibu, bila mas Rizal menelepon untuk sekadar memberi kabar. Maklumlah, desa yang terletak di penghujung provinsi Lampung itu belum sempat terjamah secara keseluruhan oleh fasilitas yang diberikan pemerintah.

Mobil berbelok arah ke kiri, bersebrangan dengan arah tujuan. Rupanya ada dua penumpang yang harus dijemput di sana.

Setelah semua kursi penuh terisi, kendaraan roda empat itu pun melaju kencang seiring dengan berpijaknya empat lingkaran berlapis karet pada jalan raya yang telah halus teraspal.

Rindi menyandarkan kepalanya di bantal leher karakter Marshupilami yang melingkar di sandaran jok. Matanya tak berkedip menatap ke arah jendela mobil yang setengah terbuka. Lagu kenangan yang diputar sang sopir begitu menyayat, seakan mewakili keadaan hatinya saat ini.

Selamat tinggal teluk bayur permai, daku pergi jauh ke negeri sebrang...

Bersambung...

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang