Moody

418 11 6
                                    



Aku takut.



Aku takut suatu saat aku tidak bisa mengontrol emosiku untuk mencegahku menyakiti diri sendiri.

Aku memiliki kondisi mental yang cukup rumit. Akan tetapi, aku tidak pernah memberitahukannya pada siapapun. Aku hanya mencari informasi tentang kondisi mentalku dengan membaca buku dan mencari artikel di internet tetapi aku tidak tahu persis aku masuk kategori mana.

Kalian boleh mengganggapku berlebihan karena diriku pun menganggapku demikian. Mungkin itu hanya asumsiku yang tanpa pikir panjang untuk memfonis bahwa aku sakit.








Ya sakit mental.


Akan tetapi aku tetap diam.

***






Rasanya mengerikan.



Saat itu malam hari setelah makan malam, aku bertengkar dengan adikku. Aku membanting pintu kamar dan menguncinya.

“Bang***.”

“Pergi saja sana!,” aku berteriak, tetapi suaraku teredam oleh bantal.

Tiba-tiba nafasku mulai menderu dan jantungku berdetak tak keruan.

Kumohon jangan.

Aku mulai terisak. Makin lama isakan menjadi tangisan. Aku berteriak sekuat-kuatnya namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Hanya ada air mata dan isakan.

Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Hanya saja tiba-tiba aku merasa sedih. Hal itulah yang aku ketahui sebagai mood swing, yaitu perubahan suasana hati yang mendadak. Dalam kasus yang aku alami itu, disebut fase depresi. Di mana seseorang yang pada awalnya senang tiba-tiba merasa sangat sedih tanpa ada alasan.

Jika fasenya sudah parah, seseorang  bisa memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri bahkan sampai berniat bunuh diri.

Hal itulah yang paling kutakutkan.

Aku mencoba mengatur nafasku agar lebih tenang. Namun gagal.

Suara-suara itu mulai berdatangan di kepalaku, lagi.

Kamu orang yang tidak berguna, lebih baik mati saja.

Kamu benci adikmu. Kamu membenci teman-temanmu.

Tidak ada yang peduli padamu.

Kamu sendirian.

Tidak.

Aku masih menyayangi adikku juga mereka.






Iya aku tidak berguna.


Tangisku kembali pecah. Bantal yang kujadikan alat untuk meredam tangis telah basah oleh air mata dan liur. Aku meremasnya kuat-kuat. Berharap suara-suara itu akan menghilang dan rasa sedihku sirna. Namun itu semua sia-sia.

Ponselku terus berdering tetapi aku tidak menghiraukannya. Aku membuangnya ke sudut kasur.

Lampu kamarku terlihat lebih menyilaukan dari biasanya. Aku sudah tahu lagi apa yang aku pikirkan.

Aku tidak bisa berpikir!

Kedua tanganku terangkat ke udara berusaha menghalangi sinar lampu dari pandanganku. Kemudian tangan itu bergerak menuju leher. Saat itu aku masih terisak. Kedua tangan itu sampai di leher tanpa kusadari dan perlahan memperkuat cengkeramannya. Semakin lama semakin kuat sampai aku kesulitan bernafas.

Tangisku kembali pecah. Aku berteriak namun cengkeraman itu sama sekali tidak melemah.
Suara di kepalaku bercampur aduk. Sebagian memintaku berhenti namun sebagian lagi tetap memaksaku untuk terus mencekik diriku sendiri.

Sampai akhirnya aku benar-benar hampir kehabisan nafas, cengkraman itu terlepas.

Aku terbatuk-batuk berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.








Haha.







“Apa-apaan itu. Ternyata aku masih takut, sama seperti sebelumnya.”


Aku merasa konyol.

Rasa takut itu setidaknya membuktikan aku masih waras, bukan?


Orang yang takut mati berarti masih waras,  kan?



Aku tidak gila kan?


Ya. Aku tidak gila. Hanya sakit.









Oh Tuhan.

































~fin

A/N :
halo teman-teman, aku kembali dengan membawa cerita tentang seseorang yang mengalami mood swing yang bisa dibilang sudah hampir parah. Karena sampai menyakiti diri sendiri.

Cerita itu tidak ada maksud apapun. Aku hanya ingin menulis sesuatu tentang mental disorder.

Semoga suka ^ω^

PS : maaf bila maaih ada typo atau kalimat yang masih sulit dipahami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mental DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang