BAB 57 Orangtua Ujang marah

3.7K 232 6
                                    


          Kata-kata Ujang "aku mencintaimu", masih terus terngiang di telingaku, tapi rasa sakit ketika mendengar Eci akan menjadi istrinya, seperti remuk jiwaku. Makan tidak selera, aku terus diam dan melamun. Ujang tidak berhenti begitu saja, Ujang terus datang dan meminta kepastian dariku. Bahkan Ujang jujur pada Nyai dan Aki kalau dia mencintaiku dan ingin melamarku. Aku memilih mengunci pintu di kamar. Aku tidak mau menyakiti siapapun, orangtua Ujang dan Eci pasti akan marah, jika aku mau menerima lamaran Ujang. Naas buat Ujang ketika dia ada di rumahku sedang bicara dengan Nyai, orangtua Ujang dan orangtua Eci datang dan marah.

"Nyai, aku menghormatimu selama ini, tolong kasih tahu anak gadismu agar tidak menggangu Ujang lagi, dia akan menikah!" ucap Ibunya Ujang.

"Kenapa kau menuduh Menul mengganggu anakmu? Ujang yang datang sendiri ke rumah!" jawab Nyai marah.

"Tapi kalau anakmu tidak mau menerima, mana mungkin Ujang datang ke rumahmu!" ucap Ibunya Ujang.

"Menul keluar!" teriak Eci.

          Aku yang dari tadi mendengarkan percakapan mereka langsung keluar.

"Tidak perlu teriak! mau apa memanggilku?!" jawabku marah.

"Sombong sekali kamu! tidak tahu malu mengganggu calon suamiku!" bentak Eci.

"Cukup! tolong jangan salahkan Menul, aku yang salah, Menul jawablah apakah kamu menerima lamaranku?" tanya Ujang membuatku terkejut.

"Apa?! kamu melamar Menul! aku tidak sudi berbesan dengan anak dukun!" bentak Ibunya Ujang.

"Bu, jangan bilang dia anak dukun Bu, Agama Menul juga bagus Bu," jawab Ujang.

"Tidak! kalau saja gadis yang kamu cintai itu anaknya seorang Ustad, Ibu akan pertimbangkan! jangan membuat Ibu malu, cepat pulang!" bentak Ibunya Ujang.

"Dan kamu Menul! jangan pernah bermimpi jadi menantuku!" ucap Ibunya Ujang.

          Mereka pulang dengan membawa kemarahan, Aki, Nyai dan Abah terlihat sedih dan terus memandangku. Aku langsung masuk kamar dan tumpahlah air mataku. Begitu hinanya aku di mata mereka, kenapa begitu susah aku merasakan bahagia. Kenapa cinta begitu rumit dan banyak rintangan. Nyai, Aki dan Abah terus mengetuk pintu dan merayuku untuk keluar dari kamar.

"Nul, ayolah Nul, jangan di pendam sendiri, keluarlah Nul, ayo kita bicara, supaya ringan beban hatimu Nul," ucap Abah dari balik pintu.

          Cuma mereka bertiga yang selalu setia dan menjagaku. Aku membuka pintu kamar, mataku sembab dan bengkak, mereka memelukku dan membelaiku.

"Sabarlah Nul, sabar... " ucap Nyai.

"Aku kagum pada Ujang, dia berani menyatakan cintanya pada Menul di depan orangtuanya dan Eci, dia selalu berusaha membela Menul," ucap Aki.

"Ya benar Kang, sebenarnya Ujang dan Menul pasangan yang serasi. Kasihan dia kalau harus menikah dengan orang yang tidak di cintainya," ucap Abah ikut bicara.

"Sudahlah, aku tidak apa-apa, aku dan Ujang hanya bersahabat," ucapku sedih.

"Kalau kamu mau, kamu masih bisa memperjuangkannya Nul," ucap Nyai.

"Tidak Nyai, aku tidak mau berharap apapun dan memperjuangkan apapun," jawabku tegas.

          Aku pamit masuk kamar, bayang-bayang Ujang masih terus mengikutiku. Aku ingat kembali saat pertama melihatnya dan berdebat dengannya. Hanya dia pria yang sanggup membelaku tanpa takut. Kenapa seperih ini hatiku memikirkannya. Kenapa sepedih ini cinta yang aku rasakan. Aku tidak pernah menjalin kasih dan jatuh cinta, tapi kenapa begitu mendengar Ujang akan menikah justru rasa cinta itu terasa. Dalam lelahku berkeluh kesah dalam kalbu, aku berusaha tidur dan berharap bertemu Ibu dan ingin memeluk Ibu.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang