Nama : Nurlina
@rariz_runLima bulan berlalu. Mengikuti jalannya waktu, membuang masa lalu, memyimpan kembali lembaran baru. Sungguh aku tak menyangka seseorang yang menganggapku sebagai pelita dihidupnya, juga pembangkit semangat jiwanya kini telah tiada. Ayah.
Iya. Lima bulan lalu Dia memilih ayahku untuk berada disisi-Nya. Menempatkan ayahku berada di tempat yang nyaman dan tenang, yaitu surga. Biarlah.. Toh aku sudah ikhlas. Aku tak sanggup lagi melihat ayah terus kesakitan akibat penyakit ganas yang dideritanya selama satu tahun.
Aku adalah anak kedua yang paling dekat dengan ayah, jadi diantara orang-orang terdekatku yang paling merasakan pilu adalah aku. Jadi wajarkah aku jika masih merasakan kehilangannya?"Sudahlah.. cah ayu kamu jangan murung terus. Ini hari senin, jadi kamu harus semangat dong sekolahnya," ucapnya sembari mengecup puncak kepalaku, aku berdiri lalu menatapnya dengan sayu. Dia terlihat menatapku balik dengan penuh ketegangan.
"Iya, bun. Lagian siapa sih yang suka semangat dihari senin. Yang ada ya, malesin tau nggak. Upacaralah, mana pelajaran pertama itu matematika lagi. Huh.." ucapku sedikit menghembus nafas kesal.
Ririn, bundaku itu menampakkan wajah kaget lalu setelahnya tertawa. "Dih kok bunda ketawa sih?"
"Eh. Iya iya, yaudah yuk sarapan."
Akupun mengangguk.Hening. Suasana meja makan yang sedang sarapan. Hanya suara sayup saat tegukan air mengalir ditenggorokan dan juga suara kunyahan roti yang dimakan. Selebihnya suara lainnya tiada baik dari ibu, kakakku dan juga aku. Sempat bosan dengan keadaan seperti ini akhirnya suara notif handphoneku memecah keheningan.
Lagi.
Lagi.
Dan lagi.
Tadinya mau kuabaikan, tapi sepertingnya notif itu enggan aku campakkan. Terpaksa akupun melihat, dan menscroll chat yang menurutku tidak penting.
"Nyesek banget deh baca." Ucapku lalu mematikan handphone itu dan memasukkannya ke saku.
"Emang dari siapa sih? Pacar?" Kakakku nyaut.
"Dih, kok pacar sih. Ini dari grup, katanya sekarang ada murid baru di kelas Raini.""Cowok?"
"Hmm, iya."
"Oke semoga dia nyantol kehati kamu." Ucap sekenanya dari kakakku.
"Ihhhh apaansih. Enak aja kalo ngomong tuh..."
Ucapanku terpotong karena bunda, "Udah udah kalian bakalan telat kalo ngobrol mulu."
Akhirnya sarapan itu diakhiri. Aku segera berpamitan dengan bunda, begitu juga Rian, kakakku.Saat ini aku kelas 11 SMA Darmabakti, Kak Riana pun sedang melanjutkan pendidikan S1-nya, sedangkan bunda membuka butik untuk melancarkan perekonomian keluarga. Tiada hari tanpa ilmu dan juga uang di hidup ini.
Jarak antara rumah dan sekolahku tak memakan waktu lama. Buktinya motor kakakku yang memboncengi aku sampai juga ke tempat tujuan mencari ilmu. "Semangat ya," ucapnnya dan kubalas dengan anggukan.
Gerakkan kaki perlahan, sapuan keringat menggunakan tangan, lirik kanan lirik kiri, lalu diam lagi. Itulah selama upacara berlangsung. Diam-diam aku perhatikan. Sempat mau berontak namun tertahan, karena nanti malah diriku sendiri yang kena semprot penjaga. Namun tiba-tiba..
Brukkkk
Dibelakang rupanya ada yang pingsan. Perempuan, dan kata teman sebangkuku, Gita, yang pingsan katanya Dera. Greget banget deh diakhir upacara malah pingsan.
"Tanpa perhatian balik kanan bubar jalan!". Tuh kan.
Ya ampun. Sumpah demi daging cincang.. selesai upacara keadaan kelas riuh tak beraturan. Semuanya membicarakan Dera teman sekelas kita yang pingsan. Bukan masalah tapi ini berita terbaru yang langsung hot.
"Sumpah ya ni, katanya Dera diangkat ke UKS nggak make blankar. Karena PMRnya yang telat gitu, terus lo bayangin yang nolongin Dera siapa? Dia murid baru kelas ini tau nggak sihhh." Ucapnya bawel."Oohh."
"What? Lo tau kan murid baru itu?"
"Tau."
Hening.
Lalu Gita nyelonong pergi kembali kemurid lain untuk bergosip. Itu lagi.
---
Lima belas menit berlalu. Sudah waktunya pulang, namun aku belum sampai rumah. Karena tadi janjinya kakakku jemput. Tapi apa, ampai sekarang juga dia belum datang. Sisi jalan saat ini terlalu sepi, tidak seperti biasanya. Yang aku lihat hanya satu dua orang yang mengendarai motor, terlebih aku menelisik siapa tau itu kakakku. Bosan. Tapi kemudian aku mengalihkan perhatian dengan mengirim pesan pada kakakku.
"Masih nunggu jemputan?" Suara itu mengagetkanku hingga aku sedikit menyingkir lalu mendongak siapa yang bicara padaku. Rupanya murid baru itu."Dimas."
"Hah?" ucapku heran yang masih melihatnya.
"Namaku Dimas. Kamu?"
"Ohhh. Raini."
Hening.
Tinnn tinnn.
Syukurlah kakakku sampai. Cukup gugup bertemu orang baru seperti Dimas. Aku langsung naik ke motor kakakku.
"Duluan ya." Dan Dimas pun mengangguk. Tapi kakakku belum juga melajukan motornya. Malah dia membuka kaca helmetnya."Loh. Dimas? Lo kok.."
"Iya kak. Gue ke sini. Gimana kak kabarnya?"
"Baik-baik. Ya udah kapan-kapan kita ngobrol ya. Bye."
Apa? Kakakku kenal dia? Dunia memang sempit.
---
Sesampainya di rumah. Aku sedikit penasaran, lalu aku bertanyalah pada kakak tentang sosok mirid baru itu.
"Kamu nggak usah khawatir. Orang kayak dia bakalan nggak membuat kamu seperti orang baru dan asing. Kalo itu yang kamu tanyain setiap ada orang baru." ucapnya duluan.
"Tau aja kaka."Jadi, awal kakakku kenal dengan Dimas adalah lewat kakak perempuan Dimas. Awalnya Dimas sekolah di luar kota Jakarta, namun kakakku belum tau kenapa Dimas pindah ke sini.
"Oh ya besok kaka nitip sesuatu ya buat Dimas, sampein bener-bener. Awas kalo nggak disampein." Ucapnya sedikit memaksa."Lahhh kaka kasih aja sendiri ah. Males."
"Jangan gitu dong. Kamukan sekelas sama dia. Toh besokkan bertemu lagi."
"Ya tapi..."
"Udahlah kaka bakal langsung naruh di tas kamu besok. Awas aja kalo nggak dikasihin." ucapnya langsung pergi.
Dan mulai dari kejadian itu. Aku selalu dengan Dimas. Lagi. Lagi. Dan seterusnya..
Sebelum pertemuan ini dan itu. Dan pada kesempatan bertatap muka dihari tertentu. Aku selalu bersama Dimas. Hingga mengikat persahabatan. Dan nyaris menumbuhkan benih benih rasa suka lawan jenis. Seseorang baru seperti Dimas baru kali ini aku merasakan ikatan rasa. Sebelum semuanya terjerumus lebih dalam aku selalu memgantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Aku berjanji kita akan tetap bersama dalam suka maupun duka." Ucap Dimas.
"Tolong Dim. Jangan katakan hal hal seperti itu. Kita sebagai manusia cukup dengan memjalaninya sesuai hari. Tidak perlu mengucap janji."
"Biar afdhol aja ding Rainiku."
Aku tersenyum lalu, "Jangan berjanji. Karena semua orang akan tetap pergi. Ayahku aja pernah janji begitu, tapi apa, dia akhirnya memilih pergi."Lalu setelahnya yang Dimas lakukan adalah menatapku lekat-lekat, begitu juga aku sebaliknya. Seolah dunia tahu apa yang aku rasakan. Seolah Tuhan pasti tahu dan akan selalu menghadirkan kejadian yang semestinya kita jalankan.
Pada akhirnya semua orang akan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN
Historia CortaIni adalah kumpulan cerpen karya member LWT Wattpad. Suatu grup chat di Whatsapp dengan member yang ingin belajar lebih dalam bidang kepenulisan.