"Aku mau cari headset."
"Sekarang?"
"Nanti," jawabku, "nunggu barongsai bisa berenang."
Zafran yang sudah mengerti segala bentuk sarkasku segera mematikan laptopnya. Kala itu suasana galeri masih ramai. Tengah hari, tapi langitnya gelap seperti sudah jam lima. Banyak yang enggan pulang karena tak mau terpaksa berteduh di jalan.
Berbeda dengan Zafran, ia malah akan memanfaatkan alibi mengantarkanku dari Dharmahusada ke Margorejo, berkendara tanpa jas hujan, dengan kecepatan paling minim, supaya mungkin, mungkin saja--- bisa bertemu lagi dengan rintik genit yang ia rindukan.
"Cepat," dorongku. "Keburu hujan."
"Ini sudah cepat-cepat!" Zafran bilang, sambil bergerak seperti iguana. Sempat-sempatnya memakai dan melepas lagi helmnya dengan alasan menyembunyikan poninya. (Poninya sering melorot dan ia akan terus membenarkannya. Akibatnya, pernah suatu saat motornya oleng, dan ia menabrak odong-odong. Aku kaget sekali ketika ia bilang, ia diminta ganti rugi karena merusak pesawat terbang. Zafran sialan.)
Dalam perjalanan pun ia dengan santai mengajakku ngobrol, tentang laju politik dan mobil-mobil paling mahal di dunia. Aku tak tertarik oleh satupun pembahasan itu, jadi aku pura-pura mengerti dan melihat-lihat jalan saja.
Ketika berhenti di lampu merah, seperti biasa, sebagai penumpang motor sejati, aku menoleh kanan-kiri jika saja ada mobil yang memakai kaca film tebal. Dan ya, tebakanmu benar--- untuk bercermin, selama 2 detik saja, karena kalau lebih dari itu, orang yang di dalam pasti akan illfeel terhadap betapa noraknya diriku.
Baru satu setengah detik aku melihat bayangan diriku di jendela mobil, rintik genit yang sering dibicarakan Zafran itu tiba-tiba muncul, untuk merebut Zafran dariku!
Pertama turun tiga tetes, kemudian tiga belas, kemudian tiga puluh tetes air hujan, beberapa hinggap di kaca mobil dan beberapa terperosot dan jatuh ke aspal. Aku panik dan kesal--- panik karena baju putih yang basah rawan terawang, dan kesal karena pasti hujan ini ulah Zafran.
"Jahat!" keluhku padanya. (Zafran memang bisa bicara pada semesta. Doa-doanya tentang cuaca 90% dikabulkan. Makanya kalau dia gagal menjadi fotografer handal, aku bilang sebaiknya dia jadi pawang hujan saja.)
Zafran tertawa keras sebelum aku melanjutkan, "bajuku akan menerawang dan aku akan menjadi tontonan publik, bodoh!"
Ia langsung diam.
Dan untuk pertama kalinya seumur aku kenal Zafran, ia melepas jaketnya dan menyuruhku memakainya. Aku pertama menolak, (bukan karena sungkan tapi aku tak mau mencium parfum perempuan-perempuan Zafran di jaketnya), tapi kemudian aku pakai juga, dan ternyata malah parfum Zafran yang semerbak melapisi kulitku.
Zafran memanfaatkan kesaktiannya lagi untuk menyalakan lampu hijau di setiap perempatan yang kita lewati. (Zafran sering bilang tentang kesaktiannya, tapi baru Oktober itu aku percaya.) Dan aku takut sebenarnya, karena Zafran bilang kalau hidup itu selalu imbang, dan dalam perjalanan singkat itu aku membayangkan kesialan apa yang sebentar lagi akan ia hadapi.
Tak lama kemudian, kita sampai di Plasa Marina. Di Manyar tadi Zafran bilang, kenapa tidak beli headset di sini saja, kan sepanjang Manyar banyak toko aksesoris HP, tapi aku jawab tidak apa-apa. (Padahal aku cuma ingin makan es krim bersama Zafran, wong aku beli headset sendiri juga tak masalah.)
Sebenarnya ada alasan lain sih. Aku tidak suka pergi ke sini sendirian. Kalau kalian bukan orang Surabaya, aku kasih tahu, Plasa Marina adalah kebun binatang berbentuk mall. Ramai sekali! Terutama di lantai 2. Memang tidak ada binatang, tapi lebih parah, ada banyak manusia!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...