First : Who ?

448 40 6
                                    

Cahaya mentari menembus dari balik tirai kamar. Cahaya itu tepat menyinari mata seorang gadis yang baru saja terusik kegiatan tidurnya. Ia pun tersadar lekas bangkit dari tidur cantiknya untuk membersihkan diri di bawah guyuran air yang entah mengapa wajahnya terasa berbeda hari ini.

Dingin.

Ia mengenakan seragam sekolahnya, meihat pantulan dirinya pada sebuah cermin. Terpantul seorang gadis dalam balutan seragam SMA dengan kunciran kuda pada rambutnya. Ia lalu membawa ranselnya yang ada di atas meja belajarnya, kemudian bergegas keluar kamar.

Hari ini sarapannya telur dadar.

Setelah meletakkan ranselnya di kursi meja makan sederhana yang hanya terdapat dua kursi saling berhadapan. Ia lalu memakai celemek agar seragamnya tidak kotor saat memasak. Ia pun membuka kulkas untuk mengambil setidaknya dua telur untuk dimasak, dilihatnya persediaan bahan makanan di kulkas menipis. Ia pun menutup kulkas sambil menghela napas pelan.

Aku akan belanja hari ini.

Gadis itu menikmati saat memasak sarapan sederhananya hari ini. Saat setelah telur dadarnya matang, bergegas ia duduk di meja makan tidak lupa dengan segelas teh hangat yang telah dibuatnya.

Tuhan terimakasih untuk sarapan hari ini. Berikan kekuatan bagiku untuk melakukan aktivitas hari ini. Amin.

Ia pun melahap sarapannya sampai tidak bersisa, dilihatnya jam menunjukkan angka 06.20. Ia pun meraih ranselnya bersiap untuk pergi ke sekolah. Tidak lupa ia mengunci pintu rumahnya memastikan tempat yang ditinggalinya aman. Ia mulai melangkahkan kakinya ke jalanan trotoar sambil memandangi indahnya dunia di pagi hari, bahkan udaranya sangat sejuk dan menyegarkan. Jarak sekolah dan rumahnya tidak terlalu jauh sekitar 20 menit untuk jalan kaki. Bisa saja ia naik bis, tetapi mengingat keadaan dirinya saat ini, jadi ia putuskan pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki. Hitung-hitung olahraga ringan.

Gadis itu memasuki gerbang sekolah, berjalan di koridor sekolah menuju ruang kelas. Ia melangkahkan kakinya memasuki kelas. Ia duduk di kursi di depan dekat pintu. Saat ia masuk tidak ada yang menyapa bahkan menegurnya, seolah keberadaannya tidak dianggap. Ia sudah terbiasa dengan itu, jadi ia tidak mempermasalahkannya.

Namun di dalam hatinya bohong jika dia tidak ingin mempunyai seseorang untuk sekedar bertegur sapa, melempar senyuman, dan berbagi cerita. Ia iri selalu melihat teman-teman di kelasnya saling berbagi cerita, tertawa, bahkan menghibur temannya yang sedih. Ia juga ingin seperti itu, tetapi tidak ada yang mau dekat dengannya karena kekurangan yang dimilikinya. Terkadang ia sering merasa sedih karena banyak kesulitan yang dialaminya, tetapi tidak ada satu pun yang membantunya.

Menyedihkan




Setelah pulang dari sekolah Irene langsung sibuk membuat adonan kue. Selain menjadi hobi, memasak kue menjadi cara untuknya mendapatkan uang. Ia pun dengan cepat menyelesaikan semuanya dan membersihkan dapur. Setelah kuenya matang, ia pun membungkusnya dengan rapi dan bergegas mandi. Ia mengantarkan kue ke sebuah cafe kecil sederhana di pinggir jalan tepatnya di perempatan jalan yang tidak jauh dari lorong rumahnya.


Kling... Kling...

"Oh... Irene... Aku kira pelanggan."

"Ini keranjangnya dan ini uang hasil jualannya."

Irene tersenyum lebar kepada pemuda itu ketika menerima uang hasil jualannya. Ya, semuanya terjual.

"Menurutku banyak yang menyukai kue buatanmu."

Irene menatap pemuda tersebut seperti mengatakan 'Benarkah?'

"Iya, itu benar. Oh iya, aku ingat ada seorang pemuda, sepertinya anak kuliahan. Dia selalu membeli kue buatanmu. Kalau aku tidak salah, dia mulai membelinya saat pertama kali berkunjung ke cafe ku."

Irene sedikit tertarik dengan cerita yang keluar dari mulut Seokjin sehingga dia mendengar ceritanya dengan seksama.

"Sejak saat itu, dia setiap hari datang ke cafeku."

Entah kenapa Irene merasa sangat penasaran akan sosok pemuda yang diceritakan Seokjin. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut.

"Kapan biasanya dia datang?"

"Eh.. tunggu sebentar, aku ingat-ingat dulu. Hmm.... mungkin sekitar pukul 5 atau 6 sore."

Tanpa sadar Irene melihat jam yang melilit di tangannya.

Pukul 4.17

"Kenapa? Apa kau penasaran?"

Irene menganggukkan kepalanya perlahan.

"Kau ingin menemuinya?"

"Apa boleh aku menunggu?"

"Tentu saja."

Seokjin menganggukan kepalanya dan tiba-tiba bercerita lagi mengenai pemuda itu.

"Hmm.. kalau ku ingat lagi, dia selalu memesan cukup banyak."

"Benarkah?"

Seokjin menganggukan kepalanya lagi
"Saat ku tawari kue atau makanan lainnya dia selalu menolak."

Entah mengapa rasa penasaran Irene semakin akan sosok pemuda tersebut. Dia sangat penasaran pada pemuda itu.

Para pelanggan cafe terus datang dan pergi silih berganti dan ini sudah lewat pukul 6, tepatnya pukul 6.10. Irene duduk di dekat pintu cafe dan terus melihat jam tangannya serta pintu cafe bergantian. Seokjin bilang, pemuda itu selalu memesan espresso dan kue buatannya. Namun, sejak dari tadi tidak ada pemuda yang memesan keduanya.

Irene menghela napas karena lelah menunggu. Seokjin pun datang menghampiri meja dimana Irene menunggu.

"Aneh sekali kalau dia tidak datang"

"Hmm.. sebaiknya aku pulang saja. Mungkin lain kali aku bertemu dengannya. Terima kasih, Seokjin", ucap Irene yang kemudian bangkit dari tempat duduknya.

"Maaf ya, Irene"
Seokjin merasa tidak enak pada Irene.

"Hmm.. tidak apa. Mungkin lain kali saja aku bertemu dengannya. Aku pulang dulu." Irene sedikit membungkukkan badannya yang kemudian dibalas Seokjin.

"Hati-hati di jalan"

Irene pun melangkahkan kakinya menuju pintu cafe sambil membawa keranjang kue yang kosong.

Kling.... Kling...


WHY?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang