"Hehe, makasih", ku ambil gelas berisi air mineral itu, meski dengan tangan gemeteran, ku minum hingga habis seperempatnya. Dia benar, tenggorakan ku kering kerontang, karena terburu-buru aku sampai lupa minum sejak tadi sarapan.
Aku lebih tenang setelah minum, syukurlah. Aku harus amalkan fatwa bunda tempo hari. Iya, biasa aja, kita kan temen.
"Fakhrinya kemana?"
Dia menoleh, "Di dalem", meski tak lagi mengunyah kue kering, dia masih fokus pada acara televisi di depannya.
"Orang tuanya ada?", aku baru sadar, karena tadi aku terkesima pada laki-laki yang kini duduk di ruangan yang sama dengan ku, dari awal masuk rumah ini aku belum bertemu dengan orang tua Fakhri.
"Tadi pamit keluar, ada keperluan".
Umumnya orang tua pasti menyambut teman anaknya sendiri dengan antusias, yaa seperti bunda ku tersayang.
"Kuliah lancar?", dia membenarkan posisi duduknya, terlihat lebih santai dan seperti di rumah sendiri. Ya dia, Fakhri, Reki dan Renal memang sudah seperti saudara. Jadi pantas saja lah, dia pasti sudah puluhan kali ke rumah ini.
"Lancar", mendengar pertanyaan ini aku jadi ingat ayah, ini pertanyaan rutin dari ayah pada ku setiap dia menelpon bunda haha.
"Yang lain belum pada dateng juga?", Fakhri datang dari arah dapur dengan sepiring bakwan di tangannya.
"Belum", Dia yang menjawab, aku hanya menggeleng.
"Tuh panjang umur, baru aja di omongin". Aku mendengar deru motor dari depan, dan aku yakin lebih dari 2 motor.
Fakhri beranjak keluar, aku ikut juga keluar. Dia masih dalam posisinya.
Dan benar saja 4 motor baru saja tiba di depan rumah Fakhri. Reki, Renal, Tisya, dan Syakila yang di bonceng Shahira. Gak ada yang berubah dari wajah dan tubuh mereka.
"Telat 5 menit, gue tendang satu satu nih haha lama bener, yu masuk udah ada si kaku di dalem"
Tisya lari sambil histeris nyamperin aku yang berdiri di dekat pintu. Disusul Syakila dan Shahira tapi gak sehisteris Tisya. Tuh kan mereka gak berubah, masih sama kaya dulu.
"Difaa, kangennnnn", Tisya memeluk ku, Syakila Shahira juga. Kita udah mirip teletubis aja wkwk. Tapi asli aku rindu mereka bertiga. Gak ada yang sama kaya mereka.
Renal juga Reki masuk ke dalam setelah menyapa ku. Ada tawa jahil di wajah mereka, ku artikan pasti ada kaitannya sama Azkar yang udah ada di dalem. Aih mereka bener-bener masih sama gak ada yang berubah.
"Kita ke dalem aja yuk"
"Eh bentar, Fa tadi kamu di dalem bareng sama Azkar dong?", Syakila mulai kepo dengan suara pelan. Aku menghela napas, lalu mengangguk.
"Udah ah, ayo ke dalem pegel tau""Ciee ciee, pipinya merah", Tisya mulai menggoda, ah aku paling tak nyaman dalam keadaan semacam ini. Raisa dengan lagu 'serba salah'.
"Udah ih kasian yang baru ketemu mantan terpojokan hehe, ayo ke dalem dulu haus nih, kemarau panjang", ish ya ampun itu mulut kok gak berubah sih ra, kalo bukan sohib udah di tendang sampe ke kaut.
Ternyata, di dalam suasana lebih heboh. Azkar jadi sasaran tawa jahil mereka, kaya nya bakal lebih parah kalo sekarang aku gabung sama mereka. Bisa mati kutu aku, hadeh.
"Apa kabar nih semua nya", Fakhri membuka pembicaraan setelah kita semua duduk.
Fakhri duduk di sofa tunggal, Azkar di sofa cukup panjang sebelah kanan Fakhri, bareng sama Renal dan Reki. Sofa panjang di sebelah kiri Fakhri cukup untuk aku, Tisya, Syakila dan Shahira. Formasi macam apa ini.
"Baik, amat baik. Apalagi sekarang ngumpul gini makin baik deh", Tisya paling ceria diantara kita semua, lihat senyum merekah gak pudar dari wajah manisnya.
"Ah banyak basa basi, nanti keburu basi. Udah laper nih gimana?", rengek Reki dengan wajah memelas, macam gak nemu makan seminggu penuh.
"Makanannya lagi di proses ki, sabar napa. Makan mulu fikiran lu", Kayaknya Fakhri mulai kesel ngadepin Reki yang fikirannya makan mulu haha.
"Makan yang ada dulu ki, pemanasan, nanti tampol di hidangan utama haha", Shahira menimpali.
"Kita ngobrol dulu lah, soal makan mah gampang", Renal menengahi dengan nada selownya.
Aku tak banyak bicara, hanya sesekali menimpali, dan ikut ketawa pas yang lain ketawa. Memang, harusnya aku tetap jadi aku yang seperti biasa, harusnya aku gak perlu secanggung ini. Mereka juga gak canggungkan? Tuh mereka tetep jadi mereka, gak berubah.
"Kalian gak berubah ya".
Seketika suasana jadi hening. Senyum yang merekah di wajah mereka perlahan layu, sedetik kemudian mereka saling tatap satu sama lain. Aku semakin heran, bahkan aku merasa bersalah karena kalimat yang seharusnya gak perlu aku lontarkan, malah dengan mudahnya keluar begitu saja.
Ah sial, bukannya mengusir kecanggungan ku, ternyata aku semakin mati kutu karena ucapanku sendiri. Rasanya ingin pulang saja, makan goreng pisang buatan bunda di teras belakang. Aku butuh tenang, guys.
"Eh, maksud ku...", sumpah demi apa, ini kok malah makin canggung sih? Bundaaaa tolong selamatkan anak mu ini bundaaaaa.
"Bhahaha..."
Eh, kok pada ketawa? Mereka pada kenapa sih? Aduh, ini sih membangkitkan semangat buat lari sekenceng-kencengnya ke rumah, huhu.
Aku lihat wajah tawa mereka satu-satu. Tisya ketawa sampe wajahnya memerah, seneng banget kayaknya dia. Syakila ketawa sambil pegang perutnya sendiri. Shahira, dia ketawa sampe keluar air mata.
Fakhri ketawa sampe merem melek. Renal ketawa sambil mukulin lutut Reki. Yang paling parah Reki ketawa dengan satu tangan di perut, satu lagi nutupin mulut, sampe keluar air mata segala. Dan saat aku lihat Azkar, ternyata dia juga ketawa, really? Dia ketawa kaya gak ada beban, apalagi canggung, kalo lagi ketawa keliatan deh wajah rupawannya hehe.
Aku bingung dengan respon mereka yang sekonyong-konyong ketawa sampe segitunya, apa yang lucu coba?
"Haduh, Difa Difa", setelah banjir air mata gara-gara ketawa, Shahira angkat bicara sambil geleng-geleng kepala.
"Kenapa pada ketawa? Yang lucu sebelah mana sih?"
"Berubah apaan? Lu kira kita power ranger gitu, bisa berubah terus membasmi monster jahat? Hahaha..", masih sempet-sempetnya Reki ngomong gitu dalam keadaan ketawa, ckck.
"Ultramen ki haha..", Eh Fakhri malah ikut nambahin.
"Udah ish jangan keterusan, sakit pipi nih", wajah Tisya masih memerah, tapi gak semerah tadi.
"Ngetawain apaan sih?", aku masih bingung. Asli rasanya aku udah jadi orang terbodoh di ruangan ini.
"Kita lulus SMA setahun yang lalu Dif, bukan sepuluh tahun yang lalu",
"Iya terus lucunya dimana Renal?", aku butuh penjelasan Renal, bukan pernyataan, ya ampun.
"Ya itu dia Difa, kita baru aja berpisah satu taun, gak mungkin kita bisa berubah dalam waktu singkat gitu. Lagi pula, kita tetap jadi diri kita sendiri dari dulu sampe sekarang. Susah kalo mau berubah jadi orang lain, jadi yaa gini", penjelasan Syakila harus aku cerna dulu beberapa detik.
"Bener tuh Dif", Tisya meyakinkan, yang lain mengangguk tanda setuju pada penjelasan Syakila.
"hehe, gitu ya? Aku kira kalian ngetawain apa, padahal tadi udah ancang-ancang mau kabur", akhirnya aku paham wkwk.
"Nah, lu juga gak berubah Dif, loadingnya lama hahaha", Reki bener juga haha.
Dan kini senyum merekah di wajah mereka, tak terkecuali -kalo kata Fakhri- si kaku juga senyum. Dia gak banyak bicara, karena yaa memang begitulah sifatnya, tapi dari wajahnya dia terlihat bahagia, syukurlah.
~Pran~
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare
Novela Juvenil"Sekarang aku sudah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan ku selama ini". -Nahdifa Sanrila Diniatma- "Apa yang ku tutup rapat-rapat, akhirnya harus kamu temukan juga". -Azkar Hisyam- Penasaran? Baca aja yukk