BAB 39 Calon istri Ujang marah

3.9K 253 4
                                    


          Pulang dari lomba aku cemberut dan tidak banyak bicara. Nyai tidak tahu penyebab aku bisa marah, aku tidak mau memberitahu Nyai. Aku tidak mau Nyai berbuat jahat lagi.

"Nul, kenapa diam saja? tadi kamu ngaji, suaramu bagus sekali Nul, semua orang terpukau Nul, Nyai sampai merinding mendengar suaramu Nul, kamu anak Nyai yang hebat Nul," ucap Nyai sambil memelukku.

"Aku hanya membaca yang aku bisa Nyai," jawabku.

"Iya, tapi ini beda Nul, kamu membaca tanpa membuka Al Qur'an, kamu hebat, mudah-mudahan kamu menang ya Nul?" ucap Nyai berharap.

"Aku tidak peduli menang atau kalah Nyai!" jawabku ketus.

"Kamu kenapa Nul? kamu capek? nanti Nyai pijit yah?" ucap Nyai penuh perhatian.

"Aki bangga padamu Nul, semua orang benar-benar terkesima melihatmu," ucap Aki ikut bicara sambil merangkulku.

"Pujian kalian lebih berharga daripada pujian mereka," ucapku sedih.

          Aku merasa yakin Panitia itu tidak adil memperlakukan aku. Kenapa aku begitu di pandang hina dan rendah. Peserta lainnya sangat di hormati dan dibimbing. Tapi aku peserta terakhir di perlakukan seperti itu. Sampai tiba hari Kemerdekaan, malam harinya di rayakan dengan membuat panggung besar. Nyai memaksaku untuk nonton acara tersebut.

"Ayo Nul, kita nonton, acaranya pasti ramai, ada tariannya Nul, dan diacara itu ada pengumuman, bukankah kamu menang lomba balap karung dan lainnya Nul? kamu juara Nul, tinggal pengumuman lomba ngaji saja yang belum, kamu harus lihat yah," ajak Nyai merayu.

"Aku malas Nyai!" jawabku sambil cemberut.

"Ada apa Nul? kamu tidak mau menemani Nyai dan Aki?" tanya Nyai sedih.

"Iya iya iya ikut, tapi saat pemberian hadiah, Nyai yang naik ya?" jawabku ketus.

"Oh tidak masalah, itu mudah Nul," ucap Nyai senang.

          Kami berangkat ke alun-alun dekat Balai Desa, banyak pedagang dan warga yang antusias menonton acara itu. Aku berdiri di tengah-tengah lapangan bersama warga lainnya, tempat duduk hanya untuk orang-orang yang penting yang di undang khusus. Tiba-tiba Ujang mendekatiku.

"Nul, selamat yah, semua hadiah diborong semua nih, tinggal tunggu siapa pemenang lomba ngaji ya?" ucap Ujang memberi selamat.

          Aku hanya diam tidak menjawab ucapan selamat dari Ujang.

"Kenapa diam saja Nul? oh iya, kamu mau jajan Nul? mau aku belikan kacang?" tanya Ujang.

"Tidak!" jawabku ketus.

"Mau baso?" tanya Ujang lagi.

"Tidak!" jawabku lebih keras.

"Kamu marah sama panitia itu ya?" tanya Ujang sambil memandangku.

"Sudah tahu kok tanya!!" jawabku marah.

"Kenapa kau marah padaku Nul? aku bukan panitia Nul, yang penting kamu sudah membuktikan kalau kamu bisa Nul," ucap Ujang memujiku.

"Aa kenapa sih peduli sekali denganku? kenapa senang sekali menggangguku? sana pergi! aku ingin sendiri!" ucapku mengusir Ujang.

         Nyai dan Aki sedang bicara dengan tetangga, tiba-tiba calon istri Ujang datang.

"Kang? kenapa lama sekali meninggalkan kami? orangtuamu mencarimu Kang,"  ucap calon istri Ujang.

"Paling juga digoda Menul!" ucap gadis teman calon istri Ujang.

"Heh! punya mulut di jaga!! jangan seperti kaleng rombeng! tuh Ujang yang terus mengganggu aku, kasih tahu Ujangmu ya! jangan pernah dekati aku lagi!" jawabku mulai galak.

"Ujang dekati kamu? hahahaha yang ada juga kamu yang dekati Ujang!" jawab gadis itu.

"Jadi begini ya lulusan pesantren? cuma belajar ngaji? tidak belajar cuci otak kamu yang kotor?!" ucapku emosi.

"Heh Menul! jangan bawa-bawa pesantren ya!" ucap calon istri Ujang ikut bicara.

"Mau kalian apa? mau keroyokan? siapa takut?! jawabku mulai berkacak pinggang.

"Sudah-sudah jangan ribut, bukan Menul yang mendekatiku, tadi aku menemuinya hanya untuk memberi ucapan selamat karena dia menang lomba, dan lomba ngaji suaranya bagus, pasti dia menang," ucap Ujang jujur.

"Kang? kamu memujinya? kamu kok belain dia?!" ucap calon istri Ujang.

"Saya tidak membela Menul, seharusnya kalian tidak berburuk sangka dulu pada Menul," jawab Ujang.

"Keterlaluan kamu Kang!" ucap calon istri Ujang dan gadis itu pergi begitu saja.

"Ma'afkan mereka ya Nul," ucap Ujang.

"Aa kenapa sih! hobi sekali minta maaf untuk orang lain? harusnya dia yang minta maaf, bukan Aa!!" jawabku marah.

          Ujang tidak menjawab, dia memandangku dan tersenyum. Aneh sekali, aku jadi risih dan kikuk, entah perasaan apa, ketika dia memandangku jantungku berdegup kencang.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang