Bias sorot matanya sempat melirik wajah-wajah penuh dengan harapan. Tersembunyi di balik rayuan nakal yang mereka ciptakan kala satu persatu tamu yang mayoritas berjenis kelamin lelaki dari semua kalangan datang menghampiri. Dengan pakaian yang hampir seluruhnya mempertontonkan kesintalan tubuh sebagai modal pemikat.Berganti tatapannya tertumbuk pada berpasang-pasang manusia yang baru saja menghempaskan keletihan hidup. Aroma alkohol berpadu dengan keringat yang mencekat tenggorokan. Serasa mengaduk-aduk isi perut.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang, mengejutkan.
“Hai manis. Masuk yuk?” Lelaki bertatto di lengan menjulurkan tangannya minta disambut.
Ragu-ragu Rindi bangkit dari duduk. Hatinya berdesir lebih dari pertama kali kakinya menjejak ke tempat ini. Genggaman tangan lelaki itu semakin membuat Rindi resah. Ingin menepisnya tiba-tiba. Kalau saja tak mengingat kalimat-kalimat Mami beberapa waktu lalu.
“Kalo sekadar pegang tangan, mencolek, merangkul dan cium pipi. Saya rasa itu masih hal wajar. Tapi jika tamu minta lebih dari itu, tinggal kesepakatan kamu saja.”
Meski gugup, Gadis itu mencoba untuk profesional. Sebisa mungkin menyembunyikan perasaan tidak nyaman. Bukankah Nunik telah mengingatkan, tak mudah menjalani profesi seperti ini.
Pria bertindik itu mengambil paket tiga jam. Dari tampangnya Rindi tak meragukan vocal lelaki yang wajahnya mirip salah satu vokalis band ternama. Ia tak boleh cepat-cepat menjatuhkan penilain buruk pada orang lain. Hatinya meyakini, lelaki itu hanya butuh hiburan.
Satu jam pertama dilalui dengan aman. Meski perkiraan Rindi meleset, vocal suaranya ternyata tak seperti yang dibayangkan. Rindi merutuk dirinya, sok tau. Dua jam juga berlalu sesuai harapan hati gadis itu.
“Pesenin minum donk.” Pinta lelaki itu sambil tubuhnya berselonjoran di sofa.
Rindi meraih gagang telepon di sampingnya, meminta diantar minuman sesuai pesanan. Beberapa detik kemudian, suara pintu diketuk dan sesaat terbuka. Seorang pelayan berdasi kupu-kupu masuk membawa sebotol minuman dan dua gelas kosong.
Lelaki itu, memberikan kode, menjentikan jari dan mengacungkan telunjuknya ke arah minuman. Buru-buru Rindi mendekatkan diri. Menuangkan isinya ke dalam gelas. Sesaat aroma khas membuat kepalanya pusing. Gadis itu mencoba bertahan. Disuguhkannya minuman itu kepada lelaki di hadapannya.
Tak puas, pemuda itu menuang satu gelas kosong di sebelahnya dan memberikan pada Rindi. Setengah memaksa, lelaki itu meminta Rindi untuk meneguknya.
Sekuat tenaga, Rindi berusaha menolaknya dengan lembut. Lelaki itu terus saja berusaha membujuk, bahkan dengan sengaja menempelkannya ke bibir Rindi. Hingga minuman itu akhirnya menembus tenggorokan juga.
Meski seteguk, nyatanya minuman memabukkan itu mampu membuatnya terkapar beberapa detik kemudian. Dalam keadaan setengah tersadar, ia merasakan lelaki itu berusaha menyentak dres yang dipakainya dan mulai menyentuh.
Rindi berusaha menggapai-gapai sesuatu yang bisa membuat lelaki itu menghentikan aksinya. Reflek, kaki Rindi menendang tubuh yang berusaha menindihnya. Tepat di bawah perut. Seketika, lelaki itu mengerang.
Rindi menghambur keluar sambil berteriak. Lelaki itu mengejar, mengumpat dengan kata-kata kasar.
“Dasar perek tolol! Sok suci!”
Petugas keamanan datang, menenangkan pria mabuk yang tak henti menyeracau. Berpasang-pasang mata tak ingin ketinggalan menyaksikan kerusuhan kecil yang sedang terjadi.
Mami datang tergopoh-gopoh. Menatap tajam ke arah Rindi yang masih menyeimbangkan nafas. Lalu menarik tangan gadis itu menuju ruang office.
Di hadapan Mami, Rindi tak mampu membuka suara. Pengalaman pahit yang hampir saja merenggut sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Ia tak mampu membendung butiran-butiran bening yang terus mengalir dari kedua matanya.
Dengan bujuk halus, wanita berbulu mata lentik itu menenangkan.
“Kamu enggak perlu takut, Rin. Lelaki itu terlalu banyak minum, apa yang dilakukan diluar kendali.”
Nafas Rindi sudah sedikit stabil. Ia mengangguk saja mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Mami. Terlepas mengerti dengan yang dibicarakan atau tidak, Mami tidak tau.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, Noni menghampiri dan memeluk sahabatnya. Mengelus-elus rambutnya agar sedikit lebih tenang.
***Rindi bukan gadis cengeng. Baru kali ini ia menangis sejadi-jadinya. Jika saja mungkin, tentu sudah dihajarnya lelaki brengsek semalam.
Rindi termenung di tempat tidur. Berulang kali mengusap air matanya dengan telapak tangan.
Inikah akhir perjuangannya mengubah mimpi menjadi nyata? Sebulan lebih berjuang mencari secercah harapan, semua berujung kesia-siaan. Rindi mengeraskan kepal tinju. Kesal.Baiknya memang dia pulang. Wanita kodratnya memang di rumah. Belajar mengurus rumah, mengolah makanan, dan sampai datang masanya ada lelaki yang melamar. Lalu menikah, mengurus anak, dan mengaplikasikan semua kemampuan yang telah terlatih.
Tak perlu bermimpi terlalu tinggi. Bila tak kesampaian, jatuh. Mati mungkin lebih baik. Namun jika terluka, bahkan cacat bertahun-tahun? Bukankah itu hanya akan menjadi penyesalan yang tak berujung.
Tapi bagaimana jika keadaan Noval semakin memburuk? Juga Bapak. Adik-adik tak yang lain dapat melanjutkan sekolah, sebab harus mengalah demi kesembuhan adik bungsu. Sekolah bisa kapan-kapan. Jika sudah ada uang, bisa ambil paket.
Gamang. Rindi meraih ponsel bututnya. Menekan beberapa angka yang disalin dari buku telepon.
Suara salam dari lelaki paruh baya yang begitu dikenalnya, merebak di balik telepon genggam. Sekadar bertanya kabar dan berbasa-basi.
Di detik selanjutnya berganti suara perempuan yang terdengar begitu haru. Ada kelegaan di hati, akhirnya yang ditunggu-tunggu memberi kabar.
Ibu. Kebahagiaan seolah melingkupi ketika mendapati kabar bahwa anak gadisnya dalam keadaan baik.Banyak kalimat-kalimat yang ditelan Rindi dari bibir wanita bersuara agak serak itu. Kalimat yang meski disampaikan dengan penuh kelembutan, namun terasa menghentak nurani. Pedih dan menyesakkan.
“Doakan Bapakmu selalu sehat, Rin.” Kalimat yang berakhir salam penutup menggiring pada kerinduan kampung halaman.
Kesehatan bapak juga semakin menurun. Selama ini sang pahlawan dalam keluarga itu selalu mengandalkan ramuan obat herbal yang diracik tangan Ibu. Itu pun hanya sesekali saja, tidak rutin. Hanya jika merasa badan tidak enak. Letih dan lesu.
Ada kabar yang paling menghujam batin. Yang selama ini menjadi momok paling menakutkan, terlebih bapak. Tubuh kekar berotot, ternyata bisa menciut jika harus berhadapan dengan jarum suntik.
Terlebih membayangkan tajamnya pisau-pisau milik dokter bedah yang siap mendedel kulit hingga menembus kedalam daging.
Oprasi?
Selain terdengar menakutkan juga tidak sedikit biaya yang dibutuhkan.
Allah. Semoga aku bisa melewati semua ini.
***Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)
Novela JuvenilSinopsis: Meski kuat hatinya menolak, Rindiani terpaksa harus menjalani profesi sebagai pemandu lagu pada sebuah tempat hiburan malam di Jakarta. Nasib mengantarkannya bergumul di dunia baru yang nyaris merenggut kehormatannya. Sekuat hati ia mempe...