Sudah setengah jam Lingga menghabiskan waktunya di sebuah minimarket 24 jam yang menyediakan makanan cepat saji sebagai teman sarapannya pagi ini. Lelaki itu baru saja menghabiskan sekotak nasi kari yang sebelumnya dipanaskan melalui microwave oleh seorang pramuniaga, dan yang saat ini ia lakukan adalah bermain game online yang akhir-akhir ini seperti adiktif untuknya.
Lelaki itu baru saja melenguh kesal lantaran salahsatu teman mainnya melewatkan kesempatan besar untuk mematikan musuh dan berakhir dengan kekalahan. Ia menaruh asal ponselnya di atas meja dekat kotak makanannya yang sudah kosong lalu menyapu pandangannya pada seisi minimarket untuk mencari sumber suara yang sedaritadi mengganggu konsentrasi dan pendengarannya.
Posisi pandangannya kini terarah pada salah satu rak pajangan, beberapa detik kemudian ia melihat seorang perempuan berseragam yang sedang berjalan keluar dari rak sambil berusaha membuka satu lembar permen karet untuk kemudian dimasukan kedalam mulutnya dengan ponsel yang diapit oleh pundak dan telinganya.
Perempuan yang saat ini masih Lingga perhatikan itu nampak beberapa kali menoleh kebelakang rak yang susunannya sudah berantakan-mungkin karena ulahnya sendiri-sambil sesekali mengucap kata maaf pada seorang pegawai minimarket yang harus menata ulang susunan permen karet yang kondisinya sudah berantakan yang Lingga asumsikan jika itu ulahnya.
Kembali membalikan badannya, perempuan itu berbicara pada lawan bicara di ponselnya. "Iya-iya nggak minum kopi." tapi yang Lingga perhatikan, perempuan itu berbicara sambil berjalan menuju mesin kopi vending.
Lingga geleng-geleng kepala menyaksikannya.
"Aku minum teh, percaya, deh." Alih-alih menekan tombol hot water untuk gelas yang berisi teh dan gula, perempuan itu malah menekan tombol 'Caffe Latte'. Ia tertawa di tempat dengan rasa penasaran, sudah berapa banyak kebohongan yang perempuan itu lakukan pagi ini jika yang ia lihat saja sudah melakukan dua?
Perempuan itu berjalan menuju kasir setelah mendapati 'Teh' yang dimaksudnya.
"Caffe Latte!" katanya pada sang kasir hanya dengan gestur bibir tanpa suara setelah menjauhkan ponselnya sebelum kembali didekatkan pada telinganya dan kembali berbicara beberapa saat.
Tidak lama, benda pipih itu sudah berada dalam genggamannya, jauh dari telinga, menandakan ia sudah selesai berbicara.
Tunggu, kenapa Lingga jadi mirip seperti penguntit?!
Berusaha acuh, lelaki itu memutar badan dan memilih untuk melihat isi luar jendela yang mulai dipadati kendaraan. Melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukan bahwa sekolah akan dimulai lima menit dari sekarang. Namun alih-alih segera pergi, lelaki itu malah berniat bolos hari ini.
Genta, sahabatnya, sudah berkali-kali memberi umpatan padanya karena menyepelekan hari pertama di semester baru. Lingga hanya menjawab dengan 'iya-iya' tanpa berniat untuk mengikuti saran Genta untuk segera datang dan mendatangi kelas barunya.
Umpatan pelan spontan keluar dari bibirnya saat merasakan cairan panas pada paha kanannya, melirik ke sumber masalahnya, ia melihat jelas tumpahan kopi yang membuat celana abu-abunya berubah warna. Lelaki itu menoleh ke kiri dan matanya bersitatap dengan mata terbelalak milik perempuan yang beberapa saat lalu membuatnya banyak menggelengkan kepala, termasuk saat ini.
"Sori, sori," perempuan itu menarik beberapa lembar tissu di atas meja dan mencoba mengusap noda kopi yang ia tumpahkan sebelumnya di celana Lingga. "Nggak sengaja,"
Lingga berjengit kaget saat perempuan itu dengan berani mengusap pahanya dengan tissu. Ya, Lingga tahu bahwa niat perempuan itu bukan untuk hal yang saat ini mengganggu otaknya, namun kalian mengerti, kan, maksudnya apa? Lingga yakin bahwa hampir seluruh lelaki tidak akan merasa nyaman dengan situasi seperti ini.
"Udah-udah, santai. Nggak apa-apa." Ujarnya sambil menjauhkan lengan perempuan itu perlahan. Menolak bantuan atau mungkin bentuk dari rasa bersalah perempuan itu atas apa yang tidak sengaja ia lakukan. Lingga kesal? Tentu saja. Namun marah juga rasanya percuma untuk merutuki sesuatu yang telah terjadi. Dibanding itu, ia lebih memilih bersikap menerima tanpa harus menghabiskan energi pagi harinya.
Padahal, Lingga sangat ingin bersikap seperti lelak-lelaki yang sering kakak perempuannya idam-idamkan setelah membaca novel-novel picisan miliknya dengan deskripsi yang bisa Lingga simpulkan sebagai sosok yang dingin dan misterius.
Namun ia sadar diri karena mungkin kedua hal itu tidak cocok untuknya.
"Bener nih santai?"
"Iya udah, mending gue yang beresin sendiri ini. It's okay, don't worry."
"Yaudah, sori ya!" perempuan itu mengacungkan dua jari tangan kanannya lalu merogoh saku seragam yang dibalut sweater untuk merogoh sesuatu kemudian mengeluarkannya kembali sambil meletakan permen karet lembaran di atas meja.
Lingga menaikkan alis, maksudnya ini permintaan maaf?
Belum sempat ia kembali bersuara, perempuan bersweater longgar warna krem yang menyembunyikan seragamnya sekolahnya itu sudah melenggang pergi meninggalkan dirinya dengan sekotak permen karet lembaran yang isinya sudah hilang satu-dan baru Lingga sadari jika ini adalah permen karet bekas. Maksudnya, sudah lepas segel.
Lingga terkekeh pelan, antara sebal dan geli karena tingkah aneh perempuan itu. Dalam hati ia berdoa, semoga populasi orang seperti itu tidak bertambah.
*****
Hai! Aku bawa Lingga dan Senja buat kalian, cerita ketigaku. Pengennya aku cuma 3, sih.
1. Nggak ada kendala sampai tamat;
2. Kalian suka;
3. Cerita ini bermanfaat.
Hehe aamiin~Lingga
14 Juli 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingga dan Senja
Teen FictionKepindahan Senja ke Jakarta berhasil menemukan dirinya dengan Lingga dalam satu tempat yang tidak pernah Senja bayangkan, terlebih ketika ia mendapati lelaki itu berada dalam sekolah yang sama dengannya, sekolah barunya, yang lagi-lagi tidak pernah...