Ada sebuah siang yang sial, saat aku ditabrak Mas-Mas di pintu masuk kantin fakultas tetangga. Namaku dipanggil seseorang entah dimana, dan saat aku berhenti untuk menoleh, tiba-tiba saja aku ditubruk!
Aku menghantam tubuh lelaki itu sampai batang hidungku sakit terbentur kacamata. Hanya butuh sedetik untuk langsung melangkah mundur, tapi butuh empat detik untuk menunduk dan sadar--- bahwa kemeja putih favoritku telah dinodai saus pentol milik dia!
"Woy!" bentaknya. Aku tersentak dan reflek mendongak--- menatap lurus ke mata Mas-Mas itu. Badannya besar seperti lemari, dengan tinggi setidaknya dua puluh senti dari kepalaku.
"Jalan tuh pake mata!" serunya sambil mengumpat sampai air liurnya muncrat semua. Aku kesal--- ini orang sudah brengsek, jorok pula. Aku bersumpah kalau aku tahu nama orang ini, akan aku teror sampai dia beranak tujuh.
Tapi saat aku baru saja akan membela diri, dia--- Mas-Mas hoodie abu-abu itu--- dengan kurang ajarnya berjalan keluar lorong kantin dan meninggalkanku dengan sepuluh pasang mata memandang. Ah! Orang itu--- benar-benar ya--- awas kalau wajahnya tertangkap mataku lagi!
Sepanjang langkahku menuju ke tengah kantin, nafasku terus-terusan menderu. Aku benci menjadi sorotan publik di keadaan tidak enak begini. Ditambah lagi, Mas-Mas yang merusak bajuku itu tidak minta maaf. Aku juga kesal pada orang yang berteriak memanggilku tadi.
Aku kesal pada Zafran!
"Ini semua gara-gara kamu!" tunjukku, begitu batang hidungnya muncul di hadapanku.
"Apa..."
"Lihat!" aku menarik kain bajuku, menunjukkan noda saus (yang terdiri atas 20% tomat dan 80% pewarna). Nodanya cukup besar dan warnanya keterlaluan.
Zafran terbelalak tapi tak mengatakan apa-apa. Ketika aku menuntutnya untuk meminta maaf, ia malah tanya, "kamu yang numpahin, aku yang salah?"
Aku mendengar teman-teman Zafran menertawakanku, dan aku takut wajahku akan memerah sampai senada dengan saus di bajuku.
"IIIHH!" keluhku, sedikit manja. "Bukan aku yang numpahin! Ini ada cowok makan pentol, terus nabrak aku! Udah gitu dia ga minta maaf trus malah marahin aku, dan pergi gitu aja, AKU SEBEL!"
Ketika itu mataku sudah berkaca-kaca karena terlalu marah tapi tak bisa apa-apa. Kalian pasti paham perasaanku. Banyak perempuan menangis ketika kesal, karena mereka tahu membunuh orang itu ilegal.
Aku mengambil tisu basah yang Zafran berikan, membersihkan noda di tulang selangkaku, dan berkata dengan lemas, "sekarang kemeja putihku kotor..."
Zafran membeli tisu di kantin untukku, kemudian ia hanya berdiri dan memperhatikan. Selama beberapa detik, yang ada hanya suara sendok-garpu bertubrukan, tatapan tajam Zafran, dan noda saus yang tidak hilang.
"Untuuung aja kotornya di situ," dagu Zafran menunjuk ke bajuku. "Turun dikit--- pasti aku cari, deh, orang itu. Aku tonjok."
.
Singkat cerita, hariku berjalan buruk meskipun Zafran selalu ada di sampingku. Ia duduk di sebelahku saat kelas jurnalistik, tapi yang aku ingat adalah bahwa ia tidak terlalu paham tentang jurnalistik dan sedang memanfaatkanku untuk mengajarinya.
Zafran membelikan aku terang bulan mini rasa coklat-kacang, tapi yang aku ingat adalah bahwa aku membenci kacang dan aku membenci Zafran.
Zafran menawarkanku untuk pulang bersamanya selepas kuliah, tapi yang aku ingat adalah bahwa langit sedang mendung dan si orang egois ini pasti hanya mencari teman untuk hujan-hujanan.
Aku pulang sendirian, dengan kesal yang tidak hilang-hilang seperti saus tomat artifisial yang terpampang di kemeja putih tulangku.
Sampai di rumah, yang aku ingat hanyalah bahwa aku tidak punya kemeja putih lagi dan aku harus menyisihkan uang untuk itu. Aku tak tega melihat dompetku kurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Teen FictionApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...