Bag. 6 Kota Jakarta

188 8 0
                                    


Perasaan lelah seolah bersembunyi di balik rasa penasaran pada kota metropolitan yang dibingkainya lewat jendela bus yang terus melaju kencang. Pandangannya tak berkedip menatap deretan gedung-gedung pencakar langit yang megah. Jalan-jalan yang saling silang di udara tampak menakjubkan. Hamparan hotmik hitam  yang halus bak gelaran karpet di musola tempatnya menimba ilmu agama di kampung halaman, tak luput dari perhatian.

Kini mereka telah berganti kendaraan lain menuju Mangga Besar. Kedua gadis itu kembali berjalan beriringan menuju kediaman Nunik. Kecamatan Taman Sari.

“Wih, muke gile. Barang baru nih, Non?”

Sekonyong-konyong, lelaki kurus berkaos oblong menghampiri. Rindi sedikit was-was. Tapi perasaan itu buru-buru ditepisnya sebab Nunik mengenal orang itu.

“Aish! Minggir… Minggir... Enggak tau orang capek apa!”

Nunik menepis tangan jahil lelaki itu.

“Non! Noni!” kejar lelaki kerempeng itu.

Nunik menghentikan langkah. Matanya membelalak ke arah lelaki itu.

“Apa?!”  tanya Nunik ketus.

“Siapa?” ujung matanya mendelik ke arah gadis lain di sampingnnya.

Bibir gadis itu buru-buru mengatup. Berharap lelaki itu segera berlalu.

Kali ini Nunik tak menggubrisnya. Tak ditanggapinya bibir yang terus menyeracau. Merasa tak mendapat respon, dia pun berlalu.

Sayup-sayup terdengar dari kejauhan. “Ntar kenalin ya….”

Rindi yang berjalan tiga langkah di belakang Nunik, buru-buru menyamakan barisan. Ia belum terbiasa menghadapi orang-orang yang baru pertama kali ditemui. Terlebih berlawanan jenis kelamin. Pesan Bapak kembali hadir menjadi prisai baginya, untuk selalu waspada pada keadaan baru.

“Siapa, Nik?”

“Ah, biasa. Anak komplek sebelah. Kadang memang suka iseng. Tapi enggak apa, mereka baik kok. Cuma kadang usil saja” Nunik terkekeh.

***

Selamat pagi Jakarta.
Rindi menghirup udara pagi di kota sibuk yang tak berjeda selama dua puluh empat jam lebih setiap hari. Lelah karena perjalanan panjang yang dilaluinya kemarin, terbayar sudah dengan tidur nyenyak semalaman. Kemarin, sesampainya di kosan Nunik, mereka langsung mandi, makan dan bercengkrama sebentar. Lalu keduanya mengambil posisi senyaman mungkin di tempat tidur.

Gadis berpiyama motif bunga-bunga itu meletakkan kedua tangannya di atas balkon. Pandangannya lepas merayapi lalu-lalang orang yang melintas, juga pada setiap penjuru kota. Sesekali kepalanya terlihat manggut-manggut. Seperti menemukan sebuah jawaban dari teka-teki yang dimainkan oleh otaknya sendiri.

Tak sampai satu jam ia menikmati udara pagi Jakarta. Kembali langkahnya masuk ke ruangan seluas lima belas meter persegi itu.

Gedung yang mereka tempati ada tiga lantai. Lantai pertama ditempati oleh pemilik rumah. Sedangkan lantai ke dua dan ketiga sengaja disewakan. Di setiap lantai, terdapat empat ruangan yang kesemuanya telah terisi penuh. Di sisi gedung menempel tangga untuk akses lalu lalang para penghuni kos, sehingga tidak harus melewati bagian dalam ruangan si pemilik rumah.

Rindi tak terbiasa melihat suasana yang berantakan, terlebih itu adalah tempat tinggalnya. Kebiasaan yang terlatih saban hari membuat tangannya sigap menyelesaikan. Satu persatu barang-barang yang terlihat bertebaran disana-sini, dibereskan.

Tangannya mulai meletakkan buku-buku musik yang berserakan dan menyusunnya di bawah rak home teater. Sepasang mikrofon tanpa kabel yang satu sama lain berada berjauhan, dikumpulkan jadi satu. Kulit kacang yang keluar dari dalam asbak yang kelebihan muatan karena harus berebut tempat dengan puntung rokok. Juga botol minuman bersoda yang menjadi tempat semut berpesta pora, turut mendapat sentuhan tangan Rindi. Dalam sekejap ruangan itu pun terlihat bersih dan nyaman dipandang.

Belum selesai sampai di situ. Kakinya melangkah ke dapur mini di pojok ruangan. Hampir semua perabotan penghuni rak di samping westafel, terjun ke bawah memenuhi tugasnya masing-masing. Sisa-sisa makanan yang mulai mengeluarkan spora dan aroma tak sedap. Gelas-gelas masih meninggalkan jejak ampas kopi. Juga noda minyak yang menempel di beberapa bagian dinding keramik. Semuanya tak luput dari sentuhan tangan Rindi.

Di kamar mandi, beberapa potong pakaian tergantung di kastok belakang pintu. Rindi merendam beberapa menit, lalu mencucinya hingga bersih. Meskipun terlihat ada mesin cuci berdiri di sana, tapi ia belum mengetahui cara penggunaannya. Gadis berbulu mata lentik itu tak mau nekad dengan sok tau mempergunakannya. Terlebih benda itu baru pertama kali disentuhnya secara langsung. Ia sempat berpikir, ingin bertanya pada Nunik, namun tak tega jika harus membangunkan sahabatnya yang masih tertidur pulas.

Selesai mencuci, Rindi mengguyur tubuhnya. Mandi pagi merupakan rutinitas yang tak pernah alpa dikerjakan setiap hari. Sebab dengan mandi pagi, ia merasa tubuhnya lebih fit. Dengan begitu, gadis berpipi tirus itu lebih semangat mengerjakan suatu pekerjaan sesulit apapun.

Setelah berpakaian, aura kesegaran terpancar dari wajahnya. Ia kembali ke dapur. Membuka lemari es, roti dan slai cokelat pertama kali dilihat. Karena tak terbiasa, ia lebih tertaik mengambil dua buah telur dan mengocoknya dalam mangkuk. Lalu menggorengnya.
Sarapan sederhana telah tersaji. Ia kembali ke depan. Mengeluarkan barang bawaan yang masih berada di kardus. Satu persatu diturunkan dan disusun dalam kulkas. Dari dalam tas punggung yang kemarin setia bertengger di pundak, dikeluarkan juga beberapa potong pakaian dan ditata dalam bilik lemari yang masih kosong.

Pukul 10:15 WIB. Nunik baru saja bangun dari tidurnya. Gadis itu menyulut sebatang rokok dan melangkah ke kamar mandi. Kedua matanya berbinar, melihat ruangan tempat tinggalnya kini berubah mengkilap dan tertata rapi.

“Wih, jadi males kerja kalo liat begini mah. Pengin di rumah terus.” kalimat Nunik sambil mengerlingkan matanya ke arah Rindi.

Rindi pun terkekeh, menyembunyikan rasa malu.

***

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang