Azmi menekan gagang pintu dan membukanya. Ia bisa melihat gadis itu sedang terduduk di lantai. Kedua tangannya terikat di masing-masing ujung tempat tidur. Kiri dan kanan. Hanya kedua kakinya masih terikat jadi satu. Mata gadis tertutup rapat. Rupanya obat tidur itu bekerja dengan baik.
Dengan tenang, Azmi mendekatinya. Memandangi gadis itu dengan puas. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu olehnya selama bertahun-tahun terbayar sudah. Sekarang ia hanya perlu menjalankan rencananya. Biar impas. Biar laki-laki bajingan yang menghancurkan dirinya juga ikut merasakan hal yang sama.
Perlahan tangan Azmi mengelus pipi gadis itu. Sangat halus. Sungguh terasa berbeda di kulit telapak tangannya yang terbiasa memegang benda-benda kasar.
Aku akan menghancurkanmu segera, Gadis manis! Perlahan-lahan namun pasti menyakitkan.
Tiba-tiba mata Tiana, gadis yang tertidur tadi terbuka lebar. Ia tampak kaget, sekaligus bingung. Untuk beberapa detik, mereka saling memandang. Lalu ketika ia merasakan tangan dan kakinya terikat, gadis itu kontan menjerit sekuat tenaga, menggoyang-goyangkan tali agar bisa terlepas dari tiang tempat tidur. Tapi usahanya sia-sia.
"Lepasin! Lepas! Lepasin! Hei! Heeeiii!" jerit Tiana berkali-kali. Tapi Azmi tak bergeming. Ia hanya berdiri memandang dengan senyum sinis di wajahnya.
"Ka... Ka kamu mau apa? Kenapa aku diikat? Aku salah apa? Kamu siapa? Aku mau Bang Farid." Jeritannya pun berubah menjadi tangisan.
Mendengar itu, Azmi bergerak cepat. Ia menarik kaki Tiana hingga gadis itu terhempas dan benar-benar berbaring di lantai. Lalu dengan cepat ia merangkak di atas tubuh Tiana.
"Aaaakh!!!" pekik Tiana seketika.
Plak! Plak!
Tamparan keras menghantam wajah Tiana.
"Diam kamu!" hardik Azmi.
Bibir Tiana segera mengatup. Tapi getaran kecil terlihat jelas di bibir itu. Tiana menutup matanya. Ia tak berani menatap wajah Azmi yang begitu dekat, terutama mata pria itu. Begitu dingin dan begitu gelap.
Lalu Tiana menahan napas. Tubuhnya bisa merasakan telapak tangan Azmi menelusuri kulit perut di bawah kaos yang ia kenakan. Perlahan, lembut, dan mulai bergeser hingga ke dada Tiana. Tubuh Tiana semakin menegang saat rabaan itu semakin lama semakin intens. Gadis itu makin sulit menahan desahan yang keluar dari napasnya yang tersengal-sengal ketika elusan itu berhasil masuk menyelusup di antara bra yang ia kenakan.
"Aaargh!" jerit Tian tertahan ketika jari tengah dan jari telunjuk Azmi memainkan puting payudara kirinya.
Mata Tiana masih tertutup rapat dan semakin rapat. Tapi ia bisa merasakan semua yang dilakukan Azmi di atas tubuhnya. Tangan pria itu bergerak menggulung kaos Tiana hingga berkumpul di bawah mulutnya.
"Awas kalau kamu menjerit! Aku bunuh kamu kalau teriak!"
Kontan mata Tiana bergerak menutup semakin rapat. Sulit baginya menahan jeritan, terutama saat bibir dan telapak tangan Azmi menelusuri setiap jengkal di kulit tubuhnya.
Dari gerakan halus sekedar meraba, mulai dari perut hingga ke payudaranya. Tangan Azmi tak berhenti sampai di situ. Dengan kedua tangannya, ia memainkan puting payudara Tiana. Meremas dengan kasar. Tak berhenti sampai di situ. Kali ini Azmi memakai mulutnya. Ia mulai mencium, menghisap, bahkan menggigit beberapa bagian tubuh Tiana hingga membuat gadis itu harus menahan sakit diantara rangsangan hebat yang menderanya.
Tuhan... tolong!!
Tiana menjerit dalam hati. Berulang kali. Ia nyaris tak bisa bernafas. Tak berani. Tapi juga tak bisa melawan kenikmatan yang dirasakannya bersamaan dengan rasa sakit, ketakutan dan keputusasaan.
"Oooh!" Tiana tak bisa menghentikan desahannya ketika mulut Azmi mulai singgah di puting payudaranya.
Lidah Azmi bermain-main cukup lama di sana, bergantian dari sisi satu ke sisi yang lain membuat Tiana tanpa sadar terus mendesah. Pinggulnya melengkung semakin menekan lantai. Tak lagi merasakan kerasnya keramik di bawah tubuhnya.
Tak puas hingga di situ, kedua tangan Azmi mulai menjelajahi bagian bawah tubuh Tiana. Dengan santai Azmi mulai melepaskan tali di kaki Tiana, tapi tetap menahan agar kaki gadis itu tak bergerak di bawah tubuhnya. Setengah memaksa, Azmi membuka kedua kaki Tiana lebar-lebar. Begitu cepat tangan Azmi bergerak, merobek rok dan celana dalam Tiana menjadi kain perca tak beraturan.
"Kau... " Tiana bisa mendengar suara berat Azmi saat tak ada lagi penutup yang menghalangi pandangannya.
Tubuhnya yang telanjang bisa merasakan lantai yang dingin. Tiana semakin ketakutan. Entah bagaimana, Tiana tahu ada sepasang mata sedang menatapnya dengan penuh nafsu.
"Jaa ... Jangan!" bisik Tiana lemah, mencoba melawan. Tapi Azmi tak kunjung berhenti.
Azmi menatap tubuh telanjang gadis yang terbaring di lantai itu dengan tatapan yang sarat kebencian, lalu ia menunduk di antara kedua paha Tiana, menekan dan memainkan bibirnya yang semakin panas di atas kulit sensitif di area itu sambil meremas bokong Tiana dengan kedua tangannya hingga membuat gadis itu menjerit tak tahan menghadapi serangan rangsangan bertubi-tubi. Tubuh Tiana semakin melengkung meminta dipuaskan.
Suara Tiana melenguh dan mendesah semakin keras, tapi itu tak membuat Azmi berhenti. Jeritan tertahan Tiana hampir berubah memohon ketika mendadak kepala Azmi terangkat lalu ia bergerak kembali ke wajah Tiana, bibir pria itu menghujam mencium bibir Tiana dengan kasar, hingga gadis itu hampir tak bisa bernapas. Setelah puas, Azmi menggigit ujung bibir Tiana. Setitik darah terlihat di ujung bibir Azmi yang segera menghapusnya. Sementara Tiana memejamkan rapat-rapat kedua matanya. Ia ketakutan setengah mati, tapi juga merasakan seluruh tubuhnya menjerit. Bukan karena kesakitan, tapi sesuatu yang jauh lebih menyakitkan.
Dua tetes airmata mengalir perlahan di sudut mata Tiana yang tertutup. Ia merasakan malu yang luar biasa.
Ini pertamakalinya ia telanjang di hadapan seorang pria. Bukan pria baik-baik. Tapi seseorang yang hendak merenggut mahkota keperawanannya. Pria pertama yang menyentuh dengan begitu menyakitkan. Namun di sisi lain, ia mendambakan kenikmatan itu lagi. Rasa yang untuk pertama kalinya menembus batas keinginan untuk tetap menjaga miliknya.
"Aku takkan melakukannya! Jangan kuatirkan itu!"
Kalimat itu membuat mata Tiana terbuka perlahan. Pria itu sudah berdiri dan sedang memperbaiki celana dan pakaiannya. Saat itulah mata bulat Tiana bertemu dengan mata tajam yang begitu gelap. Ada senyum tipis terlihat di wajahnya. Sangat sinis, dan dingin. Tatapan melecehkan.
"Kau yang akan memintaku untuk menyelesaikannya. Lihat saja!" ujarnya sambil berjalan keluar diiringi kalimat dan tawa lebar, "Kita masih punya banyak waktu. Ha ha ha!"
Pintu menutup berdebam, meninggalkan Tiana dalam kegelapan kamar tanpa lampu sama sekali. Tiana bahkan tak bisa melihat tubuhnya sendiri. Meski begitu ia bisa merasakan kulit telanjangnya yang sama sekali tidak ditutupi apa-apa.
Tiana mencoba bangun, setidaknya ia ingin duduk sembari memperbaiki kaos yang diharapkannya bisa menutup sebagian tubuh telanjangnya. Tapi, tiap bergerak, ada rasa sakit menderanya. Bagian dadanya masih berdenyut sakit karena diremas dengan kasar, begitu pula bibir yang kini membengkak. Pahanya seperti habis ditendang kuda. Ia menyerah, tetap berbaring dengan mata berusaha menembus kegelapan.
Tapi lama kelamaan Tiana merasa kepalanya mulai berdenyut. Makin lama makin sakit. Ia ingin menjerit ketika rasa sakit itu nyaris tak tertahankan. Tapi ia takut lelaki kejam tadi datang lagi dan mengulangi perbuatannya. Tidak seperti tadi. Tapi mungkin benar-benar memperkosanya. Tiana takut. Demi mengalahkan rasa sakit itu, Tiana menggigit kaos yang menutupi mulutnya sekuat tenaga.
Entah karena lelah, atau karena tak lagi tahan pada rasa sakit yang menderanya, pandangan Tiana mulai memudar. Matanya terlalu lelah untuk tetap terbuka dan melawan kegelapan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PEREMPUAN DALAM SANGKAR
Lãng mạnDunia Tatiana Fabiola Pramana berubah arah dalam perjalanan menuju hotel tempat ia akan akan menikah. Ia diculik! Tapi Tatiana tak bisa memahami sang penculik yang penuh dendam itu. Alih-alih meminta tebusan pada keluarga Tatiana yang kaya raya, lak...