Basah

7.5K 169 4
                                    

Azmi harus keluar, menjauh dari perempuan yang terlalu pintar bersandiwara itu. Ia benar-benar pandai menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Azmi harus mengakui kemampuan aktingnya yang luar biasa. Bagaimana bisa dia bertahan setelah menghadapi serangan seperti itu? Bagaimana ia bisa berpura-pura seperti gadis polos yang belum pernah disentuh siapapun? 

Bahkan dirinya sendiri hampir saja tak mampu menahan diri. Azmi harus keluar dan mandi air dingin untuk menghentikan hawa panas yang memenuhi seluruh tubuhnya. Dari ujung kepala hingga ujung kakinya, semuanya berdenyut mendambakan pemuasan. 

Tapi ia tak bisa. Ia tak boleh membiarkan perempuan itu menguasai dirinya. Ia tak boleh membuat dirinya melakukan perbuatan rendah itu. Tidak. Justru Azmi yang akan membuat gadis itu memohon padanya. Nanti saat perempuan itu bersedia membuka jati dirinya yang sebenarnya dan menuruti semua kemauan Azmi. 

Setelah mandi dan memeriksa beberapa dokumen, Azmi baru teringat sesuatu. Gadis itu belum makan apapun sejak ia tiba. Ia bahkan belum membersihkan diri. 

Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal penting itu? Dia harus hidup jika aku ingin ia dan keluarganya merasakan apa yang kurasakan.

Azmi bangkit dari kursinya, keluar dari ruang kerja menuju kamar tidur tempat ia mengurung Tiana. 

Untuk sesaat ia baru ingat kalau ia sengaja mematikan lampu kamar itu. Ia tak suka melihat wajah gadis itu. Ia juga kuatir orang akan bertanya-tanya ketika melihat lampu kamar yang biasanya padam itu tiba-tiba menyala. Rumah ini mungkin saja jauh dari jalan besar, sepi dan jarang dilewati orang. Tapi Azmi tak ingin mengambil resiko.

Begitu masuk, kegelapan menyerbu. Dengan tetap tenang, Azmi menekan saklar. Matanya mengerjap melihat sesosok tubuh polos tanpa penutup apapun terbaring diam di atas lantai. Hanya ada gulungan kaos di antara wajah dan lehernya serta sobekan rok tersebar di antara kakinya. Tenggorokan Azmi kembali tercekat melihat tubuh mulus itu, lalu membuang wajahnya. Ia tak boleh terpancing. Tidak untuk malam ini. 

Tapi, tubuh itu tak bergerak sama sekali. Azmi buru-buru mendekatinya. Memeriksa. Mungkinkah gadis itu mati? Ia tak melakukan apapun. Ia hanya menampar gadis itu dua kali. Itu juga tak terlalu keras. Apakah karena itu?

"Hei! Hei! Bangunlah!" Tangan Azmi menepuk pipi gadis itu dua kali. Ia masih diam.

Telapak tangan Azmi bisa merasakan pipinya yang dingin. Lalu ia juga menyentuh bahu dan tangan gadis itu. Semua terasa dingin. Selain wajah pucat, ia hanya melihat jejak-jejak darah di sudut bibirnya yang membengkak. Pipinya juga masih membayang bekas telapak tangan Azmi.

Apa dia kedinginan karena terbaring di lantai dengan tubuh telanjang? Dia juga belum makan sejak tadi pagi. 

Jantung Azmi berdebar kencang. Gadis ini tak boleh mati. Tidak! Itu di luar rencananya. Azmi berdiri mengambil selimut dan membungkus gadis itu. Ia juga melepaskan ikatan di tangan gadis itu dan menggendong lalu membaringkannya di atas tempat tidur. Sekali lagi Azmi memeriksanya, menepuk membangunkan. Tapi mata Tiana masih terpejam rapat.  

Wajahnya masih terlalu dingin. Azmi berjalan bolak balik sambil mengacak rambutnya. Bingung. Tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyadarkan gadis itu. Jelas gadis itu masih hidup. Tapi ia tak bangun-bangun.

Lalu tatapan Azmi menuju pintu kamar mandi. Idenya muncul. Buru-buru ia masuk ke kamar mandi, memutar kran air dalam bathtub dan mengisi bathtub dengan air hangat. Mengisi sampai separuhnya.

Setelah itu ia kembali keluar. Dilepaskannya selimut dari tubuh gadis itu, juga sisa-sisa pakaian dan kain yang melekat di tubuhnya. Sekali lagi ia melihat tubuh polos itu terpampang di depannya.

Azmi meneguk liurnya. 

Dasar bodoh! Tubuhnya bereaksi lagi saat melihat semua itu tanpa malu-malu. Bahkan setelah berendam cukup lama di bawah shower air dingin, ia masih bisa merasakan bagian bawah tubuhnya mulai menegang kembali. 

Sial!

Cepat-cepat Azmi membopong gadis itu, membawanya ke kamar mandi dan memasukkannya dalam bathtub berisi air hangat itu. Tetap saja gadis itu tidak bergerak. Bahkan ketika kepalanya menggelosor tenggelam dalam bak, ia tak bergerak.

Azmi mulai kuatir. Tapi tepat ketika ia akan membantu mengangkat kepala gadis itu keluar dari air. Tubuh gadis bergerak kelojotan terkejut oleh air yang membasahi kepala dam memasuki hidungnya dengan cepat. Azmi kembali menegakkan tubuhnya. Memperhatikan reaksi Tiana.

Meski masih tampak sayu, mata Tiana sudah terbuka. Ia tampak kaget melihat dirinya berada dalam bak air. Juga ketika melihat Azmi berdiri di dekatnya. Ia duduk melipat lututnya, lalu memeluk kedua kakinya dengan tangannya yang telah terbebas. Duduk di sudut bak dengan wajah menunduk. Tubuhnya terlihat jelas gemetaran.

"Pura-pura pingsan, hah! Kamu pikir aku tak bisa membunuhmu?" 

Kepala gadis itu menggeleng dua kali. Tapi melihatnya seperti itu, Azmi justru semakin geram. Ia tahu gadis ini hanya berpura-pura. Berpura-pura takut, berpura-pura pingsan, berpura-pura lemah. Azmi benci melihat itu.

Tangan Azmi meraih gagang shower. Lalu diarahkannya pada Tiana. 

"Pintar betul kau bersandiwara ya. Nih sekalian! Rasakan ini!" Air dingin menyemprot keluar dan menyiram seluruh tubuh Tiana. Tangan gadis itu terangkat berusaha menangkis serangan itu. Tapi mulutnya sama sekali tidak mengeluarkan suara apapun. Ia tampak gelagapan dan kesulitan bernafas dengan normal. Tapi tetap saja tidak menjerit.

Melihat itu, Azmi justru semakin marah. Bagaimana bisa gadis ini begitu pandai berakting? Dilemparkannya gagang shower itu. Sementara gadis itu duduk menghadap dinding. Menampilkan punggung mulus tanpa cacat atau bintik luka sama sekali, kecuali bekas lebam akibat diseret dan dipukul Azmi. Yang jelas, ia pasti sedang menangis. Punggungnya bergetar.

Tidak! Ini tidak cukup!

Azmi membuka pakaiannya, melemparkan satu persatu ke sudut kamar mandi begitu saja. Lalu dengan tatapan penuh kebencian, ia ikut masuk ke dalam bak. Berdiri di tengah-tengah.  

"Ke sini! Duduk di sini!" Perintah Azmi.

Tangisan Tiana makin kencang. Badannya bergetar hebat. Tapi ia patuh menuruti perintah itu. Sangat perlahan.

"Cepat!"

Tiana bergerak lebih cepat. Setelah ia duduk tepat di bawah Azmi. Pria itu pun duduk menghadap ke arah Tiana. Tiana berusaha menyembunyikan wajahnya. Ia takut menatap Azmi, tapi juga merasa malu melihat tubuh telanjang pria itu. 

Azmi duduk dalam bak. Dengan senyum dinginnya, ia memberi isyarat agar Tiana mendekat padanya.

Tiana ketakutan, tapi tak berani melawan. Patuh ia mengikuti isyarat Azmi untuk duduk di atas pangkuan pria itu. Ia ingin menjerit saat merasakan bagian bawah Azmi yang tegak di depan perutnya sendiri.

Begitu Tiana duduk di atas pahanya, menghadap ke arah Azmi, pria itu langsung menciumi dadanya dengan rakus, menghisap puting payudara Tiana bergantian seenaknya. Tiana ingin menolak, tapi perlawanannya tak berarti saat tangan Azmi menekan punggungnya agar tak bergerak. Tak sampai di situ, ia meremas pantat dan pinggul Tiana kuat-kuat, hingga Tiana kesakitan. Lolongan tertahan di lehernya tak lagi sanggup ia tahan. Gadis itu menjerit.

Antara terkejut juga kasihan, Azmi berhenti. Ia memandangi wajah Tiana. Penuh kerut menahan sakit sebelum kepala gadis itu terkulai di pundak Azmi.

"To... tolong... jangan! Sa... sakit... sekali," bisik Tiana pelan sekali. Kepalanya yang tak sanggup ia angkat itu bertumpu di pundak Azmi. Lalu gadis itu diam lagi. Hanya pundak Azmi bisa merasakan ada air hangat mengalir jatuh. Tiana sedang menangis.  

Azmi meneguk liurnya lagi. Bukan karena nafsunya naik lagi. Tapi karena ia merasa kali ini gadis ini tak lagi berdusta. 

Tanpa berkata apa-apa, tangan Azmi bergerak. Menekan lembut punggung gadis itu dan mengelusnya perlahan. Entah mengapa, jauh di sudut hatinya sendiri, Azmi tak sanggup meneruskan keinginannya. 

Masih banyak waktu, Mi! Masih sangat banyak!

***



PEREMPUAN DALAM SANGKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang