Paket

9.3K 204 1
                                    

Bahar menatap diam-diam melalui kaca spion depan pada pria yang sedang duduk di kursi penumpang. Garis-garis kerut di dahi, mata tajam yang begitu fokus melihat keluar jendela mobil serta bibir tipis mengatup rapat mempertegas keseriusan pria itu. 

"Jadi itu adiknya?" tanya pria itu pada Bahar.

Buru-buru Bahar mengangguk. "Be... Betul, Tuan!"

"Cacat?" tanyanya lagi.

Bahar terdiam beberapa saat. Berusaha memahami makna pertanyaan itu. Jika cacat itu maksudnya karena memiliki keterbelakangan mental, berarti ya. Otomatis kepala Bahar mengangguk lagi. Tapi jauh dalam hatinya, Bahar tak yakin soal itu. 

"Kapan paket diambil?" Masih terdengar nada kaku bertanya dari belakang mobil itu.

"Sore ini, Tuan. Nanti malam paket sudah akan Tuan terima di Villa," jawab Bahar tanpa ragu. 

Terlihat senyum tipis membayang di wajah pria itu, lalu ia mengangguk. Sambil memasang kacamata hitamnya, pria itu bergumam, "Kalau sudah diambil, segera antar. Jangan sampai paketnya rusak atau lecet!"

Bahar mengangguk sekuatnya. "Baik, Tuan!"

***

Sesuai keinginan si Tuan, ditambah rencana matang Bahar mengatur anak buahnya. 'Paket' itu berhasil diambil tanpa kesulitan berarti. 

'Paket' itu juga tak terlalu sulit dibawa. Hanya dengan sedikit bersandiwara, tanpa paksaan dan tanpa kekerasan sama sekali, kini 'paket' itu sudah duduk dengan manis di belakang.

Bahar tak bisa menyembunyikan kegirangannya. Membayangkan tumpukan uang dalam tas besar yang dijanjikan si Tuan jika ia berhasil membawa paket itu sampai dengan selamat. Ia hanya perlu mengambil tak sampai seperempat dari jumlah tersebut untuk membayar semua anak buahnya yang ia tugaskan mengambil. Jumlahnya masih sangat besar untuk dipakai ya bersenang-senang dengan Mindah, pelacur tercantik di Karawang. Ia bisa membawa cewek bahenol itu ke mana saja, dan memakainya sampai ia bosan. 

Sebenarnya Bahar tak mengenal si Tuan. Juga tak mengerti kenapa paket seperti itu begitu penting bagi si Tuan hingga rela mengeluarkan uang ratusan juta. Bahar bahkan tak tahu nama atau identitas si Tuan. Mereka bertemu di sebuah lokasi konstruksi bangunan tempat Bahar bekerja sebagai welder.

Saat itu seorang pria muda mendekati Bahar, yang tengah merokok bersantai sejenak.
"Apa Anda bernama Bahar?"

Bahar memandangi pria dari ujung kaki hingga ujung kepala. Lalu setelah yakin, ia takkan rugi apa-apa dengan membuka identitasnya, ia pun mengangguk.

"Boss saya mau bicara." Lalu pria muda itu memberi kode pada Bahar untuk mengikutinya.
Sampai di dekat sebuah mobil Mercedes-Benz berwarna hitam mengkilap, pria muda itu berhenti. Tepatnya di samping pintu penumpang. Jendela mobil terbuka sedikit, dan terlihat pria lain yang kemudian dikenali oleh Bahar sebagai si Tuan.

Pintu dibuka oleh pria muda pertama dan memberi isyarat agar Bahar masuk. Buat Bahar, ini sudah biasa. Bukan pertama kalinya ia menghadapi orang-orang seperti ini. Orang-orang kaya yang bersedia membayar dengan harga tinggi, agar seseorang mau melakukan perintah mereka. Apapun isi perintahnya. 

Pria muda pertama berdiri di luar. Sementara Tuan yang tadi menunggu di dalam menyodorkan selembar foto. Seorang gadis tersenyum ceria terlihat dalam foto itu.

"Bawa dia pada saya! Pastikan dia hidup dan jangan menyakitinya."

Bahar tersenyum licik. Ia mengibas-ngibas foto itu. "Saya perlu biaya... "

Si Tuan menunjuk pada kantong plastik hitam yang tergeletak di kursi penumpang itu juga. Bahar segera mengambil dan seringainya melebar. Segepok uang dalam beberapa ikatan ini jauh lebih banyak dari dugaannya.

"Kapan saya harus bergerak mengirim paket Tuan?" tanya Bahar sambil menutup kembali plastik itu. Seringainya tak bisa hilang mengingat Tuan di hadapannya ini.

"Begitu kamu berhasil, kirim ia ke alamat ini. Ada orang yang akan mengurusnya di sana. Sisa pembayaran akan kamu terima di sana. Dua kali dari jumlah itu."

Bahar mengangguk-angguk. Ia tak bisa menyembunyikan Merasa semua penjelasan sudah lengkap, si Tuan memberi isyarat dengan anggukan, Baharpun keluar.

Tak sampai lima menit mobil mercedes hitam itu pun melaju meninggalkan lokasi konstruksi itu, menyisakan debu-debu yang mengepul tinggi dan di tengah-tengahnya ada Bahar yang berdiri dengan wajah puas memandangi kantong plastiknya.

***

Senyum puas muncul di wajah Bahar, ia baru saja selesai mengantar paket yang dimaksud. Sekantong plastik uang yang dijanjikan si Tuan juga sudah ia terima. Kini tinggal meluncur menuju kekasih gelapnya.

Tepat di tikungan gelap yang sedikit menanjak, Bahar menginjak gas sekuat tenaga untuk menambah kecepatan mobilnya. Ia tak sabar untuk segera memeluk Mindah. Senyuman lebar menghiasi wajahnya yang legam. 

Duuug! Brak! Bruk! Daaak! Sssrrrrtt!

"Aaaah!" teriakan panjang terdengar saat sebuah truk besar menghantam mobil Bahar dari arah berlawanan. Truk itu terus mendesak hingga mobil Bahar terlempar dan masuk ke jurang. Hanya beberapa menit kemudian terdengar suara ledakan, sebelum kesunyian kembali menyelimuti jalan di tengah hutan belantara itu.

Dua orang turun dari truk besar itu dan memperhatikan ke bawah. Kepulan asap dari mobil yang meledak di bawah sana, membuat mereka saling menatap penuh arti dan mengangguk. Senyum tipis menyudahi tugas mereka malam itu.

Hanya tersisa puluhan lembar uang-uang yang berserakan di tepi jurang. Satu orang memungutinya hingga bersih. Sementara yang lain mengambil jerigen-jerigen berisi air dan mulai menyiramkannya ke jejak-jejak kendaraan. Setelah itu mereka juga merapikan dengan menyebarkan rumput-rumput menutupi pinggiran jurang. Selesai melakukannya, mereka kembali naik dan truk besar itu pun menghilang di kegelapan malam.

*****

PEREMPUAN DALAM SANGKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang