Adipati Anggabaya lalu duduk di samping Cadasari. Menatap wajah langit yang suram tanpa gemerlap bintang ataupun senyuman dewi malam. Awan yang terlihat hitam pun membentang laksana selimut, menutupi hamparan angkasa.
"Mengapa Gusti belum tidur?" tanya Cadasari.
"Tidak tahu. Malam ini aku merasa sudah sangat sehat, mungkin besok aku akan kembali ke Anjukladang," kata Adipati Anggabaya.
Wajah Cadasari yang tak terkena cahaya sentir terlihat semakin meredup.
"Cadasari, aku sangat berhutang nyawa padamu juga gurumu. Dan hutang budi akan menghambat seseorang menuju kesempurnaan hidupnya, maka sebelum aku pergi besok, katakanlah hal apa yang bisa kulakukan untuk membalas hutang budiku pada kalian," pinta sang adipati.
"Saya tidak mengharapkan apa-apa, Gusti. Saya sangat bersyukur melihat Gusti sudah pulih."
"Tapi...."
Tiba-tiba terdengar suara berdehem. Nampaklah Nyi Endang Gandes di ambang pintu sambil membawa minuman. Ia pun meletakkan gelas bambu dan ikut duduk di atas amben.
"Kalian berdua belum tidur? Dan sepertinya kesehatan Gusti sudah cukup pulih."
"Benar. Besok aku akan pulang ke Anjukladang. Sebelum itu aku ingin membayar hutang atas nyawaku kepada kalian supaya hidupku bisa sedikit tenang."
"Jadi Gusti ingin membalas budi?"
Adipati Anggabaya tersenyum dan mengangguk. Nyi Endang Gandes turut membalas senyuman itu lalu melirik ke arah muridnya yang nampak tertunduk.
"Apa Gusti yakin mampu menyanggupi permintaan yang akan kuajukan?" kata Nyi Endang Gandes dengan nada sedikit meremehkan.
"Pasti!" jawab sang adipati dengan mantap.
"Bagaimana kalau nyawa Gusti?"
"Kalau kau ingin nyawaku mengapa kau harus bersusah payah menyembuhkanku?"
"Baiklah. Aku yakin dan kuanggap hal ini sebagai janji. Kalau begitu, ambillah Cadasari sebagai pendamping Gusti."
"Apa?! Cadasari menjadi pendampingku?"
"Guru!" Cadasari terkejut.
"Apa Gusti tidak bisa melihat cinta tulus dari matanya? Dia gadis yang sempurna tak kurang satupun..."
"Tapi sayangnya aku tak memiliki secuilpun perasaan terhadap Cadasari! Dan tidak ada yang bisa memaksa perasaan!"
"Gusti adipati sama saja telah mengingingkari janji, mau jadi apa sebuah negeri kalau pemimpinnya saja orang yang ingkar janji dan tidak bertanggung jawab?! Pasti negeri itu akan hancur atau menjadi negeri belakang!"
"Tidak usah mengajari dan menasehatiku, Dukun Tua!"
Nampaknya Adipati Anggabaya mulai tersinggung dan tak terima dengan ucapan wanita itu. Nyi Endang Gandes pun mulai berang saat sang adipati menyebutnya "Dukun Tua" namun ia masih mampu mengendalikan diri. Ia pun bangkit dari duduknya.
"Hei! Sekarang ini siapa yang pantas mengajar dan diajar? Aku masih menaruh hormat padamu karena kau seorang adipati dan kau punya tanggung jawab besar terhadap negerimu. Oleh karena itu aku mau mengobatimu!"
"Dan kau meminta imbalan setelah aku sembuh, begitu?"
"Kau sendiri yang meminta supaya bebas dari hutang budi dan dengan sesumbar kau mengatakan sanggup untuk memenuhi keinginanku! Tapi kenyataannya terlihat begitu memalukan! Kau coba untuk melupakan janji yang kau buat!" bentak Nyi Endang Gandes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historical Fiction...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...