Aku menunggu Zafran lama sekali--- sampai sudah menelanjangi satu baris rak sepatu.
Kalau kau cek satu persatu, banyak sepatu ukuran 36 yang memiliki sidik jari kakiku. Dari heels sampai boots. Dan di kanan saja! Yang kiri tidak aku coba.
Oke, baiklah, aku tahu kau tak cukup gila untuk melakukan itu, (mengintip ke sepatu satu persatu), tapi percayalah, Zafran sangat mungkin untuk bertindak seaneh itu.
"Boleh aku bawa?" tanya Zafran, sepuluh bulan yang lalu, ketika kita sedang makan di kedai mie dekat rumahku.
Aku berhenti mengunyah, mengangkat pandanganku dari kwetiaw goreng ke mata Zafran yang kelaparan. Aku ingat sekali.
"Apanya?"
"Itu," Zafran menunjuk ke sumpit yang kupegang. Aku mengangkatnya, untuk memastikan, dan Zafran mengangguk dan aku reflek mengerutkan alis agar dia tahu bahwa permintaannya aneh sekali.
"Ini kan habis aku pake!"
"Ya, justru itu!"
"Ih, ya jorok lah!" ujarku. "Lagian buat apa, sih?"
"Mau aku simpan," akunya. Zafran berhenti menatapku di detik ini, kemudian fokus menjepit pangsitnya. Aku diam saja. Aku diam, mengamati bulu mata Zafran yang lebih lentik dari bulu mataku sendiri, sampai akhirnya dia bersuara.
"Ada sidik jarimu di situ. Jejak-jejakmu lah yang ingin aku simpan."
Deg.
Dan sekali lagi, untuk yang kesekian kalinya, Zafran membuatku diam mematung karena kalimat yang diutarakannya.
Pada akhirnya yang disimpan oleh Zafran adalah kertas pembungkus sumpit, (entah masih disimpan atau tidak), dan sebagai gantinya, aku menyimpan bungkus rokok premiumnya.
Saat itu, aku menganggap hal itu manis dan lucu, sampai bungkus rokok Zafran ikut berbaring di kasurku selama beberapa malam. Aku sampai hampir dihukum karena ibuku mengira aku merokok. Ketika menjelaskan situasi sebenarnya, aku malu sekali, karena untuk pertama kalinya, aku harus menyebut nama Zafran di rumahku.
Tentu saja semenjak itu ibuku bertanya-tanya terus soal Zafran. Tapi, cerita itu ditunda dulu, karena aku sedang ingin fokus pada sepatu.
Aku hanya punya 3 sepatu untuk dipakai saat kuliah. Salah satunya berbentuk selop, seperti fantofel hitam yang kalian pakai saat SMA, dan sebenarnya sangat rapuh terhadap air. Aku tak pernah memakai sepatu ini ketika hujan-hujanan dengan Zafran. Dan kalau dipikir-pikir lagi, aku memang tidak tahu, kapan akan hujan dan kapan tidak.
Jadi di TP 1 lantai LG, di sebuah toko sepatu oranye, aku duduk di kursi milik lorong ukuran enam setengah, dan mengayun-ayunkan kakiku sambil berharap kaus kakiku bisa kering. Aku lemas setelah mengetahui harga kaus kaki di sini mahal sekali.
Aku mengirim foto kakiku ke Zafran, sekedar menginformasikan bahwa sepatuku basah tapi pipiku tidak. Dan aku tidak kecewa bahwa dia datang terlambat, karena aku paham situasinya. (Hanya sedikit sebal saja tapi itu tidak menghilangkan rinduku pada Zafran.)
Tapi Zafran benar-benar membutuhkan waktu yang lama sekali untuk sampai ke sini, dan akhirnya sebalku menjadi banyak.
Sebal karena kakiku gatal-gatal, sebal karena sepatuku rusak, sebal karena Zafran tak mengabari apa-apa, dan sebal karena daritadi sendirian dan malu dilihat orang-orang. Aku sampai bercermin dan diyakinkan bahwa: iya, aku mirip gembel. Basah dan berantakan.
Dan ketika Zafran datang, aku sudah tak mampu mengucapkan apa-apa, dan dia pun hanya diam saja ketika duduk di sebelahku.
Mungkin aku memancarkan energi negatif, mungkin juga Zafran benci diriku yang sedang cemberut, pokoknya ketika itu ia tak menatap mataku sama sekali. (Aku baru tahu baru-baru ini, bahwa ia akan memalingkan wajah kalau merasa bersalah.)
Zafran memungut kotak sepatu yang aku letakkan di samping kakiku. Ia mengambilnya untuk dilihat, kemudian dia bilang, "warnanya bagus."
Tapi aku tidak menjawab.
Aku tidak menjawab karena sepatu itu warna putih dan menurutku komentar Zafran itu dangkal sekali karena warna putih itu ya memang begitu. Aku tidak menjawab karena basa-basinya jelek. Dan aku masih menunggu kata maaf.
"Kamu paling suka yang ini ya, dibanding yang lain?" tanya Zafran.
"Biasa aja, sih."
"Trus kenapa yang ini yang kamu pilih?"
"Aku nggak punya sepatu putih."
Percakapan kita berlangsung tanpa emosi dan tanpa intonasi. Aku merasa bahwa wanita pengisi suara di google lebih ekspresif dariku saat itu.
"Mau beli yang ini?"
"Mungkin," jawabku.
"Ya sudah, ayo cari ukurannya."
Detik itu juga, aku langsung menatap mata Zafran tajam, dengan alis yang berkerut karena aku bingung dan kaget dengan apa yang diucapkannya. Zafran yang ditatap seperti itu, lebih kaget lagi.
"Kenapa?" tanyanya canggung.
"Sepatu ini sudah aku coba empat kali," jelasku, dingin. "Menurutmu ini ukuranku atau bukan?"
Ekspresi Zafran berubah saat mengetahui bahwa aku juga bisa sinis seperti tadi. Seketika, aku merasa sangat bersalah karena mungkin sedikit menyakiti hatinya dan ingin menarik kembali ucapanku.
"Maaf kamu jadi nunggu lama," katanya tiba-tiba, sontak membuatku terdiam. Zafran memanggil salah satu pegawai dan bilang ia ingin membeli sepatu putih tadi. Kemudian ia bertanya untuk memastikan bahwa aku memang ingin sepatu itu, jadi aku mengangguk.
Karena aku harus memakai sepatu terlebih dahulu, Zafran mencuri start, dan lebih dulu sampai di kasir. Saat itu aku tidak terpikirkan apa-apa. Aku tidak tahu tentang niat Zafran.
Kau mungkin sudah bisa menebak bahwa Zafran akhirnya membelikanku sepatu. Kau mungkin juga menebak bahwa ketika aku sampai di kasir, segalanya sudah siap untukku dan aku tinggal memakai sepatunya saja.
Aku duduk di kursi, dengan canggung karena terus dilihat oleh Zafran dan dua pegawai toko sepatu, melepas sepatu rusakku dan memasukkannya ke kotak sepatu. Aku memang memasang sepatuku sendiri, tapi aku merasa seperti Cinderella. Dan aku tidak suka menjadi putri. Aku tidak suka dilayani seperti wanita, atau dilayani seolah aku milik seseorang.
Aku marah pada Zafran. Aku marah, karena aku tidak membawa uang tunai yang cukup untuk menebus sepatuku. Aku marah, karena ia tahu tempat semua ATM di TP, dan ia tidak membiarkanku untuk dekat dengan tempat-tempat itu.
Aku marah karena salah tingkahku terlihat jelas sekali, dan sepertinya Zafran menyadarinya.
"Aku masih nggak nyaman sama sepatu ini," akuku, ketika Zafran mengantri untuk membeli bubble tea.
"Lah, kenapa?" ujar Zafran panik. "Ukurannya salah?"
Aku tertawa kecil. "Bukan, bukan! Nggak tahu, kayak eman aja. Nanti pulangnya kan jadi kotor, karena jalanan banjir."
"Ya memang banjir, sih," Zafran bilang, kemudian memilih bubble tea rasa taro. "Tapi sepatumu nggak akan kotor, kok."
"Hah? Kok bisa?"
"Karena nanti kita pulang naik mobil," katanya, membuatku bisu. Sekarang, masuk akal kenapa dia telat. Masuk akal, karena jarak dari kampus ke rumahnya saja cukup jauh. Apalagi dari rumahnya ke TP, naik mobil, di jam yang padat.
"Makasih, Mbak," Zafran mengambil bubble tea-nya dari tangan si penjual. Aku heran, sejak kapan Zafran suka bubble tea dan siapa mengenalkannya ke gaya hidup yang ini.
"Mau nonton Marlina?" tanyanya, menoleh ke XXI.
"Ih, kan belum keluar," aku menyenggol bahunya.
Zafran tertawa kecil dan bilang, "oh iya, sih! Hahahah, padahal mau aku traktir premiere."
Itulah hari pertama munculnya Zafran yang sok kaya--- membelikan sepatu, naik mobil, minum bubble tea, dan (hampir) saja mentraktirku nonton premiere.
Surabaya, 10/3/18
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...