Total rumah yang sudah kubuat di dalam kota spasial laptopku baru 34 rumah. Disebut sebagai sebuah desa pun belum bisa, sedangkan aku ingin menciptakan sebuah dunia bernama PARADIS. Nama yang kuambil dari nama tanaman kecil berdaun runcing yang mudah ditanam di semua jenis tanah.
Game ini sudah kubuat sejak dua tahun yang lalu, sejak pertama aku mendapatkan laptop ini. Aku mengganti baterainya dengan tenaga ion Hidrogen yang ringan dan lebih tahan lama. Hanya perlu men-charge baterai nya setahun sekali, dan hanya butuh waktu satu jam untuk kembali penuh.
Butuh waktu lumayan lama untuk membuat sebuah rumah, meski semakin hari kecepatan tanganku semakin bertambah. Aku bisa saja mengcopy-paste code rumah, dan menciptakan ribuan rumah hanya dalam waktu sehari, tapi rumah-rumah itu akan sama persis dan akan terasa monoton.
Aku benci kata monoton dan membosankan sama seperti aku membenci tumpukan kresek berisi sampah yang makin menggunung di sudut kamarku.
Apa yang harus kulakukan pada sampah-sampah itu? Tentu aku harus membuangnya, tapi ke mana?
Selama seminggu tinggal di desa ini, aku belum pernah sekalipun melihat tukang sampah lewat. Jadi, aku akan menanyakannya pada ibu kos.
CTAK.
Kipas angin di langit-langit kamar perlaham berhenti berputar. Kutekan lagi saklar kipas, tapi tetap diam. Sungguh menyebalkan.
Kutinggalkan laptopku, kubuka jendela kamar lebar-lebar, berharap angin malam bisa menyejukkan kamarku agar aku bisa menggunakan waktu tidur 4 jam ku dengan efektif dan evisien.
Dari jendela kamarku, samar-samar aku bisa melihat luasnya bentangan sawah beratapkan langit bertabur bintang. Indah, asri, alami. Kusapukan pandanganku ke kiri, ke arah pohon mangga depan rumah ibu kos, Multitelen ada di sana. Seperti biasa, headset menyumbat kedua telinganya. Dia sepertinya sedang belajar? Menggambar? Entahlah. Aku tak peduli.
Dia mendongak, dan sesaat tatapan mata kami beradu sebelum dia kembali ke buku dan pensil yang ada di kedua tangannya. Kembali sibuk dengan dunianya.
Drrrrrrrrrt...
Lagi-lagi getar alarm membangunkanku. Aku langsung lari ke sekolah setelah selesai dengan rutinitas kilatku. Kali ini, pelajaran sekolah benar-benar dimulai. Dan aku bersyukur karena aku bisa mengabaikan semua pelajaran dengan melanjutkan tidur.
Aku pasti bisa tidur dengan nyenyak, jika saja...
"Isti, cara cepat ngafalin tabel periodik tuh gimana? Baca ulang seratus kali? Ditempel di kaca? Atau tanya jawab sama temen?" Dini, teman sebangkuku yang super berisik, berbisik sambil menggoyang-goyang pundakku. Aku hanya melihatnya dengan tatapan bosan dan mengantuk.
"Terus, kalau unsurnya udah hafal, cara ngafalin nomor atom sama nomor massanya gimana? Pake teka teki silang? Pake gambar? Apa bikin rumus matematika aja?"
"..."
"Kamu ngerti nggak yang dibilang bu Rahma tadi? Dia bilang kertas kalau disobek-sobek sampe kecil banget nanti jadi molekul. Cobain yuk."
"..."
Satu jam kemudian...
"Kamu keliatan ngantuk banget? Semalem begadang? Ngapaian? Apa banyak nyam-"
Tiba-tiba ucapan Dini terhenti. Tapi aku sudah sejak tadi tak menghiraukannya. Jadi aku sangat bersyukur dia menghentikan aktivitas celotehnya.
"Isti Melisya Anwar!"
Suara melengking khas ibu-ibu, menyebut namaku. Hingga mau tak mau aku mengangkat kepalaku yang seberat batu.
"Coba kerjakan soal di papan tulis!" perintahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Paradis
Teen FictionIsti Melisya Anwar Seorang remaja introvert jenius yang selalu menyembunyikan kejeniusannya, mengasingkan dirinya sendiri ke pelosok desa untuk menghindari orang-orang yang mengenal dan dikenalnya. Dalam kesendiriannya, dia menciptakan sebuah dunia...