Episode - 16: Batu Palamea (2)

181 30 111
                                    


"Gimana, Nis, kamu suka sama makanannya?"

Wanita manis berpotongan rambut bob dan mengenakan long dress floral favoritnya menoleh sekilas. Makanannya memang enak, karena Boncafe selalu terkenal dengan steaknya yang dahsyat. Ia terdiam, dan tersenyum simpul.

"Ya iya dong enak, namanya juga Boncafe." Suara berat khas Bapak-bapak yang mewakili si wanita itu.

Annisa—demikian nama wanita itu—mendesah. Ingin rasanya dia berteriak kesal pada orang di depannya tersebut. Tapi dia tidak bisa karena dia tidak enak, takutnya dikira tidak menghargai. Akhirnya Ia kembali fokus memotong tenderloin steaknya.

Nisa sendiri berusaha tersenyum dan sesekali menanggapi pembicaraan lelaki di sebelahnya. Menurutnya, Dokter Benny ramah sekali, bahkan kepada orang tuanya yang aneh ini. Entah dia bermaksud sopan atau memang  bersikap demikian.

"Nisa nggak bandel, kan, kalau di rumah sakit?" tanya Papanya pada Benny.

"Emang Papa kira Nisa anak kecil gitu." Nisa menjawab terlebih dahulu, terdengar menahan kesalnya. Rasa kesalnya berakibat pada daging steaknya susah dipotong. Nisa menggesek pisaunya lagi, tapi tetap saja si daging tidak mau terbelah.

Benny melirik Nisa yang kesulitan memotong daging steak. "Sini, Dek. Kakak bantuin." Belum tangan lelaki itu menyentuh, Nisa sudah menepis tangan Benny.

"Aku bisa sendiri, Kak."

Ucapan Nisa yang terdengar kasar membuat Benny tertegun. Nisa berharap orang tersebut jadi marah. Kenyataannya berbalik, Benny malah memaklumi. Tapi tidak dengan orang tuanya yang telanjur kesal bercampur tidak enak. "Nis, jangan begitu sama tamu. Nggak sopan," perintah Papanya. Tenang tetapi menusuk.

"Nggak apa-apa, Om. Mungkin Nisa lagi nggak mood."

Nisa tertohok, gagal lagi deh. Wanita itu meyakinkan diri untuk terus bersabar, dan tetap tenang.

"Maaf," lirih Nisa.

Wanita itu mempersilahkan Benny untuk membantu memotongkan steaknya. Nisa memperhatikannya tanpa kedip, kalau dari dekat, Dokter Benny memang tidak terlalu jelek, cenderung manis. Dia memperlakukan steak tersebut seperti lagi operasi, potong dengan lembut, tapi berhasil. Jantung Nisa tiba-tiba berdebar, ditambah seluruh tubuhnya yang gemetaran. Nisa menenangkan dirinya berkali-kali.

Ia terus memperhatikan sampai tak sadar Benny sudah selesai memotong steaknya beberapa detik yang lalu. "Ada apa, Dek, sama wajah aku?" tanyanya bingung.

"Oh, maaf, Kak. Eh itu ....," Nisa mengalihkan wajah ke samping, menutupi mukanya yang sepertinya memerah. Dia bingung berkata apa

Papa yang sebenarnya asyik makan, sejujurnya sesekali melirik interaksi Nisa dan Benny di hadapannya. Nisa memang anak kesayangannya sekali.

"Lho, Kak. Kenapa Kakak malah potongin semua sisa steak Nisa?" Wanita itu terkejut saat melihat steaknya yang telah dipotong.

Benny meneguk es jeruknya. "Biar Dek Nisa bisa gampang makannya."

Nisa baru kali ini benar-benar merasa diperhatikan dari lawan jenis, Benny memang pria gentle. Ia tak kuasa menahan senyum, dan menghabiskan sisa makannya. Sedangkan Benny merasa bahwa langkahnya membawa kemajuan, Nisa memang benar-benar kooperatif dan professional.

Pembicaraan kembali mengalir, membuat Nisa terbuai dalam kenikmatan. Sampai kesadarannya kembali penuh ketika Benny melontarkan suatu pertanyaan, "Dek Nisa, apa ada rencana mau ambil sekolah spesialis?"

Nisa berhenti menusuk daging terakhirnya, seluruh tubuhnya menegang. Spesialis? Dia saja baru merasakan bekerja jadi dokter umum. Memang sih, dia ada rencana, tetapi nggak sekarang. Tubuhnya kaku ketika yang menjawab bukan dirinya, melainkan Papa.

Sentralisasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang