Dalam perjalanan ke warung nasi padang dekat kampus, aku menoleh ke belakang--- mencari motor Zafran, hanya untuk memastikan pengendaranya baik-baik saja.
Oke. Ban motor Zafran baik-baik saja. Pengendaranya baik-baik saja. Dan si perempuan penumpang--- yang duduk manis di belakangnya sambil memukul bahu Zafran dengan manja--- juga baik-baik saja.
Yang tidak baik-baik saja adalah Anya Junor dan kecemburuannya yang mulai memakan energi.
"Agak ngebut, dong," pintaku ke pria yang memboncengku--- seorang teman yang tak bisa menggantikan Zafran.
Ia mengabulkan permintaanku dan lama-lama angin yang bertiup tak lagi mengandung parfum Zafran, dan lama-lama yang menerpa wajahku malah kecemburuan, dan lama-lama aku sampai juga di warung nasi padang, tapi masih saja aku tolah-toleh untuk mencari Zafran.
Aku ingin menjadi bodo amat dan membiarkan Zafran disentuh oleh siapapun jerapah betina di dunia ini. Sungguh! Aku ingin tak peduli, dan siang itu, aku ingin makan di tempat lain karena di warung itu aku tak dapat makan apapun selain nasi putih.
"Kamu ga pesen, Nor?" temanku tanya. Aku menggeleng, menjawab aku tak suka masakan padang.
"Terus ngapain kamu ikut kesini?" ia bertanya padaku lagi dan aku juga bertanya pada diriku sendiri. (Kenapa tadi tidak minta diturunkan di jalan saja, tolol! kataku pada Anya Junor.)
Kalau aku tahu Zafran datang kesini bersama benalu itu, aku tak akan mau ikut. Aku punya banyak teman di kampus. Lumayan banyak. Oke, cuma beberapa. (Oke, mungkin cuma Zafran.)
Tapi intinya, aku tak mau menyaingi matahari--- karena sumpah demi setan--- hatiku panas sekali! Zafran sialan!
Aku duduk diam saja memperhatikan temanku makan. Tak lama kemudian, datanglah Zafran. Di belakangnya, tidak lain lagi adalah seekor perempuan. Mereka sedang sibuk memesan, sementara aku sedang sibuk menahan masam.
Mereka duduk di hadapanku, bersebelahan, dan aku menatap sinis siku genit si perempuan--- siku kanan--- yang melucuti siku kiri Zafran dengan penuh hasrat.
Aku ingin menggebrak meja saat itu juga dan mencuci siku Zafran dengan air wudhu, tapi kalau aku lakukan itu, teman-temanku akan malu, dan mungkin mereka tak mau lagi makan denganku. Dan aku tak mau makan hanya sendirian. Aku mau makan dengan Zafran.
Aku bertanya-tanya, kira-kira butuh berapa ratus butir nasi agar mulut si perempuan penggoda ini penuh, sehingga dia tak lagi bisa mengajak Zafran ngobrol dan membuatnya tidak fokus. Bicara sambil makan itu tidak sopan--- harusnya ia cukup teredukasi untuk tahu akan norma itu.
Lagipula, ia cuma basa-basi dan topik-topiknya tidak unik. Aku gemas melihat lirikan matanya yang genit dan sok cantik. Aku yakin pasti Zafran rindu padaku yang kalau bercerita tidak sok asik.
Zafran selalu punya porsi dalam setiap ceritaku. Kalau aku cerita tentang keluargaku, maka aku akan bertanya tentang saudara-saudaranya. Kalau aku membahas cita-citaku, aku akan bertanya Zafran ingin kerja dimana. Tapi kalau aku berimajinasi tentang masa depanku, aku hanya bisa bertanya-tanya, maukah Zafran menjadi bagian di dalamnya.
Aku masih belum tahu, siapakah aku bagi Zafran di usia 30. Aku tak tahu apakah kelincinya, Fanta, masih akan hidup hingga kita berusia segitu. Aku tak tahu apakah selera interior rumah Zafran akan sama denganku. Aku tak tahu dengan nama apa Zafran memanggilku nanti, sekitar usia 30.
Aku belum tahu, apakah Zafran masih akan bertanya padaku kalau ia bimbang antara mau cukur atau tidak. Aku belum tahu, apakah Zafran masih akan sewot jika aku seharian hanya makan sepotong roti saja. Aku tak punya petunjuk tentang siapakah itu yang akan ia khawatirkan, 12 tahun ke depan.
Nasi di piring Zafran sudah mau habis. Ia kepedesan, dan meminum es tehnya.
Yang aku tahu, siang itu, adalah bahwa Zafran lupa air dingin tidak menghilangkan rasa pedas di mulut.
Ketika aku membuka tasku untuk mengambil botol minum, Zafran seperti sudah tahu bahwa lagi-lagi penyelamatnya adalah aku--- dan dia mengulurkan tangan untuk menerima botol minumku tanpa sepatah kata pun. Aku pun sama-sama bisu. Semua yang ada di meja itu diam memperhatikan Zafran minum.
"Makasih," Zafran menyeka air di ujung bibirnya.
"Santai aja."
Zafran tersenyum, dan aku bertanya-tanya siapakah wanita yang akan mengingatkan padanya perbedaan antara air dingin dan air biasa. Aku ingin orang itu adalah aku, tapi aku masih tak tahu siapa orang yang Zafran impikan.
Maksudku, aku memang biasa-biasa saja. Tapi keputusan biasa-biasa saja dalam hidup Zafran itu banyak sekali!
Nanti Zafran harus memutuskan akan menyimpan gunting kuku di laci yang mana. Nanti Zafran harus memutuskan untuk meletakkan perangkap tikus di sudut rumah yang mana. Nanti Zafran harus memutuskan untuk membeli daging ayam di supermarket yang mana, (karna sungguh, harga setiap tempat itu beda.)
Dan Zafran pun juga butuh teman untuk menjalani hari yang biasa-biasa saja.
Mungkin ia butuh perempuan yang rajin menyiram rumput di halamannya yang biasa-biasa saja. Mungkin ia butuh perempuan yang mau menandai tanggal penting di kalender dinding--- agar ia ingat bahwa satu tahunnya tidak harus biasa-biasa saja. Mungkin ia butuh perempuan yang skill memasaknya biasa saja namun suka mencoba resep baru yang tidak biasa-biasa saja.
Dan aku bisa menjadi perempuan itu! Aku mungkin perempuan biasa-biasa saja yang cemburu pada perempuan luar biasa. Tapi kali ini--- sumpah demi Tuhan--- aku rela membayar apa saja untuk menjadi rumah biasa yang mengalahkan puluhan taman wisata di luar sana.
Zafran memanggil namaku. Aku tersadar dari lamunan dan berujar, "iya?"
"Ayo," ajaknya. "Kamu mau makan dimana?"
"Alah, gampang."
"Jangan gitu. Kamu lho belom makan."
"Yaudah, nanti aku beli batagor."
"Dimana?"
"Tuh," aku menunjuk ke gerobak batagor di luar warung.
"Yaudah cepetan beli, sana," suruhnya. "Gak pake lama!"
Aku beranjak keluar bersama dompetku, tersenyum dalam hati, dan bertanya kira-kira berapa lama lagi perhatian itu akan bertahan di hari-hariku.
Kalau Zafran tidak keberatan, aku ingin dijadikan pilihan. Aku ingin dipertimbangkan.
Aku ingin dipikirkan ketika Zafran mendengar kata: masa depan.
Surabaya, 31/05/18
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Dan Zafran
Roman pour AdolescentsApa saja yang dapat mengingatkanmu tentang seseorang? Rintik hujan? Bahu jalan? Gerhana bulan? Headset baru? Sepasang sepatu? Noda saus pada baju? Mari aku ceritakan tentang Zafran yang jejaknya berkeliaran di Surabaya... Mungkin juga memberi sediki...