Jennie memasang wajah datarnya. Matanya menatap tajam ke arah panggung. Disana, sahabatnya sedang menyatakan Cinta pada seorang perempuan yang baru-baru ini menarik perhatiannya.
"Terima.. terima!!"sorak-sorai penonton membuat kupingnya terasa sakit. Jennie memutuskan pergi dari sana dan bersiap-siap. Karena setelah ini dirinya akan tampil.
"Jika aku diterima, maka penampilan pianomu harusnya kau persembahkan untukku!" Kai mengedipkan mata saat mengatakannya.
Sorak-sorai penonton semakin menjadi-jadi. Apalagi saat sang wanita menerima Cinta sahabatnya. Cih, persembahan apa? Seharusnya Jennie memukulnya. Tapi bagaimana bisa? Ia terlalu menyayangi Kai.
Dada Jennie terasa sesak. Untuk apa dia berada disini? Seharusnya Jennie bergelung dalam selimut hangatnya. Seharusnya Jennie tak perlu melihat saat Kai menyatakan Cinta. Seharusnya Jennie tidak perlu merasa sakit hati.
Karena bagaimanapun, Kai-lah sahabatnya yang merangkap menjadi Cinta pertama untuknya. Jennie seharusnya mengungkapkan sedari dulu, tentang perasaan yang muncul di hatinya.
Selama ini ia terlalu menganggap remeh. Kai memang terlalu peduli padanya, memperlakukannya istimewa, dan selalu ada untuknya seorang. Membuat Jennie berpikir, ia tidak harus menyatakan Cinta, karena Kai akan selalu bersamanya dan melindunginya.
Tapi pemikirannya salah. Dua minggu belakangan, Kai bilang ada kakak kelas yang menarik perhatiannya. Jennie tak lantas merasa terancam. Ia berpikir, Kakak kelas itu yang baru dikenal beberapa hari oleh Kai tidak akan bisa menyaingi dirinya yang sudah bertahun-tahun bersama Kai.
Tapi Jennie keliru. Apalah arti bertahun-tahun bersama, tetapi hanya memakai kata 'sahabat' sebagai status? Jennie tentu bukan apa-apa dibanding kakak kelas yang telah mengisi hati Kai. Dalam hal ini, Jennie kalah telak.
Jennie menghela napas, disandarkannya tubuhnya ke papan kayu di belakang panggung. Dadanya sesak dan tubuhnya terasa tidak enak. Apa sebaiknya dia pulang saja? Dengan perasaan yang kacau, mungkin permainan pianonya tidak sebagus biasanya.
"Jendeukie!"Jennie menoleh, mendapati sahabatnya melambaikan tangan. Disisinya, ada kakak kelas yang beberapa minggu ini diidam-idamkannya. Jennie sebenarnya tidak ingin melihatnya, tapi bagaimanapun Kai adalah sahabatnya. Jennie tidak perlu membuat Kai merasa cemas akan tingkahnya yang aneh.
Jennie tersenyum seadanya, kemudian mengulurkan tangannya. "Selamat!"
Kai menerima uluran tangannya, kemudian memeluk Jennie singkat. Jennie sebisa mungkin bertingkah normal.
"Selanjutnya kau tampilkan? Tidak lupa kan apa yang kukatakan sebelumnya?" Kai menggodanya. Biasanya Jennie akan menanggapinya dengan senyuman. Tapi kali ini Jennie tidak sanggup.
"Aku ingat," Jennie mempertahankan wajah datarnya. Biarlah Kai merasa dirinya aneh, daripada ia harus berteriak dan memukul Kai disini? Bukankah itu lebih aneh. "Aku pergi."Jennie melambaikan tangannya, tersenyum seadanya pada kakak kelas yang berdiri disamping Kai. Kebetulan Jisoo sudah memanggilnya sedari tadi, jadi Jennie memiliki alasan untuk segera pergi dari situ.
"Kau siap?"Jisoo bertanya, sebagai panitia acara. Jennie mengangguk, tidak peduli lagi akan permainannya. Yang jelas ia harus segera menyelesaikannya dan pergi dari situ.
Jennie menaiki panggung, dan membungkuk. Kemudian duduk di depan pianonya. Sekilas matanya menangkap sosok Kai dibarisan terdepan, menggandeng kekasih barunya. Semua orang meneriakkan namanya, tapi Jennie mampu mendengar suara Kai yang paling dominan.
Jennie menggerakkan jemarinya di piano. Meluapkan emosinya lewat permainan musik. Wajahnya datar, tidak menampilkan ekspresi sekilaspun. Orang-orang yang tidak begitu mengenalnya akan sangat susah menebak emosinya. Hanya orang-orang terdekatnya, seperti Kai, yang tahu ada yang aneh dengan Jennie malam ini.