Alina Maudia Nafillah
"Kamu hari ini biar kakung yang mengantar ya Lin," pinta Kakung kepadaku.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban untuk Pria yang kini duduk di kursi utama meja makan. Tak pernah dan akan bisa membantah, terlebih bila mengingat raut khawatirnya semalam yang kulihat saat baru sampai di rumah. Sangat-sangat menyesal untuk semalam, membiarkan Kakung dan Simbah menunggu di teras dengan gelisah, Kakung bahkan bersusah payah mengerahkan beberapa pekerjanya untuk mencariku.
Semalam saat aku, ditemani mas Mahesa baru saja sampai Simbah geges menghampiriku, memelukku begitu erat. Dapat kudengar dia merepal ucapan syukurnya pelan, bahwa aku cucunya bisa pulang dengan selamat.
Setelah pelukkan itu urai, hendak kujelaskan apa yang telah terjadi, namun lebih dulu Kakung memotong, menyuruh ku untuk segera masuk ke rumah, tak menerima penjelasan apapun yang hendak kuberi. Dia mengucapkan kalimat perintah itu dengan lembut, namun karena kelembutannya aku tak kuasa menolak. Dengan berat hati menurut, meninggalkan Kakung bersama mas Mahesa di Teras. Hanya bisa menatap sekilas pada Pria itu namun tak mendapat balasan sebab lagi-lagi Kakung lebih cepat, menyerap seluruh perhatiannya, berbicara mempersilahkan mas Mahesa untuk duduk.
Aku melangkah berat masuk kedalam rumah, mengikuti tarikan tangan Simbah. Perasaanku sangat takut, mau tidur pun kuyakin tak akan bisa dengan nyenyak kalau-kalau mas Mahesa mendapat kemarahan dari Kakung bagaimana ? Menyimak obrolan mereka di teras dari ruang tamu pun tak ada gunanya, tak akan terdengar ditambah suara Simbah yang duduk disampingku sambil memberi tahu Bunda (-Ayah yang tengah ada perjalanan dinas) bahwa aku telah pulang lewat panggilan telfon.
Tubuhku lelah tapi lebih besar rasa penasaran tentang apa yang dua Pria beda usia itu bicarakan di teras. Tubuhku lelah tapi tak henti-hentinya Saudari-saudariku yang kebetulan tengah ada di rumah Bunda terus mengoceh tentang siapa Pria yang mengantarkanku bukannya bertanya tentang bagaimana keadaanku. Ditambah Bunda dan Simbah yang terus menasehati agar tak begitu lagi lewat telfon. Sebenarnya aku pun juga tak ingin begini, ini semua murni tanpa kesengajaan.
Tapi pada akhirnya dapat kudengar suara mobil keluar dari pelataran rumah Kakung, disusul Kakung dengan peci yang selalu ada itu masuk dengan wajah penuh senyum menenangkan, memerintah untuk segera tidur. Setidaknya sedikit nafas bisa kuhela pelan, berdoa semoga masih ada sisa sesi pertemuanku dengan mas Mahesa yang Allah takdirkan. Setidaknya satu kali untuk memberikan rasa terimakasih yang belum sempat aku ucapkan kepadanya.
"Kakung, Simbah maafin aku..." Ucapku pelan seraya menunduk.
Itu adalah kalimat pertama yang bisa kuucapkan sejak semalam. Setelah ketakutan tentang banyak hal terus singgah tak mau hilang. mengucapkannya saat semua nasi di piringnya telah tandas. Kala Kakungnya dengan tenang menyeruput teh hangat, dan Simbahnya mengupas buah untuk pencuci mulut.
Dapat kudengar suara helaan nafas pelan dari Pria itu. Semakin membuatnya merasa bersalah.
"Sudah tidak apa-apa, tapi lain kali kamu jangan ceroboh lagi. Kakung sudah dengar semuanya dari nak Mahesa, kamu beruntung bertemu laki-laki baik seperti dia, Nduk."
Aku terkejut, respon Kakung diluar dugaanku. Pria itu menatapku sembari tersenyum simpul, sementara aku melotot terkejut. Benarkah? Seingatku Kakung tidak begini.
Tragedi terakhir yang bisa kuceritakan adalah saat mbak Airin tengah KKN Di Tegal dan tinggal disini. Pernah suatu hari Kakakku itu pulang diantarkan seorang Pria, entah bagaimana Kakung menyidangnya habis-habisan saat tahu bahwa Pria itu adalah pacar mbak Airin. Ayah yang tengah duduk sepulang bekerja langsung ditelfon, volume suara itu dikeraskan hingga aku, mbak Dila, Viona yang tengah menunton kartun di depan Ayah dan Bunda bisa mendengarnya, bagaimana Kakung memarahi Pria itu. Hingga aku kini dan semalam dibuat tak percaya saat mendengar raut tenang dari Kakung. Kukira dia juga berhenti berbicara kepadaku seperti mbak Airin dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
RomanceSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...