Sekejam-kejamnya hati Azmi, ia tahu ia tak bisa mencegah hati kecilnya. Mendengar permintaan gadis itu, ia tak bisa tidak mendengar suara hatinya sendiri.
"Sa... sakit!" bisik gadis itu lirih sekali. Kali ini kedua tangan gadis itu terangkat dan melingkari leher Azmi, memeluknya.
Untuk beberapa saat, mereka seperti sedang berpelukan. Azmi tak bisa mencegah tangannya yang mengusap punggung gadis itu, seakan-akan menenangkannya.
Merasakan kalau Azmi tak melakukan apapun selain mengusap punggungnya, Tiana makin menenggelamkan kepalanya ke pundak Azmi dan mengencangkan pelukannya.
Sementara Azmi akhirnya menghela nafas. Ia tahu ini bukan saat yang tepat. Ia juga sudah kehilangan keinginan untuk menyakiti Tiana lebih jauh lagi. Tidak ada gunanya kalau justru hal itu hanya akan membuatnya merasa bersalah. Entah gadis ini bersandiwara atau memang benar. Azmi hanya tak ingin melanjutkannya.
Perlahan-lahan Azmi mengencangkan pelukannya. Ia memastikan agar tubuh gadis itu tetap menempel pada tubuhnya sendiri, selagi ia berdiri dan keluar dari kamar mandi itu. Tanpa peduli tubuh mereka yang masih polos tanpa penutup sama sekali, Azmi menggendong gadis itu keluar, terus menuju tempat tidur.
Anehnya, Tiana sama sekali tidak bergerak. Bahkan ketika Azmi duduk di tepi tempat tidur, ia terus menempel pada Azmi.
"Hei! Apa kau tidur?" tanya Azmi sambil menepuk punggung Tiana perlahan.
Tak ada gerakan. Hanya Azmi bisa merasakan nafas teratur Tiana di lehernya. Gadis itu tertidur.
Kembali Azmi menghela nafas. Mungkin ia terlalu lelah. Azmi juga begitu. Mencoba menjadi seseorang yang kejam ternyata melelahkan juga.
Dengan perlahan, Azmi membaringkan Tiana ke tempat tidur. Gadis itu hanya bergerak sedikit, membuat dirinya lebih nyaman. Tapi tangannya tetap menempel pada pundak Azmi, seakan tak mau melepaskan.
Azmi tak peduli soal itu. Ia juga merasa lelah. Jadi sambil memperbaiki letak tangan Tiana, ia juga berbaring di sisi gadis itu. Dengan kakinya, ia menarik selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. Dengan segera, mereka berdua tertidur.
Tengah malam, Tiana bergerak dan itu membangunkan Azmi. Ia terkejut melihat ada orang lain sedang tertidur meringkuk di sisinya. Kesadaran Azmi muncul. Ia diam memperhatikan ke sebelahnya.
Kini, Azmi bisa melihat wajah gadis itu dengan baik. Begitu dekat. Ia memperhatikannya lekat-lekat. Mengenali setiap jengkal wajah mungil berwarna putih pucat itu.
Hidungnya mungil tapi cukup tinggi, mancung. Melihatnya membuat orang pasti ingin menyentuhnya. Setidaknya itu yang diinginkan Azmi. Itu juga yang ia lakukan kemudian. Menyentuh ujung hidung gadis itu.
Tak ada bekas luka, jerawat atau noda apapun di wajahnya. Kulitnya begitu halus, begitu bersih bak pualam yang tak ternoda sama sekali. Hanya ada beberapa lebam akibat tamparan Azmi semalam. Ada sedikit rasa sesal melihat akibat perbuatannya. Azmi pun membuka telapak tangannya, tergerak merasakan kelembutan kulit di pipi Tiana. Ia meraba perlahan.
Halus, seperti dugaannya. Tapi telapak tangan Azmi juga merasakan hal lain. Pipi gadis itu panas. Panas seperti api.
Ia demam!
Azmi langsung duduk. Ia berdiri, menyambar mantel mandi yang tergantung. Menghambur keluar mencari obat penurun panas.
Sial! Sial!
Rumah ini sudah lama kosong. Baru dua hari lalu ia menyuruh asistennya menyewa orang untuk membersihkannya. Jadi jelas tak ada apapun tersedia di tempat obat. Bisa saja ia menelepon seseorang dan menyuruh mereka untuk mengantarkan obat padanya. Azmi melirik jam dinding.
Tapi... Ini jam 2 pagi!
Sekarang Azmi tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia teringat ponselnya. Dengan cepat ia mencarinya di kamarnya sendiri. Mengetik beberapa kata dan menemukan jawabannya. Setidaknya ia bisa mencoba dulu, sebelum pagi tiba dan mencari cara lain.
Azmi kembali ke kamar, masuk ke kamar mandi, menguras dan mengisi kembali bak mandi. Kali ini dengan air hangat. Setelah diyakini cukup untuk digunakan, Azmi kembali ke kamar.
"Tian, bangun dulu! Kamu demam," kata Azmi pelan sambil menarik selimut yang menutupi gadis itu.
Mata Tiana terbuka sedikit, namun hanya sebentar. Ia membiarkan dirinya digendong Azmi dan hanya memeluk leher Azmi dengan tangannya saat ia dibopong menuju kamar mandi lagi. Perlahan Azmi menurunkannya ke dalam bak berisi air hangat itu.
Kehangatan yang menyelimuti dirinya membuat mata Tiana terbuka. Masih sayu, tapi ia bisa melihat pria bermantel abu-abu sedang mengusap tubuhnya dengan sebuah handuk. Tiana mengira ini hanyalah bagian dari mimpinya karena terlalu lelah.
"Kamu ini benar-benar bikin repot!" Pria itu mendengus kesal. Tiana tersenyum sedikit.
"Makasih... " Lalu Tiana kembali memejamkan matanya. Membiarkan Azmi termangu menatapnya.
Ada seorang gadis telanjang bulat di hadapannya. Ia sangat lemah. Bahkan tak sadarkan diri. Tapi lelaki normal mana yang bisa seperti dirinya, yang malah memandikan dan mengurusnya seperti tak ada kamus 'nafsu' yang ia kenal. Membiarkan seluruh tubuhnya gemetar berusaha menahan diri agar monster dalam dirinya tak bangun. Hanya untuk satu kata pendek. Hanya satu ucapan terima kasih. Tapi tiba-tiba Azmi merasa begitu... bahagia.
Benarkah?
Ia seorang penculik. Bukan dewa penolong. Tapi kenapa sekarang peran itu berganti?
Azmi bersimpuh di sisi bak mandi. Memandangi Tiana yang tertidur dalam bak mandi hangat itu. Wajahnya yang tadi benar-benar putih pucat, mulai tampak kemerahan. Entah kenapa Azmi merasa bisa melihat senyuman membayang di wajah gadis itu sekarang. Berbeda dengan raut ketakutan yang ia lihat sejak pertama tadi.
Maafkan aku Izza. Maafkan kakakmu yang tak bisa membalas dendam untukmu dengan baik! Maafkan aku, adikku!
Gadis ini mungkin lemah secara fisik. Tapi Azmi merasa dirinya jauh lebih lemah. Ia bahkan tak bisa bersikap kejam.
Tapi ingatan Azmi kembali saat mengenang Izza. Izza yang berurai airmata, dengan perut besar karena hamil, dengan wajah dan tubuh penuh luka lebam. Adik kesayangannya, adik satu-satunya.
Emosi Azmi bangkit lagi. Tangannya terangkat, dan sebuah tamparan keras membangunkan gadis itu. Matanya yang bulat besar terbuka lebar, sementara tangannya sendiri memegang pipinya yang merah, gemetar.
"Sini kamu!" Kasar, Azmi merenggut rambut gadis itu dan menyeretnya keluar dari kamar mandi.
"Sakiiit! Saaaa... "
Azmi menendangnya, perut gadis itu kena. Ia terjatuh. "Diam!!!"
Bibir gadis tanpa busana itu terkatup rapat gemetar. Tak hanya bibirnya tapi juga seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Sekali lagi Azmi mencengkeram rambut gadis itu, dan menyeretnya menuju tempat tidur. Tiana terjatuh di ujung tempat tidur lagi. Kepalanya terantuk di salah satu sudut. Ia sendiri tak tahu apa itu, selain merasa sakit di kepalanya.
Azmi meninggalkannya sebentar. Keluar dari kamar. Lalu kembali lagi membawa pakaian. "Pakai itu!" perintahnya sambil melemparkan pada Tiana. Tiana yang sudah duduk di pojok tempat tidur, cepat-cepat memeluk pakaian itu.
Untungnya setelah itu Azmi keluar dari kamar, mengunci pintu.
Tiana benar-benar tak mengerti. Apa salahnya sampai harus mengalami semua ini? Apa yang telah ia lakukan sampai seluruh tubuhnya merasakan hukuman seberat ini? Semenit lelaki itu tadi bersikap baik, menit berikutnya ia sudah disiksa lagi.
Ya Tuhan! Tolong aku!
****
KAMU SEDANG MEMBACA
PEREMPUAN DALAM SANGKAR
RomanceDunia Tatiana Fabiola Pramana berubah arah dalam perjalanan menuju hotel tempat ia akan akan menikah. Ia diculik! Tapi Tatiana tak bisa memahami sang penculik yang penuh dendam itu. Alih-alih meminta tebusan pada keluarga Tatiana yang kaya raya, lak...